Mongabay.co.id

Perspektif Kebudayaan dalam Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan

Gambut rusak yang kebanjiran kala musim penghujan dan kekeringan saat kemarau. Foto: Nopri Ismi

Seorang filsuf  lingkungan hidup dari Norwegia bernama Arne Naess pada tahun 1973 menyampaikan sebuah kritik, bahwa akar masalah kerusakan lingkungan hidup adalah ketika kita berpikir lingkungan adalah obyek untuk dieksploitasi.

Naess mengkritik antroposentrisme, yang menempatkan manusia adalah segala-galanya.

Naess berargumen bahwa manusia dan lingkungan harus dihargai sama tingginya, dan menempatkan seluruh makhluk hidup secara setara. Pandangan Naess ini kemudian menjadi salah satu mashab dalam diskursus lingkungan hidup yang disebut “deep ecology

Saya terperanjat ketika saya membaca risalah Prasasti Talang Tuwo pada abad ke 7,tahun 684 pada masa Kerajaan Sriwijaya. Dapunta Hyang Sri Jayanasa (RajaSriwijaya) memerintahkan untuk membuat Taman Srikerta dengan pesan diantaranyaadalah

Semoga semua yang ditanam, bendungan dan kolam-kolam digunakan untuk kebaikan semua makhluk sebagai jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan

Rawa gambut di Desa Perigi Talangnangka, OKI, Sumsel. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Saya ulangi, untuk kebaikan “semua makhluk”! Artinya pandangan tersebut adalah deep ecology yang baru dikemukakan olehArne Naess tahun 1973. Nilai-nilai lama Sriwijaya merupakan falsafah yang agung, keluhuran budi yang mengekspresikan hubungan manusia dengan alam dalam tatanankehidupan masyarakat.

Disamping itu “outcome” dari pengelolaan Taman Srikerta dalam Prasasti Talang Tuwo, adalah “ jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan”.Saya tegaskan bukan mendapatkan kekayaan atau kalau jaman sekarang ekonomi dan finansial tapi kebahagiaan.

Hal ini mengandung makna bahwa pengelolaan lingkungan ujungnya harus memberikan kebahagiaan lahir dan batin. Keluhuran inilah yang seharusnya menjadi nilai-nilai yang terus ditanamkan kepada generasi demi generasi di Sumatera Selatan.

Dari refleksi ini, kita bisa menyimpulkan, sesungguhnya kita kaya akan nilai-nilai dan pemikiran kebudayaan yang agung pada masa lampau. Masyarakat Sumsel sebenarnya memiliki rujukan, yang tidak usah dicari kemana-mana, semua adadalam sejarah peradaban di Sumatera Selatan.

Tatanan kebudayaan Sumsel telah memberikan panduan yang jelas bagaimana hubungan manusiadengan Tuhan, manusia dengan Alam serta manusia dengan sesamanya.

Pertanyaannya adalah bagaimana posisi kita? Sampai sejauh mana perababan modern manusia Sumsel mampu mengelola lingkungan untuk “kebaikan semua makhluk dan jalan untukkebahagiaan”?

Tahun 1997 dan 2015, terjadi kebakaran hutan dan lahan yang besar di Sumsel. Sungai-sungai yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat tercemar oleh sampah dan limbah pembangunan.

Hutan dan rawa gambut rusak akibat ekspansi pembangunan ekonomi yang besar-besaran. Harimau, atau si puyang telah kehilangan tempat hidupnya, sekelompok gajah tersesat dalam kebun kelapa sawit di sekitar Sembilang. Kerusakan lingkungan hidup terus terjadi ditengah kehidupan modern yang terus menyisakan ketimpangan ekonomi dalam bentuk kemiskinan.

Sawah dan lahan pertanian, menjadi bagian dari pengelolaan lingkungan dan wilayah. Foto; Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Ditengah karut marut persoalan lingkungan hidup, lantas apa yang harus kita bersama lakukan?

Disini kita mulai memikirkan kembali “pembangunan” seperti apa yang seharusnya dilakukan. Mari kita telaah bersama-sama. Kita telah lama terjebak dalam teknokrasi perencanaan pembangunan sektoral, dimana sumberdaya  alam dipecah-pecah dalam fungsi-fungsi sektor seperti kehutanan, perkebunan, pertanian dan sebagainya yang seperti tidak terkait satu sama lain.

