Mongabay.co.id

Kala Petani Teluk Jambe Berjuang untuk Tanahnya

Siang itu, wajah Remiyati (40) sumringah. Di lahan sekitar dua hektar yang dia kelola sudah ditumbuhi pohon rambutan dan jeruk. Menurut perhitungannya, dalam hitungan pekan masa panen akan tiba.

Ini berbeda dengan waktu lalu. Selama dua dekade, Remiyati dan sesama rekannya warga Desa Margakaya, Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang ini bilang lahannya terus berkonflik terkait urusan penguasaan lahan. 

“Dulu, di sini lahannya lahan sengketa, mas,” ungkapnya menegaskan.

Setelah membuka topi dan menaruh tas perkakas, dia menyambut saya di rumahnya yang belum terpasang listrik. Meski berjarak 5 kilometer dari kawasan industri, listrik belum masuk ke kampungnya akibat persoalan lahan.

Dia membagi kisah perjuangan petani setempat hingga memperoleh Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada pertengahan tahun 2017 lalu.

Lahan garapan warga tadinya merupakan lahan yang telah puluhan tahun menganggur. Hanya itu yang diketahui Remiyati. Akan tetapi timbul konflik seiring pembangunan industri mengkonversi lahan pertanian di Karawang.

Remiyati menyebut sengketa lahan dipicu sejak tahun 2013 silam, saat PT Pertiwi Lestari (PT PL), -sebuah perusahaan pengembang industri, tiba-tiba memagari lahan yang telah lebih dulu digarap warga dengan pagar beton di area seluas 791 hektar.

Padahal, katanya sebelum perusahaan masuk di lahan tersebut telah menjadi ladang garap, berikut ratusan rumah petani, termasuk rumah Remiyati.

“Ketika itu kami merasa heran mengapa tanah yang sudah digarap lama langsung diklaim begitu saja.”

Bayangan di depan foto-foto dokumentasi demo yang dilakukan oleh warga Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Berdasarkan data yang dikutip dari Majalah Tempo edisi 17/5/2017, riwayat lahan di wilayah Telukjambe bermula pada pengurusan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) oleh PT Tanjung Krisik Makmur (PT TKM) pada 1974. Perusahaan ini mengajukan HGU atas lahan seluas 1.000 hektar di wilayah Perkebunan Tegal Waru (eks Perkebunan Belanda).

Bupati Karawang Dadang S. Muchtar kala itu menyetujui izin HGU bagi PT Tanjung Krisik. Namun dengan syarat, 315 hektar lahan harus diserahkan kepada 211 anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).

Pada tahap awal, hanya 90 orang veteran yang mengurus perizinan. Lahan yang dilepas PT Tanjung Krisik kala itu sekitar 158 hektar. Pada 1994, LVRI Telukjambe kembali mengajukan pelepasan HGU seluas 70 hektar untuk 61 anggotanya. Lalu, sisa lahan HGU 791 hektar itulah yang dibeli PT PL pada 1995.

Meletupnya konflik, lantaran lahan yang sudah puluhan tahun “tidur” itu sudah jadi garapan warga yang akan diambil paksa. Hal itu diungkap Sekretaris Serikat Tani Telukjambe Bersatu (STTB), Mad Hardi.

Kata Hardi, PT PL menyebut pihaknya sudah memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di lahan tersebut. Lahan mencakup dua desa, yaitu Margakarya dan Wanajaya.

“Kami pada waktu itu menanyakan sertifikat HGB yang ujug-ujug ada,” kata dia.

Padahal katanya ada warga yang lebih 20 tahun menggarap lahan itu. Jauh sebelum ada izin HGB, di lahan itu sudah ada ladang, sawah bahkan rumah warga.

Menurutnya, secara legal aturan, sebetulnya warga pun berhak mengajukan lahan itu jadi hak milik. Tetapi warga sadar tidak akan mampu dan mustahil.

Sebagai jalan tengah PT PL lalu menawarkan kompensasi yang disebut tali kasih. Ditawarkan, warga yang bermukim di areal HGU, akan mendapat uang Rp 30 juta untuk penggantian rumah dan Rp 5 juta untuk lahan garapan. Setidaknya ada 450 keluarga yang bermukim atau menggarap lahan.

“Namun petani yang tergabung di STTB menolak. Jumlanya 360 KK. Mereka tetap menuntut hak atas tanah tersebut,” terangnya.

