- Laporan Dampak Bencana Gempa, Tsunami dan Likuifaksi, yang disampaikan Pemerintah Sulteng 22 Februari 2019, tercatat korban meninggal dunia 2.830 jiwa, hilang 701 jiwa, terkubur massal 1.016 Jiwa, total 4.204 jiwa.
- Fenomena likuifaksi (tanah mencair alias jadi lumpur) yang ramai dibicarakan terjadi di empat titik, yakni,Petobo, Balaroa, Jono Oge dan Sibalaya. Hasil pengamatan, Abdullah MT, pakar kebencanaan Universitas Tadulako Palu, menyebut, likuifaksi ini ada di sembilan lokasi.
- Kampung asal Petobo, bernama Kinta, luput dari semburan lumpur. Kepercayaan orangtua dulu, kawasan sekitaran Kinta, ini tak boleh berpenduduk lebih dari 60 orang, karena akan datang bahaya. Tahun berganti tahun, pertumbuhan penduduk tak terkendali, jadilah Kecamatan Petobo, yang kini kembali sepi terkubur tanah dampak likuifaksi.
- Banyaknya penamaan wilayah di Lembah Palu yang memiliki arti bencana kemungkinan besar diambil dari peristiwa masa lampau. Toponomi ini jelas memberi makna bagaimana masyarakat dulu evakuasi mandiri berdasar kejadian yang mereka alami.
Gempa bumi yang mengguncang Sulawesi Tengah, medio 28 September 2018, berkekuatan M7.4 membawa bencana tsunami, longsor dan likuifaksi alias tanah jadi lumpur. Palu, Sigi dan Donggala, terdampak parah. Tanah yang mencair maupun bencana kampung tenggelam ternyata bukan baru terjadi, jejak-jejak tua, antara lain, lewat penamaan tempat, mengindikasikan bencana juga pernah terjadi zaman dulu.
Di Kabupaten Sigi, Desa Pombewe, Jono Oge, Sibalaya dan Rogo, juga merasakan fenomena alam ini. Begitu juga Tanjung Batu di Kabupaten Donggala, juga jadi korban pencairan tanah enam bulan silam.
Luasan wilayah terdampak sangat besar. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merangkum fenomena ini dalam peta sebaran likuifaksi bencana gempa Sulteng. Dalam peta itu hanya termuat empat area, yaitu Kelurahan Petobo, Palu Selatan dengan luas 181.24 hektar, Perumnas Balaroa, Kecamatan Palu Barat 40 hektar. Untuk Kabupaten Sigi, di Desa Sidera–Jono Oge 209.58 hektar dan Desa Sibalaya, Kecamatan Tanambulava 52.98 hektar.
Laporan Dampak Bencana Gempa, Tsunami dan Likuifaksi, yang disampaikan Pemerintah Sulteng 22 Februari 2019, tercatat korban meninggal dunia 2.830 jiwa, hilang 701 jiwa, terkubur massal 1.016 Jiwa, total 4.204 jiwa.
Bencana ini juga menimbulkan kerugian material tak sedikit. Laporan itu mencatat 100. 405 rumah mengalami kerusakan dengan pengungsi 172.999 jiwa, tersebar di 400 titik pengungsian Kota Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong.
Gempa besar yang menimbulkan likuifaksi memberi dampak sangat besar dan memakan korban ribuan jiwa. Ia terjadi di pemukiman padat penduduk dan terletak di daerah ketinggian.

Di berbagai media baik lokal maupun luar negeri banyak merilis wilayah likuifaksi Petobo, Balaroa, Jono Oge dan Sibalaya, karena dampak sangat merusak. Pencairan tanah tak hanya terjadi pada empat wilayah ini.
Dalam catatan Abdullah MT, pakar kebencanaan Universitas Tadulako Palu, menyebut, likuifaksi ini ada di sembilan lokasi.