Ungkapan yang sering didengungkan adalah “ego-sektoral”

Disamping itu upaya pelestarian lingkungan juga terpecah-pecah dalam fungsi-fungsi spasial kawasan, ada kawasan konservasi, kawasan produksi atau budidaya, kawasan masyarakat dan seterusnya yang masing-masing punya logika pengelolaan tersendiri yang tidak terkait satu sama lain.

Padahal,nilai-nilai yang diajarkan para nenek moyang kita adalah pengelolaan lingkungan untuk semua makhluk dan menuju jalan kebahagiaan? Bisakah?

Eksploitasi sumberdaya alam pada satu komponen akan mempengaruhi ketersediaan sumberdaya alam lain. Aliran sumberdaya alam, hubungan antara komponen dalam sistem ekologi adalah timbal balik, dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Pengelolaan sumberdaya alam yang terpecah-pecah dalam sektor dan logika masing-masing akan menghilangkan harmoni dalam keutuhan sebuah bentang alam.

Dalam hal ini, maka pendekatan lanskap digagas dan dikembangkan. Pendakatan lanskap sesungguhnya adalah manifestasi dari nilai-nilai pengelolaan sumberdaya alam leluhur.

Prinsip tersebut bisa dilacak di Bali ada Tri Hitta Karana, di Lombok ada Awig-Awig, di Jawa ada Gugur Gunung dan Memayu Hayuning Bawana, dan di Sumsel, Bumi Sriwijaya yang kita cintai ini ada Prasasti Talang Tuwo.

Konsep ini pada prinsipnya adalah pengelolaan bentang alam secara terpadu, dengan melibatkan seluruh pihak terkait termasuk masyarakat lokal untuk kebaikan semua makhluk hidup dan jalan kebahagiaan bersama.

Konsep pembangunan ekonomi yang rakus terhadap sumberdaya alam sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah peradaban Sumsel. Berbagai bencana lingkungan adalah sebuah akibat dari pola pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak selaras dengan nilai-nilai leluhur kita.

Kita perlu bersama-sama menghembuskan nafas-nafas kebudayaan dalam pengelolaan sumberdaya alam kita. Kita perlu menghidupkan kembali nilai-nilai pelestarianalam secara terpadu dan utuh, tidak terpecah-pecah, namun dalam satu kesatuan prinsip pengelolaan yang menghargai eksistensi semua makhluk dan menuntun jalankebahagian.

Dalam hal itu kita perlu wadah, perlu banyak diskusi, untuk mempelajari dan menyebarluaskan nilai-nilai kebudayaan lama Sumsel dan menjadikannya panduan untuk menjawab tantangan pengelolaan lingkungan hidup pada saat ini.

Agenda ini melampaui kepentingan sektor, kepentingan politik, kepentingan proyek karena merupakan bagian dari pemajuan kebudayaan Sumsel.

Upaya untuk melakukan revitalisasi bagi pencarian terus menerus bagaimana kemajuan manusia-manusia Sumsel seutuhnya, sebuah proses untuk memperkokoh nilai dan budaya yang penjadi panduan hidup bersama, lebih jauh merupakan bagian dari proses terus menumbuhkan kekuatan nation-state kita, kebangsaan kita, ke-Indonesiaan kita.

Kita harus bangga dan bersyukur, bahwa para leluhur pendahulu kita telah menanamkan “deposito” dalam bentuk nilai-nilai yang agung dan bersemayam dalam sejarah dan alam pikir kita sebagai warga bangsa. Namun tanpa adanya pemaknaan, pembelajaran dan penguatan kembali nilai-nilai tersebut atau dengan kata lain tanpa “reinvestasi”, maka deposito tersebut semakin lama akan tergerus habis dalam perkembangan jaman.

Untuk itu saya mengajak kita bersama untuk merefleksikan pentingnya pemajuan nilai-nilai budaya ini untuk generasi saat ini dan masa yang akan datang.

Kita harus optimis! Dengan niat yang baik dan upaya yang sungguh-sungguh, kita akan bersama merangkai kembali nilai-nilai kebudayaan dalam pengelolaan lingkungan hidup di Sumsel.

Marilah kita bersama-sama mengumpulkan yang terserak, menyelamatkan yang tersisa.

Prof. Dr. Damayanti Buchori, M.Sc, Guru Besar IPB/Direktur Proyek KELOLA Sendang; tulisan ini diadaptasi dari materi yang disampaikan oleh penulis dalam Talang Tuwo Urban Street Theatre oleh Teater Potlot di Jalan Jenderal Sudirman Palembang (23 Maret 2019).

Exit mobile version