Remiyati Petani Kampung Lembur Hayang, Telukjambe, Karawang Jawa Barat, kembali menggarap lahannya setelah beberapa tahun mengalami konflik. Melalui Surat Keputusan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) petani setempat diberikan lahan garapan seluas 1.556 hekter oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Pada awal tahun 2017, ketika PT PL hendak menguasi lahan menggunakan alat berat dengan pengawalan ketat aparat berjumlah lebih dari 1.000 personil. Selanjutnya, bentrokan fisik pun tak terhindarkan. Banyak petani laki-laki yang dibawa oleh aparat, tak sedikit pula yang dikriminalisasi.

Sewaktu konflik, pemerintah “mengamankan” sebagian keluarga petani agar bentrokan tak terulang. Beberapa keluarga terusir dan pindah ke daerah lain. Termasuk keluarga Hardi pun mesti rela berpindah-pindah tempat tinggal selama konflik terjadi.

“Lama terlunta-lunta, petani yang terusir itupun membentuk serikat tani sebagai wadah masyarakat untuk kembali berjuang,” ucap Hardi. Lewat STTB, mereka mencari “dukungan politik” guna menjadi jalan menyampaikan aspirasi.

Maret 2017, serikat petani melakukan aksi longmarch dari Karawang menuju Jakarta, demi mencari keadilan atas kasus konflik lahan. Mulai dari Gedung DPR hingga Istana Merdeka mereka singgahi untuk berunjuk rasa.

Di depan Istana Merdeka para petani nekat melakukan aksi kubur diri. Hingga hari ketujuh aksi kubur diri dilaksanakan, akhirnya Presiden Joko Widodo memanggil beberapa perwakilan petani STTB ke istana.

“Di depan Presiden, kami sampaikan aspirasi dan permasalahan yang selama ini dihadapi,” katanya.

Hardi mengingat-ingat pertemuan dua tahun lalu itu. Dia bilang, dihadapan Presiden Joko Widodo, Staf Kepresidenan Teten Masdjuki, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sembilan perwakilan petani membeberkan keinginannya yang hanya ingin tetap bertani dengan menggarap lahan.B

Pertemuan dengan Presiden pun menghasilkan dua kesepakatan. Yaitu petani diberikan tanah sertifikat hak milik seluas 18 hektar sebagai imbas konflik dengan HGU PT PL. Sedangkan perihal area pertanian/perkebunan diberikan pengelolaanya kepada warga melalui skema Perhutanan Sosial (PS) dengan SK NOMOR 5320/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/10/2017 IPHPS yang diberikan kepada 783 keluarga petani berikut lahan seluas 1.566 hektar.

Selain itu, demi meningkatkan perekonomian masyarakat diberikan akses untuk mengolah lahan secara mandiri. Namun, dengan catatan penerima SK diminta dapat menggarap lahannya minimal dengan menanam pohon berkayu sebanyak 50%.

Menata Diri

Dua bulan setelah resmi menerima hak pengelolaan lahan pada program perhutanan sosial di tahun 2017, petani Telukjambe lalu mendirikan Gabungan Kelompok Tani Mandiri Telukjambe Bersatu (GKTMTB). Ini dilakukan untuk menunjangkan keperluan seperti pengecekan penerima SK berdasarkan data by name by address, penandaan tata batas areal, hingga pengambilan titik koordinat.

Skema perhutanan sosial memang memberi akses bagi warga untuk mengelola lahan secara maksimal. Tidak hanya diberi lahan, akses mendapatkan bibit atau pupuk juga akan diberikan.

“Bagi kami sebagai petani permintaan tersebut bukan jadi masalah. Saat ini kami mulai percaya diri untuk menata hidup kembali,” jelas Hardi. Dia mengaku merasa tenang. Lahan garapan yang tadinya dianggap ilegal, kini memperoleh izin pengelolaannya oleh masyarakat selama 35 tahun.

Blok lahan garap yang dikelola oleh petani di Teluk Jambe. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Dibentuknya Gabungan Kelompok Petani berfungsi untuk mengatur mana yang menjadi lahan garapan anggota kelompok. Jika tidak diatur, petani khawatir jika terjadi konflik horisontal diantara mereka.