Hasil penelusuran lapangan, abdullah menemukan gerak tanah saat likuifaksi terjadi, seperti di pemukiman GRP Karta Blok A-D bergerak bersama lumpur sekitar 150–500 meter ke arah selatan dengan tiga korban jiwa yang ditemukan, yang lain tertimbun tanah.
Di Jono Oge, di pemukiman tak padat dan kebun warga, rumah, pohon kelapa dan tower bergerak bersama tanah di sekitar (kebun jagung, jalan raya dan rumah-rumah penduduk) 500 meter ke arah barat. Sisa buangan lumpur mengalir jauh dan menutupi pemukiman timur Desa Kabobona Kecamatan Solo, Sigi setinggi satu meter.
Lapangan Bola di Desa Sibalaya, Kecamatan Tanambulava bergeser sekitar 100 meter ke barat dengan permukaan tanah dan kuburan retak serta 20 mayat terangkat ke permukaan.
Menurut Kepala Desa Jono, sesaat setelah gempa tanah bergelombang seperti gelombang laut setinggi sekitar empat meter lalu puncak gelombang retak cukup lebar di banyak tempat, sawah-sawah langsung mengering. Likuifaksi di Desa Jono, Sambo, Wisolo, Rogo dan Baluase di Kecamatan Dolo Selatan, tidaklah semasif Petobo ataupun Balaroa namun kondisi ini membuat jalan poros Desa Rogo, yang tadinya rata jadi patah dan mengalami penurunan setinggi enam meter.
Berbeda dengan di Donggala, Desa Lero dan Lero Tatari, sebelum mengalami likuifaksi, kedua desa ini mengalami downlift lalu likuifaksi. Sebanyak empat rumah di Desa Lero Tatari dan dua di Lero, hilang ditelan bumi. Peristiwa sama juga terjadi di Kelurahan Boya Tanjung Batu, Banawa, Donggala, sekitar 30 rumah dan 15 orang tertelan ke dasar laut.
“Menurut penyelam asal Bone Oge, pada hari keempat atap rumah masih kelihatan dari kedalaman 20 meter, pada hari ketujuh atap sudah tidak kelihatan. Artinya, semua rumah sudah tertanam ke dasar laut. Basarnas Gorontalo yang datang untuk evakuasi tak bisa berbuat apa-apa,” kata Abdullah.
Fenomena likuifaksi pada empat wilayah Sulteng, katanya, bukanlah kejadian pertama. Pasca gempa M6.2 SR pada 24 Januari 2005, dia menemukan pencairan tanah terjadi di halaman Mesjid Babul Jannah, Kalikoa, Ujuna, Palu Barat.
“Kecil saja, keluar lumpur memang tapi tidak menimbulkan korban baik jiwa maupun material. Tidak ada kerusakan tapi itu peringatan sebenarnya kalau wilayah ini rentan likuifaksi.”

Sayap selatan Kelurahan Petobo
Burhan Djawachir, pemilik Media Logis, media Lokal Sulteng juga sekretaris rukun warga (RW) di Perumahan Petobo Permai, Kelurahan Petobo, Palu Selatan, tampak jengkel saat melihat patok besi berwarna merah menyala di batas parit depan rumahnya.
“Apalagi ini. Belum selesai kita baku urus dengan mental orang so ditanam lagi yang begini, baru mau pindah ke mana ratusan orang di sini,” kata Bur.
Hari itu, dia mengajak saya keliling area kediamannya yang selamat dari bencana likuifaksi kala gempa bumi besar melanda Palu dan sekitar.
Alis mengernyit, tanda tak suka. Dia memahami, tempat tinggalnya seperti Petobo, jadi zona merah likuifaksi dan tak bisa ditinggali lagi.
Seperti kebanyakan warga penyintas Petobo, pilihan menetap atau meningggalkan tempat itu adalah sulit meski rumah sudah tak berbentuk lagi.
Berbeda dengan Bur, perumahan yang hampir 20 tahun ini masih tersisa dan layak ditempati meskipun tersisa sebagian kecil. Bur dan beberapa warga lain memilih kembali ke rumah mereka.
