Mongabay.co.id

Pentingnya Pengelolaan Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Aktivitas di tempat pelelangan ikan Beba Galesong Utara, Takalar. Diperkirakan 20 ribuan nelayan yang berprofesi sebagai nelayan di sepanjang pesisir Takalar dan menjual ikannya di TPI ini. sejumlah nelayan mengeluhkan mulai adanya penurunan tangkapan ikan sejak adanya penambangan pasir di perairan mereka. Foto Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

Pemerintah Pusat terus mendorong Pemerintah Provinsi untuk segera menyelesaikan pembuatan peraturan daerah rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) secepat mungkin. Dari 34 provinsi, saat ini baru 17 provinsi yang sudah menetapkan Perda RZWP3K dan menjadikan acuan dalam rencana pembangunan di wilayahnya masing-masing.

Ke-17 provinsi yang sudah mempunyai Perda RZWP3K itu, adalah Sulawesi Utara, SulawesiBarat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,Lampung, Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta,Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara,Maluku, dan Maluku Utara.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti Poerwadi di Jakarta, pekan lalu mengatakan, 17 provinsi tersebut menjadi contoh yang baik bagi provinsi lain untuk melaksanakan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Langkah tersebut, akan menjadi penanda bahwa pengelolaan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan sangat serius.

“Kita akan terus mendorong sampai semua provinsi memiliki Perda RZWP3K,” tegasnya.

baca : Demi Keberlanjutan Pesisir, Setiap Provinsi Wajib Selesaikan Perda RZPW3K

Pulau Sambit, salah satu pulau terluar Indonesia yang terletak di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Foto : panoramio.com/Mongabay Indonesia

Selain 17 provinsi tersebut, Brahmantya menjelaskan, saat ini ada empat provinsi yang sudah memiliki rancangan Perda RZWP3K dan sedang dalam proses evaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri. Keempatnya adalah Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Kemudian, ada dua provinsi yang saat ini masih membahas rancangan Perda di DPRD setempat, yaitu Aceh dan Bengkulu.

Sementara,11 provinsi tersisa, menurut Brahmantya, saat ini seluruhnya masih dalam proses penyelesaian dokumen RZWP3K. Dari jumlah tersebut, 11 provinsi saat ini sedang dalam proses perbaikan dokumen final, yaitu DKI Jakarta, Banten, Papua Barat, Kepulauan Riau, dan Jambi. Kemudian, empat provinsi sedang melakukan perbaikan dokumen antara dan 1 provinsi sedang melaksanakan penyusunan peta tematik.

“Lima provinsi tersebut, adalah Riau, Bali, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung. Sedangkan, Papua saat ini sedang penyusunan peta tematik,”paparnya.

Instrumen Penting

Brahmantya menjelaskan, sesuai dengan Undang-Undang No.27/2007 jo UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib menyusun RZWP3K sesuai dengan kewenangan masing-masing. Kemudian, dalam UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 14 disebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energidan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan provinsi.

“Dengan adanya pembagian kerja, maka kewenangan pengelolaan perairan untuk 0 sampai 12 mil dari bibir pantai, itu juga akan terkena dampaknya. Untuk bentang tersebut, pengelolaan dilaksanakan oleh pemerintah provinsi,” ucapnya.

baca juga : Pentingnya Capres dan Cawapres Pahami Isu Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Tambak udang di pesisir Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Foto : DJPB KKP/Mongabay Indonesia

Dengan adanya UU di atas, Brahmantya mengungkapkan, provinsi seluruh Indonesia wajib untuk menyusun RZWP3K dan menetapkannya menjadi perda. Perda tersebut, menjadi instrumen yang sangat penting, karena menjadi dasar izin lokasi dan izin pengelolaan untuk investasi kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Menurut Brahmantya, tanpa adanya instrumen arah ataupun pengaturan pemanfaatan sumberdaya yang jelas di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka konflik pemanfaatan sumber daya akan terus terjadi dan harus dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Tak hanya itu, dampak negatif yang lebih luas juga mengancam kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil jika tidak dilakukan pengaturan dan pengelolaan wilayahnya.

“Degradasi kualitas lingkungan, ketidakpastian lokasi investasi, dan konflik antar pemangku kepentingan akan sulit untuk kita atasi,” jelasnya.

Selain amanat UU di atas, Brahmantya menyebutkan, dalam UU No.1/2014 pasal 16 ayat 1juga dijelaskan bahwa pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki izin lokasi. Kemudian, pada pasal17 dijelaskan bahwa izin lokasi sebagaimana dimaksud diberikan berdasarkan RZWP3K yang telah ditetapkan.

