Mongabay.co.id

Kala TPS Piyungan Tetap Tampung Sampah Walau Sudah Membeludak

Sekawanan sapi bergerombol di antara alat-alat berat di antara tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Selasa, akhir Maret lalu. Kawanan sapi itu mengira ada kiriman sampah. Sejak Minggu, 24 Maret lalu tak satu truk pun mengirim sampah. Sapi-sapi itu pun mondar-mandir lesu. Di langit Piyungan, sekawanan burung merpati melintas.

“Ini dikeruk, buat jalan masuk warga. Nanti sampah tak dibuang di sini tapi masuk ke sana. Jadi,  biar bisa lebih banyak menampung. Kalau kemarin truk hanya masuk sampai di sini, lalu buang,” kata Sutarto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yogyakarta, pada akhir Maret lalu. Bersama staf, dia melihat langsung alat-alat berat itu bekerja.

Sampah yang berceceran membuat jalan menyempit. Truk sampah tak leluasa keluar masuk. Warga yang biasa pakai jalan di samping TPST pun terganggu.

“Sebenarnya ini sudah overload, sudah penuh. Kan belum meninggal dunia, masih bisa bernapas. Itu yang kita maksimalkan,”

Maksud dari masih bernapas ucapan Sutarto itu berarti TPST dipaksa terus menerima kiriman sampah dari Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul, sekitar 600 ton perhari. Terbanyak dari Yogyakarta,  sekitar 60%.

Suasana di TPST Piyungan, Bantul. Tak hanya lalu lalang truk sampah, juga rombongan sapi yang mencari makan di tempat sampah. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Warga tutup akses

Sebelumnya, Sabtu malam, 23 Maret, warga menutup akses ke TPST Piyungan. Dampaknya, puluhan truk pengangkut sampah gagal masuk. Tindakan itu dipicu kekesalan warga karena antrean panjang truk. Selain bau, warga juga mengeluhkan pengguna jalan yang terganggu.

Jalan desa di samping pagar pembatas TPST berlobang, becek, dan kotor. Padahal,  itu jalan warga sehari-hari. Kondisi makin rusak karena sering dilalui truk pengangkut sampah.

“Antrean 1,5 kilometer, mungkin lebih. Truk masuk satu-satu, sopir harus menunggu 8-9 jam. Tadinya bisa membuang tiga kali, kemarin hanya satu kali. Karena tempat pembuangan sudah sempit dan sudah tak layak,” kata Maryono, yang ditunjuk mewakili warga.

Sebenarnya,  sudah ada dialog antara warga dengan pejabat yang bertanggung jawab mengelola sampah di Piyungan, bertempat di Kantor TPST. Pertemuan berlangsung beberapa hari sebelum mereka melampiaskan kekesalan dengan menutup jalan.

Saat itu,  warga mengeluhkan dampak antrean dan jalan yang kotor. Pertemuan berakhir tanpa titik temu. Maryono bilang, pejabat yang hadir enggan diajak melihat langsung titik penumpukan sampah yang menggangu jalan.

“Juga disampaikan tuntutan demo akhir 2018, kok belum dipenuhi,” katanya.

Sampah di TPST Piyungan, belum lalui proses pemilahan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Penutupan sepihak warga pekan lalu memang bukan kali pertama. Setidaknya,  sudah tiga kali warga dari Sentulrejo (Bawuran), Lengkong (Bawuran), Bendo (Sitimulyo), Mendit (Sitimulyo), dan Watu Gender (Sitimulyo), menutup paksa jalan ke area pembuangan sampah.

Pertama pada 2015, warga lima dusun sekitar TPST itu memblokade jalan karena pengelola ingkar. Janji penyemprotan berkala untuk nyamuk dan lalat tidak lagi dilakukan. Selain itu,  dana kompensasi macet.

Pada akhir 2018,  warga kembali protes. Kali ini, mereka meminta pengerasan jalan desa yang selama ini dilalui truk pengangkut sampah. Mereka juga meminta ada pagar pembatas antara area pembuangan dengan jalan. Soal penyemprotan tak rutin juga disinggung.  Begitupun masalah kompensasi yang tak kunjung terealisasi.

Kesabaran warga pada pekan terakhir Maret lalu,  kembali ke titik nadir. Warga menutup portal, hingga truk pengangkut sampah yang membawa sampah dari Yogyakarta, Sleman dan Bantul,  harus memutar.

Sampah kota tak terangkut, di beberapa titik TPS menumpuk, bahkan meluber ke badan jalan. Antara lain, di dekat Stasiun Kereta Lempuyangan dan di Jalan Hayam Wuruk, Danurejan. Sampah juga menumpuk di pasar-pasar dan menimbulkan bau yang tidak sedap.

Tumpukan sampah di Pasar Kranggan, akhir Maret lalu. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Lampaui umur teknis   

Lokasi TPST Piyungan, di kelilingi bukit, di Dusun Ngablak, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Bantul. Dibanding TPST Bantar Gebang, seluas 110,3 hektar hingga terbesar di Indonesia, luas TPST Piyungan,  sekitar 12,5 hektar.

Beroperasi mulai 1996, TPST ini beberapa kali pindah pengelolaan. Dari penelusuran, awalnya di bawah Sub Dinas Cipta Karya, Dinas Pekerjaan Umum Yogyakarta. Kemudian pengelolaan dalam wadah kerjasama Sekretariat Bersama Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul). Lalu kembali dikelola provinsi, lewat Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral. Kini, berpindah tangan lagi.