“Kembali ke rumah memang berisiko apalagi masih sering gempa, setidaknya lebih aman. Fasilitas lebih terjamin daripada di pengungsian. Air bersih, paling penting kamar kecil kita tak perlu antrian. Itu risiko penyakit juga bisa diminimalisir.”
Hanya sebulan, Bur dan keluarga mengungsi karena perumahan mereka belum bisa ditinggali. Bukan karena rusak atau ancaman likuifaksi tetapi lumpur setinggi hampir tujuh meter dan aroma mayat masihlah sangat menyengat kala itu.
Bur setiap hari pasca bencana, kembali ke perumahan itu. Dia dan beberapa warga berusaha evakuasi mandiri. Berkejaran dengan waktu, mengandalkan alat seadanya, mereka berupaya mengeluarkan tetangga yang jadi korban karena tertimbun lumpur dan bangunan. Meski tak ada yang selamat, setidaknya jenazah bisa dimakamkan dengan layak.
Gulungan lumpur hitam pekat berhenti hanya tiga meter dari rumahnya. Bur menunjuk ke arah lumpur. Di tempat itulah batang besi bercat merah terpatok.
“Di sini batas lumpur itu, mulai titik ini sampai ke bawah aman, dari titik ini ke utara, ke selatan apalagi ke arah timur, tak ada yang selamat.”
Arah yang ditunjuk Bur, hanyalah bangunan tak bertuan. Rusak dan penuh lumpur bahkan tanaman pisang warga tumbuh di dalam rumah yang rusak.
Perumahan ini terlihat seperti ada benteng alam. Lumpur kering setinggi 5-7 meter mengelilingi batas timur dan utara kawasan. Area seluas 181. 24 hektar itu, kini terkubur lumpur kering membentuk bukit dengan ketinggian empat sampai lima meter.
Bergeser ke sisi timur Petobo, sedikit ke utara. Sekitar 300 meter dari kediaman Bur terletak Kinta, salah satu perkampungan tua dan hunian pertama di Petobo, juga selamat dari gempuran lumpur pekat likuifaksi.

Kampung Tua Kinta
Sepintas, tujuh rumah yang saling berhadapan ini terlihat biasa. Sepeda motor dan mobil wara-wiri di jalanan yang membelah perumahan ini.
Bunyi mesin las dari bengkel di sebelah timur, bising mengiris telinga. Di sebelahnya, rumah hijau nan asri dengan sang pemilik tampak padan. Mereka santai menikmati kopi sore.
Berhadapan dengan rumah itu, seorang ibu muda bersenandung kecil pakai earphone. Sesekali dia menggerakkan badan. Mungkin mengikuti irama sambil bersandar di balkon rumah. Sekitar 300 meter setelahnya, pesona tadi seakan lenyap berganti kengerian tak terbayangkan.
Edarkan pandangan 360 derajat. Area ini di kelilingi timbunan lumpur bekas likuifaksi setinggi dua sampai tiga meter. Puing bangunan, rumah-rumah hancur, tanaman petani mulai mekar namun terserak berpadu dengan bau tidak sedap mengiringi perjalanan saya sore itu di sayap selatan Kelurahan Petobo, Palu.
Nama daerah yang tetap utuh ini Kinta. Sekitar satu hektar, tepat di tengah, area ini terbebas dari gempuran bubur lumpur pekat.
Tak ada retakan, jalan terbelah ataupun kerusakan serius pada bangunan. Bekas lumpur menempel pertanda pernah bersentuhan dengan bangunan, tak nampak. Mungkin telah dibersihkan.
Di sini, puluhan nyawa penyintas selamat saat berusaha menyelamatkan diri dari dari runtuhan bangunan, tanah terbelah dan gempuran lumpur.
Kinta, kampung tua. Wilayah pertama yang menjadi pemukiman kala sekitar masih semak belukar dan kebun warga juga areal persawahan.
