- Permintaan pasar Amerika Serikat tinggi terhadap tuna-tuna dari Indonesia. Meskipun begitu, tak mudah masuk pasar Amerika Serikat, mereka menuntut perikanan berkelanjutan dan keterlacakan ikan dari asal sampai ke pasar.
- Data 2016, misal, Indonesia mengekspor tuna ke Amerika Serikat 1,2 juta metric ton. Pada 2017, Amerika Serikat membeli tuna dari Indonesia US$1 miliar.
- Salah satu daerah pemasok tuna Indonesia adalah Maluku Utara. Tuna dari Malut, ekspor ke Amerika Serikat, Amerika Serikat, Vietnam, Korea Selatan dan Jepang. Pada 2018, ekspor tuna hasilkan devisa Rp45,5 miliar.
- Guna memenuhi syarat perikanan berkelanjutan maupun keterlacakan ikan, USAID-SEA melalui mitra kerja Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI), mendampingi nelayan tuna Malut terutama di Pulau Morotai.
Pasar ekspor tuna Indonesia ke Amerika Serikat, tinggi. Maluku Utara, salahsatu pemasok tuna ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam itu. Meskipun begitu, tak mudah masuk pasar Amerika Serikat, mereka menuntut perikanan berkelanjutan dan keterlacakan ikan dari asal sampai ke pasar.
Erin E. McKee, Direktur Misi USAIDIndonesia, saat mendampingi Dubes Amerika Joseph Donovan Jr di Morotai (2/4/19), mengatakan, Amerika Serikat, pasar terbesar tuna Indonesia.
Data 2016, misal, Indonesia mengekspor tuna ke Amerika Serikat 1,2 juta metric ton. Pada 2017, Amerika Serikat membeli tuna dari Indonesia US$1 miliar.
Baca juga: Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru : Kondisi Nelayan Kecil
Dengan keperluan besar tuna dari Indonesia, kata McKee, penting Amerika Serikat, bermitra dengan Indonesia.Dia pun menekankan, penangkapan ikan di Indonesia berkelanjutan, produktif danmampu memberikan manfaat bagi masa kini dan akan datang.
Salah satu titik produksi tuna di Indonesia, Maluku Utara. Data Dinas Perikanan Maluku Utara, tuna tak hanya kirim ke Amerika Serikat juga ke beberapa negara lain di Asia.
Sepanjang 2018, tuna Malut dikirim ke Vietnam, Korea Selatan dan Jepang, sampai 165,656 ton, melalui pelabuhan Ahmad Yani Kota Ternate, Daruba Morotai, Tobelo Halmahera Utara, serta Bandara Baabullah Ternate. Ekspor tuna Malut, hasilkan devisa Rp45,5 miliar.
Tuna itu kebanyakan dari Morotai yang dikirimkan PT Harta Samudra, salahsatu perusahaan pengolahan tuna yang menempati Kawasan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) di Morotai. Ekspor perdana tuna September 2018, misal, ada sembilan kontainer atau 108 ton dengan tujuan Vietnam. Di Vietnam, diolah jadi bahan jadi dan dikirim ke Amerika Serikat. Selain ke Vietnam, ekspor tuna Morotai juga kirim ke Surabaya.
Surabaya, tempat singgah untuk pemrosesan, lalu kirim ke Amerika Serikat. “Tuna asal Morotai kirim ke Surabaya maupun Vietnam. Dari sini tetap ke Amerika serikat,” kata Made Malih, Plan Manager PT Harta Samudra.
Joseph R Donovan Jr, Duta Besar Amerika untuk Indonesia, mengatakan, Amerika Serikat sangat berkepentingan terhadap kelestarian produksi tuna karena sebagian besar produksi ikan Indonesia ini masuk Amerika.
“Indonesia, produsen tuna terbesar dunia. Amerika, pengimpor tuna dari Indonesia. Karena itu, harus tetap dijaga produksi agar lestari,” katanya, usai mengunjungi tempat pengolahan tuna milik PT Harta Saumdra di Sentra Perikanan dan Kelautan Terpadu (SKPT) Daeo Majiko, Pulau Morotai, Maluku Utara.
Soal perlindungan keragaman hayati, katanya, semua pihak harus ambil peran. Usai melihat dari dekat proses pengolahan tuna PT Harta Samudra di SKPT Morotai itu, Donovan bilang, kunjungan ini sangat penting untuk melihat proses penanganan ikan yang akan masuk ke negaranya.