Selanjutnya,pada UU No.23/2014  tentang Pemerintahan Daerah pasal 14, disebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dengan cakupan 0 sampai 12 mil laut. Ketetapan tersebut berimplikasi pada kewajiban pemerintah provinsi untuk menetapkan Perda RZWP3K.

Terakhir, kata Brahmantya, Peraturan Presiden No.16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia Lampiran II menyebutkan bahwa pembangunan poros maritim meliputi 7 (tujuh) pilar, yang salah satunya adalah pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut.

Sebagai implementasi Perda RZWP3K yang sudah ada di provinsi, Brahmantya mengatakan, saat ini telah terbit 58 izin lokasi perairan dan izin pengelolaan perairan, dan 80 rekomendasi izin yang dikeluarkan oleh enam provinsi. Turunan tersebut, menjadi bukti bahwa kehadiran RZWP3K adalah kebutuhan bagi setiap provinsi.

menarik dibaca : Kenapa Pembangunan Pesisir Terus Berdampak Negatif

Reklamasi Teluk Benoa Bali oleh Pelindo III yang dipertanyakan izinnya oleh Walhi Bali. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

Tata Ruang Laut

SelainRZWP3K yang berlaku di daerah, Pemerintah Pusat saat ini tengah menyusun rencana tata ruang laut (RTRL), RZ kawasan antar wilayah (Laut, Selat dan Teluk), RZ kawasan strategis nasional, dan RZ kawasan strategis nasional tertentu (Pulau-Pulau Kecil Terluar). Kemudian, rancangan peraturan pemerintah tentang izin lokasi perairan dan izin pengelolaan perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, rancangan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang tata cara pemberian izin lokasi perairan dan izin pengelolaan perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Juga perencanaan dan peraturan perundangan terkait untuk mendukung tindak lanjut dan implementasi RZWP3K di daerah. Itu jadi modal dasar bagi Pemerintah Provinsi didalam upaya mendorong perkembangan ekonomi di wilayah pesisir,” tandasnya.

Disisi lain, penyusunan perda RZW3K di berbagai provinsi yang berlangsung hingga saat ini, dinilai masih belum terbuka dan hanya melibatkan segelintir masyarakat pesisir yang menjadi stakeholder utama. Fakta itu diperkuat, dengan tidak adanya tahapan konsultasi mulai dari desa/kelurahan yang didalamnya ada pulau-pulau kecil, kecamatan, hingga kabupaten/kota.

Penilaian tersebut diungkapkan Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata berkaitan dengan penyusunan Perda RZWP3K yang menjadi landasan untuk pengaturan tata ruang laut nasional. Temuan itu, bertentangan dengan semangat Pemerintah yang tengah melaksanakan agenda poros maritim diberbagai bidang.

“Termasuk,percepatan pembangunan infrastruktur, penambahan daerah konservasi, penyusunan dan pemberlakuan zonasi laut, hingga revisi maupun keluarnya Undang-Undang,”ungkap dia di Jakarta, belum lama ini.

Menurut dia, dengan adanya temuan di atas, menunjukkan bahwa proses konsultasi publik hanya dilakukan di daerah tertentu saja. Bahkan, dari hasil temuan di lapangan, ditemukan juga fakta bahwa konsultasi ada yang hanya dilakukan di ibukota provinsi saja dan sama sekali tidak melibatkan masyarakat yang ada di  wilayah pesisir  dan pulau kecil.

Tidak cukup disitu, Marthin mengatakan, dari hasil temuan di lapangan, ada juga Perda RZWP3K yang sudah disahkan, ternyata tumpang tindih dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang sebelumnya sudah ada di provinsi tersebut. Kemudian, kondisi itu diperparah tidak adanya penyelesaian konflik dan mekanismenya seperti apa yang melibatkan pihak-pihak terkait.

“Tata Ruang Laut Indonesia itu jadinya apakah melindungi atau menggusur ruang hidup nelayan?” tanyanya.

***

Keterangan foto utama : Aktivitas di tempat pelelangan ikan Beba Galesong Utara, Takalar. Diperkirakan 20 ribuan nelayan yang berprofesi sebagai nelayan di sepanjang pesisir Takalar dan menjual ikannya di TPI ini. sejumlah nelayan mengeluhkan mulai adanya penurunan tangkapan ikan sejak adanya penambangan pasir di perairan mereka. Foto Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

Exit mobile version