Kinta, dalam makna Kaili bisa berarti serambi, teras atau halaman juga Kintal. Sejak awal jadi pemukiman, Kinta, punya tradisi mengakar. Hanya 60 orang boleh tinggal di wilayah itu, tak lebih. Masyarakat adat Kail Tua yang lama mendiami wilayah ini mempercayai, kalau melanggar akan terkena tulah berupa penyakit.
Tahun berganti. Pertumbuhan penduduk yang cepat beriring kebutuhan lahan tinggal juga tinggi, tradisi perlahan berubah. Kinta, kini bagian dari Kelurahan Petobo.
Wilayah dengan luas 10.40 Km2 memiliki Kecuraman lereng sekitar 5% dengan dataran luas dan terletak di ketinggian 180 Mdpl ini menjadi padat dan ramai. Petobo menjadi favorit dan pengembang pun tak tinggal diam. Perumahan dengan berbagai tipe, ukuran dan harga pun bersaing.
Tahun 2005, penduduk Petobo 5.540 jiwa. Pada 2018, BPS mencatat, jumlah penduduk di Kelurahan Petobo 7.094 jiwa yang terbagi di sembilan RW dan 30 RT.

Tradisi dan jejak bencana tua
“Kinta itu situs tradisi, dulunya disebut pantole dake,” kata Iksam, arkeolog juga Wakil Kepala Museum Sulawesi Tengah kepada Mongabay.
Situs tradisi adalah apa yang dilakukan dari zaman prasejarah masih dilaksanakan sampai sekarang, seperti upacara adat raego, balia. Pantale adalah tempat meletakkan sementara dake sejenis tombak pendek, hanya di gunakan saat upacara adat seperti notambuli (upacara perkawinan). Itulah Petobo, masa itu.
Sebagai wilayah tradisi, Kinta tidak jadi pemukiman oleh masyarakat kala itu. Tradisi dipertahankan turun temurun di masyarakat Kaili tua yang mendiami wilayah ini. Hingga memasuki era 80-an, area tak bertuan ini perlahan menjadi pemukiman yang kemudian hari menjadi padat dan ramai. Hingga bencana likuifaksi Jumat sore itu jadikan Petobo kembali seperti sedia kala. Hanya menyisakan satu wilayah kecil yang disebut Kinta.
Dalam bahasa Kaili, likuifaksi memiliki nama lain yaitu nalodo atau terbenam. Jejak tua peristiwa ini, kata Iksam, kemungkinan pernah terjadi wilayah dataran tinggi Lore Kabupaten Poso. Area yang oleh bahasa Lore disebut halodo (terbenam), dimaknai sebagai peristiwa terbenamnya wilayah ini dalam satu kejadian gempa bumi besar kala itu.
Di Pegunungan Gawalise, Salena, Kecamatan Uju jadi Kota Palu, juga ada satu wilayah yang disebut kaomboa oleh masyarakat adat Kamalisi. Kaomboa berarti runtuh atau hilang.
“Area cukup luas dan curam, menurut kepala adat, dulu daerah ini wilayah pemukiman mereka. Saat gempa besar, turun ke laut. Hari keempat masih terlihat, hari ketujuh, hilang dalam laut. Maka, wilayah ini mereka sebut kaomboa. Kejadian ini sama dengan apa yang terjadi di Tanjung Batu, Donggala, pasca gempa bumi kemarin, hari ketujuh hilang ke dasar laut,” kata Gifven Lasimpo, pegiat di Komunitas Muda Peduli Hutan.
Penduduk meninggalkan wilayah ini karena lereng curam. Untuk mengingat peristiwa itu, kaomboa ditanami pohon dan terlarang ditinggali ataupun dirusak. Aturan itu, berlaku hingga kini.