Saat ini, Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID-SEA, mendukung agenda Indonesia dengan membantu melestarikan dan mengelola ekosistem laut.
USAID-SEA , merupakan inisiatif maritim Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia. Lembaga ini membantu Indonesia dengan berkolaborasi bersama berbagai pihak, baik dengan sektor swasta, lembaga sipil dan pemerintah Indonesia.
Tujuan kerjasama, katanya, untuk mempromosikan cara penangkapan ikan lebih berkelanjutan, antara lain membangun sistem keterlacakan perikanan.
Dari hubungan kerjasama ini, Indonesia lebih bisa siap dan efektif mengatasi penangkapan ikan ilegal. Tidak itu saja, Indonesia mampu menghentikan praktik penangkapan ikan destruktif.
Sebenarnya, kata Donovan, melalui kemitraan-kemitraan penting itu, akan memperkuat ketahanan pangan, mata pencaharian masyarakat lokal dan produktivitas penangkapan ikan yang memberi manfaat bagi kedua negara.
Syarat ketat masuk Amerika Serikat
Dalam menerima tuna dari Indonesia, Amerika Serikat, sangat selektif terutama soal kualitas dan penangkapan berkelanjutan termasuk kerlacakan sumberikan. Guna mendukung syarat itu, saat ini USAID-SEA melalui mitra kerja Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI), mendampingi nelayan tuna Malut terutama di Pulau Morotai.
Mereka mengembangkan beberapa program untuk meningkatkan kualitas dan keterlacakan ikan yang ditangkap. Cara ini guna menjamin permintaan pangan laut berkelanjutan. “Tuna ekspor ke Amerika Serikat, membutuhkan banyak syarat. Baik kualitas maupun sustainability-nya. Bicarasoal food safety jadi hal mutlak, bahkan memerlukan keterlacakan ikan,” kata Stephani Mangunsong, Supply Chain Manager MDPI.
Soal melacak dari mana ikan berasal, katanya, bukan perkara mudah karena sebagian besar ikan memiliki pergerakan sangat tinggi. Sistem keterlacakan pada produk ikan itu berguna memastikan kualitas dan keamanan pangan bahari.
Keterlacakan, katanya, satu cara memastikan ikan tak berasal dari daerah ilegal. Asal ikan, katanya, jadi terlacak. Di Eropa dan Amerika Serikat, katanya, keterlacakan ikan harus jelas.
Dia bilang, keterlacakan ikan di Morotai, sudah berjalan. Sejak ada seafood monitoring programme pada2017, Amerika Serikat, makin kencang memastikan asal ikan termasuk siapa yang menangkap.
Ikan dari Harta Samudra, misal,dipastikan berasal darinelayan kecil di Morotai. “Semuainformasi ini sangat dibutuhkan ketika tuna dikirim ke Amerika Serikat,” katanya.
Ikan-ikan ini, memerlukan dokumen awal seperti captain statement atau aggregate certificate. Semua informasi itu awal prosesnya di Morotai, bukan dari pemprosesan kedua di Vietnam atau Surabaya.
“Mereka (Amerika Serikat-red) perlu semua informasi dari daerah asal. Saat final exsport ke Amerika Serikat, semua informasi harus didapatkan, misal, menangkap pakai kapal apa, siapa nelayan danapa nama kapal. Selanjutnya, di-crosscheck dokumen legal ada atau tidak.”
Rantai pasok ikan dari nelayan juga dipelajari. Terutama pasokandari nelayan kecil yang sangat panjang, seperti, ikan nelayan kecil dari Morotai ke Bitung, Jakarta atau Surabaya, selanjutya ke Amerika Serikat. Dengan rantai pasok yang panjang, katanya, maka dibuat sistem guna memastikan dari mana awal ikan.
Bukan hanya tahu asal awal, katanya, juga merunut ikan lebih detail ditangkap di Indonesia dan daerah wilayah pengelolaan perikanan (WPP) mana. “Treacebility ini jadi tools menelusuri asal ikan, aman atau tidak, serta legal atau tidak.”
Dalam mendukung keterlacakan, MDPImengembangkan electronic tally system, merupakan bagian dari traceability based technology. Fasilitas ini dibangun penuh MPDI guna menjamin keterlacakan ikan keluar.
Teknologi ini, katanya, berawal dariproyek riset dengan Wageningen University and Research, Belanda, Dalhoussie University, Canada dan Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama Harta Samudra di Ambon.
