Mongabay.co.id

Industri Udang Nasional Bersiaga dari Penyakit Mematikan AHPND

 

Industri udang nasional kini sedang bersiaga, menyusul penyakit udang yang sudah mewabah di sejumlah negara produsen dunia. Penyakit yang ditakuti itu bernama acute hepatopancreatic necrosis disease (AHPND) dan sudah merugikan industri udang di Tiongkok, Thailand, Malaysia, Meksiko, dan Vietnam dalam tiga tahun terakhir.

Pemerintah Indonesia sudah menyiapkan strategi antisipastif pencegahan penyakit AHPND menular ke industri udang nasional. Seperti diungkapkan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto di Jakarta, pekan lalu, sebagai negara kepulauan, Indonesia masih rentan terpapar penyakit tersebut.

Meski saat ini Indonesia masih dinyatakan bebas dari penyakit tersebut, namun potensi resikonya masih tinggi dan harus diantisipasi serius. Upaya pencegahannya antara lain dengan membentuk tim gugus tugas (task force) yang melibatkan stakeholders industri udang.

“Seperti pembudidaya dan juga pelaku usaha. Itu untuk antisipasi di sentra produksi,” ungkapnya.

 

Udang vaname dengan kondisi hepatopancreas yang pucat dan menyusut, dan perut kosong karena terkena penyakit AHPND. Foto : D. V. Lightner/semanticshcolar.org/Mongabay Indonesia

 

Slamet menjelaskan, walaupun Indonesia sampai saat ini masih belum menemukan sentra udang yang terpapar penyakit AHPND, tetapi stakeholders harus tetap waspada dengan setiap transaksi bisnis dari negara yang sudah terpapar penyakit tersebut karena penyakit AHPND tergolong penyakit lintas batas (transboundary disease).

Untuk itu, Slamet menyebutkan, pihaknya sudah mengeluarkan surat edaran bagi para pelaku usaha untuk tidak menggunakan induk udang dari tambak. Sebagai gantinya, para pelaku usaha diwajibkan untuk menggunakan induk dari hatchery yang sudah tersertifikasi dari balai pengembangan resmi.

“Contohnya, adalah Balai Pengembangan Induk Udang dan Kekerangan (BPIUK) Karangasem di Bali,” tuturnya.

 

Strategi Pencegahan

Pencegahan AHPND juga dilakukan pengawasan, sosialiasi, dan penerapan biosecurity sebagai langkah pencegahan yang mutlak dilakukan para pelaku usaha dan pembudidaya. Langkah itu sangat penting diterapkan, karena Indonesia sudah terpapar penyakit white feces disease (WFD) dan enterocytozoon hepatopenaei (EHP).

Pengawasan dan sosialisasi tentang AHPND dilakukan ke sentra-sentra budidaya udang; meningkatkan kesadaran masyarakat pembudidaya terhadap bahaya AHPND dan pencegahan ke sentra-sentra budidaya udang di Indonesia melalui penyelenggaran workshop yang dilakukan bersama dengan Pemerintah dan stakeholder.

“Seperti Shrimp Club Indonesia (SCI), Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) dan Asosiasi Pembenih Udang,” tutur Slamet.

 

Panen udang dari tambak. Foto : Dirjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Langkah berikutnya, adalah dengan menyusun prosedur operasi standar (SOP) pencegahan penyakit bakterial, khususnya AHPND, penguatan kapasitas laboratorium (sumber daya manusia/SDM dan peralatannya) pada unit pelaksana teknis (UPT) DJPB dan UPT Karantina dalam pengujian AHPND. Kemudian, menyusun rencana aksi pencegahan masuk dan tersebarnya penyakit AHPND di Indonesia yang meliputi sosialisasi, surveilan dan penerapan biosecurity secara bersama-sama oleh stakeholder (tambak dan hatchery).

Langkah berikutnya, menurut Slamet, adalah dengan membuat kesepakatan bersama antara pelaku usaha (SCI, GPMT, Pembenih, Asosiasi Saprotam), peneliti perguruan tinggi dan lembaga penelitian lainnya dalam upaya pencegahan masuk dan tersebarnya AHPND di Indonesia. Lalu, melarang impor pakan alami, induk, dan benih udang dari negara negara terjangkit.