Hal ini dijelaskan Toto Nawoto, yang sekarang menjabat Sekertaris GKTMTB. Dia acapkali dibuat sibuk ketika menjelaskan tentang status lahan.

“Pasca pemberian IPHPS ini sedang dilakukan penataan ulang,” kata Toto bercerita belum lama ini. Dia tak memungkiri jika ada lahan yang belum sepenuhnya terdistribusi.

Secara khusus bagi petani yang rumah dan lahan pertaniannya dulu berkonflik dengan PT PL. Selain itu ada sebagian petani yang lahan garapannya belum masuk areal izin IPHPS. 

Adapun langkah pemetaan selama 2 tahun ini, imbuh Toto, hanya dilakukan secara partisipatif. Hal ini karena belum ada campur tangan pemerintah. Jika persoalan tersebut tak tuntas, dia bilang dapat terulang masalah yang sama. Pasalnya, masih ada masyarakat diluar anggota yang menggarap lahan.

“Berdasarkan data by name by address, seluruh anggota kami berjumlah 1.074 KK. Dengan izin lahan seluas itu belum sepenuhnya terakomodir. Terlebih, banyak warga diluar kelompok kami yang tidak memiliki hak, tetapi turut garap lahan. Kami belum persoalkan itu, tetapi [mereka] mesti ikuti aturan kami yang memiliki hak garap,” tuturnya.

Aturan tersebut adalah setiap keluarga tani tidak boleh menggarap lahan lebih dari 2 hektar. Kendati demikian, hasil kajian GKMTMTB di lapangan sempat menemukan lahan garapan yang masih diklaim milik perorangan lebih dari 10 hektar.

“Kami identifikasinya lewat peta kawasan. Di peta ditandai mana lahan garapan kelompok, garapan bukan kelompok, hingga lahan yang tidak diketahui penggarapnya siapa.”

Mad Hardi menunjukan Surat Keputusan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) kepada Petani Telukjambe, Karawang Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Sebagai informasi, sebelum kawasan IPHPS ini disahkan. Kewenangan kelola berada dibawah Perum Perhutani sejak 2008. Warisan pada pengelolaan Perhutani, adalah dibentuknya Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sebagai mitra dengan masyarakat sekitar dalam pengelolaan hutan.

Di situ Toto merasa terjadi tumpang tindih aturan. Pasalnya, IPHPS semestinya menggugurkan kewenangan Perhutani dalam pengelolaan lahan. Namun, kenyataannya petani LMDH banyak yang masih menggarap lahan. Padahal, petani penerima izin belum sepenuhnya mendapatkan lahan garapan di area IPHPS.

Itu yang dikhawatirkan Toto dapat memicu konflik diantara petani. Pasalnya, lahan yang menganggur itu lagi-lagi dapat diklaim sepihak. Masalahnya, masyarakat yang belasan tahun lalu menggarap lahan itu, diminta angkat kaki. Perlu mediasi di sini.

Mulai bangkit

Sekalipun, belum ada campur tangan pemerintah menyoal pendampingan pasca pemberian IPHPS. Petani Telukjambe enggan berpangku tangan. Mereka kompak udunan (menggalang sumbangan) untuk membeli beragam bibit dan pupuk secara mandiri. Mereka ingin bangkit dan cepat lepas dari rasa takut.

Rupanya, petani Telukjambe telah memiliki komoditas unggulan yaitu jeruk manis, jeruk nipis dan jeruk purut. Menurut Toto, kualitas jeruk yang dihasilkan masuk kategori terbaik dan cukup dikenal di pasaran. Jeruk pun jadi andalan petani setempat menggenjot perekonomian.

“Jeruk sudah lama jadi nafas kehidupan petani Telukjambe” ungkap Toto.

“Yang bisa kami lakukan adalah mengakali bagaimana anggota GKMTB yang belum memiliki lahan bisa ikut bertani. Saat ini caranya berbagi sedikit lahan untuk sementara waktu. Termasuk membeli bibit dan pupuk, semua gotong royong saling bantu,” imbuhnya.

Episode perjuangan petani Telukjambe mungkin belum akan berakhir dalam waktu dekat. Namun, di tengah keterbatasan mereka menyemai semangat dan kepedulian. Tujuannya jelas, sebagai petani mereka ingin berdaulat di lahannya.

Video: Perjuagan Masayarakat Telukjambe

Exit mobile version