“Saya memang diserahi tugas mengelola TPA ini. Kalau menyangkut masalah persampahan mulai dari mungut sampai ngangkut itu kabupaten kota. Kalau yang mengelola sampah di sini, TPA ini diserahkan kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Baru tiga bulan. Semula Dinas Pekerjaan Umum,” kata Sutarto.

Pergantian pengelola itu seperti membawa konsekuensi tersendiri soal sampah, manajemen, dan kesejahteraan karyawan.

Dibangun pada 1995, secara teknis TPST Piyungan sebenarnya hanya bisa selama 10 tahun, alias berakhir 2016. Dengan berbagai cara, usia teknis ini terus perpanjangan usia teknis. Bahkan,  menurut UU Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah menyebutkan, pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang pakai sistem pembuangan terbuka (open dumping) paling lama lima tahun sejak UU berlaku.

TPST Piyungan,  sendiri pakai controlled landfill (sistem lahan urug terkendali), hanya satu level di atas open dumping. Sampah organik dan nonorganik dibuang dan diratakan, lalu dalam waktu tertentu ditimbun dengan tanah. Penimbunan tak ajeg akan memperpendek usia teknis.

Tumpukan sampah di Piyungan,  pun kini membukit. Meski dibangun pada cerukan jurang sedalam 40 meter, sampah di Piyungan, tampak menjulang.

Sutarto bilang, TPST melampaui daya tampung. Maryono mengatakan,  ketinggian sampah sudah mencapai 150 meter lebih.   

Jalan masuk ke TPST Piyungan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Pilah sampah

Cahyono Agus Dwi Koranto,  yang dihubungi Mongabay mengatakan,  model pembuangan di Piyungan,  tergolong tradisional dan banyak membawa masalah. Terutama menurunkan daya dukung lingkungan bagi kehidupan.

Menurut profesor ilmu tanah pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, salah satu air peluruhan bahan-bahan organik dari TPST masuk ke saluran air kehidupan, baik sungai maupun air tanah. Padahal, katanya,  sampah berbagai jenis baik organik, non-organik, toksik, bahan berbahaya beracun, hanya ditumpuk begitu saja di Piyungan.

“Memang harus diperbaharui sejak hulu sampai hilir, hingga tidak sekadar masalah Piyungan. Juga soal pendidikan, tanggung jawab, perilaku kita terkait sampah.”

Dampak paling mudah dikenali, katanya, memang bau sampah dari pembusukan bahan organik lalu tercuci hingga melarut dan masuk ke tanah atau sungai. Lalat, nyamuk, dan vektor penyakit lain juga suka berkumpul di sana makan bahan organik karena bahan ini sumber makanan makhluk hidup.

Selain itu, katanya,  ada gas yaitu Methane (CH4),  perusak atmosfer paling besar. Kemampuan destruktif zat ini berpengaruh terhadap pemanasan global 30 kali lebih kuat dibanding emisi CO2. “Belum lagi di situ ada plastik, logam, B3, yang dekomposisinya lama.”

Untuk memutus mata rantai persoalan sampah, katanya, dengan upaya terstruktur pengolahan terpadu. Dari awal sumber baik dari rumah tangga, perusahaan, perkantoran, atau restoran hingga produk akhir sampah.

“Kalau zaman dulu,  keluarga membuang sampah organik di jugangan atau di pekarangan sendiri hingga mengalami dekomposisi alami. Sekarang, karena pekarangan sudah tak ada jadi dibuang atau dikumpulkan. Ini harus ditata ulang, bagaimana sampah dipilah sejak awal,” katanya.

Untuk mengubah perilaku, katanya,  memang tak gampang namun bukan mustahil. Dia mencontohkan, kebiasaan memakai helm saat berkendaraan bermotor kini sudah membudaya.

“Dulu belum jadi budaya, kemudian ada strong regulation, strong leadership, strong implementation, dan terpenting, strong participation. Sudah jadi gerakan bersama, kalau tidak,  yang rugi kita semua.”

Soal potensi energi sampah di Piyungan, dia berpendapat, meski besar namun terkendala kadar air tinggi.

“Untuk jadi energi kadar air harus rendah, sampah Piyungan itu campuran air banyak. Campuran non-organik juga tinggi, memilah itu biaya tinggi. Bisa jadi tidak cocok antara hasil dengan biaya.”

Mengenai pilah sampah, katanya, Indonesia atau Yogyakarta, bisa meniru Jepang. Di sana,  ada peraturan sangat ketat, dan kesadaran masyarakat besar soal kebiasaan ini.

“Buang sampah organik di hari-hari tertentu dan mereka benar-benar patuh. Jadi, di dapur sudah memilah sampah. Sampah besar seperti lemari es selain diambil pada hari lain, harus membayar retribusi dengan cara ditempeli stiker dan diberi keterangan tanggal pembuangan.”

Jadi, katanya, ada kesadaran bahwa kelestarian sumber daya alam, lingkungan merupakan tanggung jawab bersama. “Kalau membuang sampah sembarangan secara moral tidak bagus. Ada sanksi sosial, hukum, dan ekonomi. Di tempat kita hal itu belum ada hingga perlu ditegakkan dengan peraturan dan lain-lain.”

Keterangan foto utama: Maryono, menunjuk ke TPST Piyungan, dengan sampah menggunung. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version