Dengan menjalin kerja sama, Slamet optimis kalau upaya pencegahan masuknya penyakit AHPND ke Indonesia bisa dilakukan lebih baik dan efektif. Terlebih, jalinan kerja sama juga akan membawa hal positif, karena akan menjadi peluang untuk mendorong peningkatan supply share produk udang Indonesia di pasar global.

Kewaspadaan yang dilakukan Pemerintah Indonesia, menurut Slamet, karena penyakit AHPND sudah merugikan industri udang di negara-negara yang sudah terpapar, dengan produksi udang mereka menurun drastis sehingga jutaan dolar AS.

Slamet menyebutkan, Organisasi Pangan PBB mencatat dalam tiga tahun terakhir, produksi udang di Thailand menurun drastis dari 609.552 ton pada tahun 2013 menjadi 273.000 ton pada 2016. Penurunan produksi juga dialami Vietnam, dan kerugian mencapai 216,23 juta USD pada kurun 2013 – 2015

“Ini tentu jadi fokus perhatian kita agar Indonesia tidak mengalami nasib yang sama,” tegasnya.

 

Panen udang dari tambak. Foto : Dirjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Batas Negara

Agar upaya pencegahan berjalan baik, Dirjen Perikanan Budidaya KKP juga bersinergi dengan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) untuk menjaga wilayah perbatasan dan pintu masuk atau keluar Indonesia.

Kepala BKIPM Rina mengungkapkan, pihaknya memperketat pintu masuk strategi seperti pelabuhan laut dan bandara untuk pencegahan AHPND dari negara terjangkit. Caranya dengan melengkapi para petugas di lapangan dengan alat real time real-time polymerase chain reaction (PCR) yang berfungsi mendeteksi setiap barang yang masuk dari luar Indonesia.

“Jadi harus dilakukan uji wajib AHPND pada lalulintas perdagangan terutama produk akukakultur. Selama ini hasil surveilan rentang tahun 2015 – 2017 di beberapa sentra produksi udang menyimpulkan bahwa kita masih terbebas dari AHPND dan hasilnya negatif,” ujarnya.

Terpisah, Presiden Shrimp Club Indonesia (SCI) Iwan Sutanto mengatakan bahwa industri udang nasional terus bersiaga dengan melakukan berbagai upaya pencegahan masuknya penyakit AHPND ke sentra-sentra udang. Melalui upaya tersebut, industri udang nasional optimis bisa tetap baik dan terbebas dari serangan penyakit berbahaya dan mematikan tersebut.

Diketahui, AHPND adalah penyakit yang disebabkan adanya infeksi bakteri vibrio parahaemolyticus (Vp AHPND) yang mampu memproduksi toksin dan menyebabkan kematian pada udang dengan mortalitas mencapai 100%. Kematian akibat AHPND terjadi pada umur kurang dari 40 hari setelah ditebar di tambak. Penyakit tersebut pertama kali muncul di Tiongkok pada 2009 dan dikenal dengan sebutan covert mortality disease.

Setelah Tiongkok, AHPND dilaporkan menyerang tambak-tambak udang di Vietnam pada 2010 dan kemudian di Malaysia padad 2011. Berlanjut pada pada 2012 di Thailand, disusul Meksiko pada 2013, dan Filipina pada 2015.

 

Udang yang sehat (A) dan terkena penyakit hepatopancreatic necrosis (AHPND) dengan usus kosong (panah kuning) (B). Foto :Departemen Perikanan Thailand/semanticshcolar.org/Mongabay Indonesia

 

Secara umum, KKP menyebutkan gejala klinis pada udang terinfeksi AHPND di tambak, seperti kematian udang secara mendadak di dasar tambak pada umur kurang dari 40 hari pasca tebar. Kemudian, seluruh badan udang terlihat pucat dan saluran pencernaanya kosong.

Gejala lainnya organ hepatopankreas udang mengecil dan terlihat pucat saat dibedah. Akan tetapi gejala klinis yang mudah ditemukan di tambak, bakal sulit dikenali di hatchery.

“Namun demikian dapat dilihat dari adanya gerakan larva dan postlarva (PL) yang terlihat lemah, hepatopankreas pucat, dan terjadi kematian secara mendadak mulai stadia PL 1 sampai dengan sebelum PL didistribusikan mencapai kurang dari 30 persen,” pungkas Slamet.

 

Exit mobile version