Alat ini, produk Indonesia untuk perikanan. “Di luar negeri fasilitas ini sudah biasa. Di Indonesia, hal baru dan belum banyak perusahaan pengolahan ikan tuna,” kata Stephani.
Semua informasi, jadi terlacak dengan sistem ini. Dia sebutkan, dengan sistem keterlacakan ini kalau ada ikan mengandung histamine akan mudahterlacak. Amerika Serikat, katanya,sangat konsern terhadap ikan yang mengandung histamine.
“Jika histamine tuna tinggi akan di ditolak. Tak hanya satu dua kilogram, jika satu di kontainer 20 feet mencapai 24 ton, semua dianggap reject. Ini bisa sangat merugikannelayan.”
Untuk itulah, katanya, dengan sistem keterlacakan ini ikan-ikan bermasalah bisa teridentifikasi sejak awal.
Guna mengedukasi nelayan, katanya, MPDI juga membina 98 nelayan tuna di Morotai. Mereka mendapatkan dokumen bukti pencatatan kapal perikanan (BPKP) hingga mudah ketika menjual ikan ke mana saja. Dokumen ini, katanya, melegalkan nelayan menangkap ikan dan menjual ke mana saja.
Untuk mendapatkan dokumen BPKP, katanya, program USAID-SEA juga bekerjasama dengan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten maupun kota agarkapal nelayan mereka bisa terdaftar.
Tiene Gunawan, Deputy Chief of Party USAID-SEA Project menjelaskan, kerjasama dengan berbagai level pemerintahkarena kapal nelayan dengan kapasitas 30 gross ton ke bawah izin di provinsi. Kapal 30 gross tonke atas kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dengan kerjasama ini,katanya, akan lebih memudahkan nelayan mengurus dokumen mereka.
Untuk mendukung perikanan berkelanjutan bersama nelayan kecil dan perusahaan perikanan, MDPI mendata ikan melalui enumerator. Mereka mengukur berat dan panjang tuna, menanyakan lokasi penangkapannya serta mendata penggunaan bahan bakar minyak dan es. Data ini, katanya, dikumpulkan dalam jangka waktu tertentu.
“Nelayan juga ditanya berat es, BBM yang digunakan dan lain-lain. Seluruh item ini selanjutnya dianalisis dan dihitung berapa biaya yang dikeluarkan dalam sekali menangkap ikan. Data itu selanjutnya dikembalikan ke nelayan. Tujuannya, nelayan juga tahu pengeluaran dan pendapatan mereka.”
Selain itu, katanya, nelayan juga diberi penyadaran tentang pentingnya melindungi spesies tertentu yang langka maupun dilindungi, seperti penyu, hiu dan lain-lain.
Dia bilang, salah satu modelnelayan Morotai, menangkap tuna dengan mengikuti lumba-lumba. Bukan nelayan menangkap lumba-lumba, tetapi biotalaut ini jadi penanda ada tuna. “Lumba lumba itu indikator ada tuna.”
Mengenai standar dan ukuran ikan tangkapan, hingga kini belum ada pengaturan di Morotai. “Rata-rata penangkapan tuna yang masuk SKPT Morotai melalui Harta Samudra, 17-90kilogram,” kata Made.
Ali Laode, nelayan tuna dari Sangowo, Morotai Timur, mengatakan, sebelum ada perusahaan tuna masuk Morotai, mereka hanya menangkap tuna ukuran kecil (baby tuna). “Karena hanya dijual untuk konsumsi di kampung.”
Sejak ada perusahaan Harta Samudra, yang membeli tuna di Morotai, dia tidak lagi menangkap anakan tuna. Kalau menangkap anak tuna, katanya, kalkulasi secara ekonomi dari bahan bakar dan es, sudah rugi.
“Sekali melaut menghabiskan biaya BBM sampai Rp2 juta, hasil kadang tidak sesuai biaya. BBM sekali jalan sehari 100 liter belum biaya es.”
Ali bilang, kalau lagi beruntung, nelayan tuna sekali melaut bisa hasilkan Rp2,5 juta-Rp5 juta. Untuk itu, nelayan Morotai lebih fokus menangkap tuna 30-50 kg.
“Kebutuhan bahan bakar tinggi karena jarak tangkap 20-30 mil laut dengan lama perjalanan sehari,” katanya, seraya bilang, melaut sejak pagi pulang sore hari.