Mongabay.co.id

Di Perbatasan Kalbar dan Sarawak, Warga Segumon Bergantung Harap dari Hutan Adat Mereka

 

Baca tulisan sebelumnya: Tembawang Tampun Juah, Cerita Perjuangan Warga Peroleh Pengakuan Hutan Adat

 

Hutan Adat Tembawang Tampun Juah lokasinya berada dekat dengan perbatasan Kalimantan Barat dengan negara bagian Sarawak Malaysia. Untuk menuju ke lokasi ini, saya harus menuju ke Dusun Segumon terlebih dahulu.

Dari Pontianak, dusun yang berada di Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau ini dapat ditempuh sekitar delapan jam perjalanan darat.

Saat tiba di Segumon, sekilas tak ada yang berbeda dengan pemandangan desa-desa lain di Kalbar yang berbatasan dengan lahan perkebunan. Gersang, berdebu dengan jalan yang berbatu.

Permukiman warga berbagi dengan tanaman sawit.  Di sisi kanan jalan, sawit perusahaan mulai tumbuh. Di sisi kiri masih ada hutan sekunder, walau berselang-seling dengan tanaman sawit warga.

Simbolon (34), seorang warga setempat sudah menunggu. Dia yang akan memandu saya untuk menuju ke Hutan Adat Tembawang. Menurutnya lebih mudah jika menggunakan sepeda motor, “Jalannya terjal, di sana sini masih ada lubang,” tuturnya.

Letak hutan tembawang sendiri arahnya menuju ke perbatasan Indonesia – Malaysia. Ia melewati jalan pengerasan dari tanah merah yang tampak masih baru. “Ini jalan perbatasan. Kita akan melewati pos TNI, Polisi, Imigrasi dan Bea Cukai,” ucap Simbolon. Meski terdengar seperti nama orang Tapanuli, sebenarnya Simbolon warga asli Segumon, bersuku Dayak Bidayuh.

Kami didampingi pula oleh para pemuda berbaju safari hitam, dengan celana kargo. Para pemuda adat itu adalah para pentarut Dusun Segumon, atau penjaga Hutan Adat Tembawang Tampun Juah.

Mereka bertugas mengawasi dan mengamankan hutan tembawang. Saat ini terdiri dari 16 pemuda dusun, yang terlibat aktif sejak masa awal-awal pergerakan menuntut pengakuan hutan adat.

 

Para pemuda adat yang tergabung dalam pentarut Dusun Segumon, atau penjaga Hutan Adat Tembawang Tampun Juah. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Motor diparkir di halaman Kantor Imigrasi. Kantor yang sederhana, bangunannya semi permanen. Di depan kantor, terdapat bukit dengan jalan bebatuan merah. Bukit itu salah satu pintu masuk ke Hutan Adat Tembawang Tampun Juah.

Mendaki bukit topografinya mencapai 30 derajat. Kicauan burung-burung asli terdengar samar. Tutupan hutannya masih tergolong sangat baik.

Simbolon lalu bercerita tentang pengalaman desa mereka. Tahun 2008 lalu, perusahaan sawit masuk ke Segumon. Tak sedikit warga yang tertarik dengan sosialisasi program mereka. Perlahan-lahan, banyak warga yang beralih profesi menjadi buruh harian lepas perusahaan.

Demikian pula, banyak lahan warga yang dilepas ke perusahaan sawit. Rata-rata mereka berpikir bahwa dalam 10-15 tahun ke depan sawit dapat menjadi andalan kehidupan mereka.

Paskalis Bendi (26), pendamping desa dari Institut Dayakologi, menyebut setengah dari wilayah kampung sekarang sudah ditanami sawit. Penduduk dusun sekitar 700 jiwa, dengan 185 kepala keluarga.

Namun kini mereka menyadari banyak hal yang hilang setelah sawit, -tanaman homogen tersebut, diperkenalkan. Diantaranya berkurangnya hasil dari hutan tembawang, semakin jauhnya lokasi untuk berburu babi dan rusa, dan debit sungai yang semakin surut.