“Kenapa wilayah-wilayah ini tidak jadi tempat tinggal? Bisa jadi karena dari masa lampau leluhur kita itu sudah bisa meneliti yang mana wilayah aman ditinggali. Kalaupun mereka pernah mengalami bencana, itu pelajaran untuk kemudian mereka pindah.”
Banyaknya penamaan wilayah di Lembah Palu yang memiliki arti bencana kemungkinan besar diambil dari peristiwa masa lampau. Toponomi ini jelas memberi makna bagaimana masyarakat dulu evakuasi mandiri berdasar kejadian yang mereka alami.
“Peristiwa-peristiwa di beberapa tempat kemudian memberi kenangan lalu menjadi nama. Toponomi atau penamaan rupa bumi di Lembah Palu didominasi nama tumbuhan dan peristiwa,” kata Neny Muhidin, pegiat literasi dan pendiri Nemu Buku sekaligus penggagas ekspedisi sesar Palu Koro.
Toponimi, katanya, merupakan cabang anomastika yang menyelidiki nama tempat. “Masyarakat tua kita yang tanpa pengetahuan berbasis sains mampu mengenali dan memberi tanda serta peringatan melalui toponimi ini.”
Di situlah, katanya, letak kecerdasan berbalut kebajikan. Mengalami, mengenang dan menandai peristiwa itu dalam penamaan lokal sebagai peringatan.
***
Marno, warga Petobo, mengatakan, dulu di Petobo, ada sungai besar, disebut Sungai Ngia. “Sering kami keruk endapan di sungai itu, banyak kalau dibiarkan nanti terjadi pendangkalan. Itu bisa bahaya kalau ada banjir besar,” katanya.
Banyaknya material yang menumpuk, katanya, akhirnya warga bosan dan membiarkan begitu saja hingga lama–kelamaan sungai itu menghilang, berganti perumahan padat.
Kekhawatiran Marno terjawab dengan banjir besar di Petobo pada 8 Agustus 2017. Air meluap di tanggul irigasi Gumbasa menyebabkan sebagian besar wilayah petobo tergenang banjir.
“Itu akibat dari sungai hilang, seharusnya jadi jalur air. Kalau jalan tertutup apalagi hilang dan jadi perumahan, air lari ke mana? Pasti ke pemukiman.”
Sungai hilang itu dapat dibuktikan dari peta tua buatan Etnograf Belanda, Albert Christian Kruyt yang ditulis berdasarkan catatan perjalanan ke Lembah Palu tahun 1897. Dalam peta itu terdapat Sungai Ngia, mengalir tepat di Petobo, yang sekarang hilang terlumat likuifaksi.
Menurut Iksam, banyak sungai mati tak terdeteksi lagi di Lembah Palu. Ia tertimbun, di tangan para pengembang jadi perumahan.
“Kalau kita lihat dari peta tua Kruyt, wilayah ini dialiri DAS Kapopo, yang dulu bermuara di jalur dua Jl. Muh. Yamin dan bertemu dengan Sungai Kawatuna, lalu bermuara di sungai yang melewati Pasar Masomba. Sekarang sudah tidak ada aliran DAS Kapopo ini, kering,” kata Iksam.
Bagaimanapun, sungai mati atau kering tetaplah sungai, yang mungkin dalam siklus 100 tahun tidak pernah banjir karena perubahan DAS struktur tanah tak sama dengan dengan struktur daratan kering. “Perlu penelitian yang mendalam untuk mengetahui kebenaran jejak ini.”
Kondisi geografi di Lembah Palu, jadi acuan bagi masyarakat tua dulu. Wilayah-wilayah yang dulu sungai meskipun mengering tak jadi pemukiman.
“Mereka akan memilih tinggal di bekas rawa daripada jadikan bekas sungai untuk rumah. Inilah yang seharusnya jadi pelajaran penting bagi kita.”
Neny bilang, pengetahuan lokal orang-orangtua itulah yang harusnya jadi pembelajaran. “Ingat, sejarah bencana di tanah kita ini usia jauh lebih tua dari kita bahkan mereka.”