Demikian pula dengan hasil kerjasama bagi hasil lahan sawit dengan pihak perusahaan. Menurut masyarakat hasilnya amat minim.

Konversi lahan menjadi sawit pun membawa perubahan bagi masyarakat. Salah satunya dirasakan oleh Veronika Nian (41). Kini sebulan sekali katanya belum tentu keluarganya bisa dapat babi dari hasil berburu.

Sungai-sungai pun menjadi dangkal dan keruh. Padahal dulu alur Sungai Sekayam bisa diarungi dengan perahu. Namun kini semua tinggal cerita.

 

Rumah semi permanen yang digunakan oleh warga untuk berkumpul sebelum masuk ke Hutan Adat Tembawang Tampun Juah. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Veronika pun menjadi buruh perusahaan sawit. Namun, dia tetap bercocok tanam untuk kebutuhan sehari-hari. Dia terkenang saat-saat dimana segala sesuatu bisa didapat dihutan.

“Pada alam, leluhur kami bergantung. Pada tembawang ini tempat leluhur kami mencari penghidupan.,” kata Petrus Kenedi (40), tokoh dari Dusun Segumon menambahkan.

Di lahan yang tersisa dan belum dibuka untuk sawit ini warga lalu menetapkan pengelolaan tembawang. Lewat skema Desa Adat dan Hutan Adat mereka mencoba untuk mendapat pengakuan dari harta warisan leluhur ini.

Jelas Paskalis, penetapan hutan adat berasal dari bentuk implementasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 tentang Hutan Adat, khususnya wilayah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat yang diakui pemerintah. Dengan kata lain, lewat putusan itu, hutan adat bukan lagi bagian dari kawasan hutan negara.

Setelah itu muncul aturan-aturan implentasinya, diantaranya Permendagri Nomor 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Permen LHK Nomor P.32/MenLHK-Setjen/2015 tentang Hutan Hak, dan Permen LHK Nomor P.34/MenLHK/Setjen/KUM.1/5/2017, tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.

 

Membersihkan diri, sebagai bagian dari upacara saat memasuki Hutan Adat Tembawang Tampun Juah. Foto; Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Setelah berjuang selama 7 tahun, termasuk melakukan pemetaan wilayah adat, tanggal 7 September kawasan Hutan Adat Tembawang Tampu Juah mendapat pengakuan negara. Tembawang seluas 651 hektar itu sekarang resmi menjadi kawasan hutan adat.

Warga Segumon pun menerapkan aturan dalam pengelolaan tembawang. Aturan pokoknya, lahan tidak boleh dijual ke pihak lain. Untuk membuka lahan di tembawang pun ada aturannya.

Pembukaan lahan tidak dengan penebangan pohon atau dengan cara dibakar. Berladang hanya diperbolehkan pada tembawang yang tak produktif lagi. Sumber mata air pun tidak boleh dicemari.

Pengelolaan hasil hutan bukan kayu pun sekarang sedang dilakukan. Kelompok pengrajin Nyapah Betuah, akan membuat anyaman dari rotan. Nama Nyapah Betuah sendiri, diabadikan dari nama istri pendiri kampung itu.

Warga memiliki rencana, anyaman itu akan dijual ke Serian di Sarawak, Malaysia. Kampung Munggu di Distrik Serian adalah daerah terdekat. Jaraknya cuma berkisar dua kilometer saja dari Segumon.

Asa pun merebak di benak Veronika. “Semoga nanti di hutan adat bisa cari ikan dengan mudah, tiap minggu dapat babi hutan atau katak besar. Lumayan bisa dijual ke Serian. Harga RM15/kg.”

Saat ini Warga Dusun Segumon menyadari, perjuangan untuk memulihkan hutan dan ekosistemnya tidak sebentar. Namun, tak ada kata terlambat untuk memulai. Mungkin nanti cucu dan cicit dari Petrus, Simbolon, atau Veronika yang akan kembali merasakan manfaat dari menjaga hutan ini kelak.

 

Video: Hutan Adat Tembawang Tampun Jauh

 

 

Exit mobile version