Mongabay.co.id

Olele, Desa Wisata Laut di Gorontalo yang Mulai Hadapi Masalah

 

 

Pernahkah Anda mendengar nama Olele?

Di Gorontalo, ketika menyebut Olele, setiap orang akan mengatakan tentang keindahan bawah lautnya. Olele adalah nama sebuah desa. Letaknya di kawasan pesisir selatan Teluk Tomini. Secara administratif, Olele berada di Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.

Jarak Olele dari Kota Gorontalo sekitar 30 menit hingga satu jam, baik menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat. Wisatawan dalam maupun luar negeri banyak berkunjung ke Olele, untuk snorkeling ataupun diving.

Sejak 2006, melalui Surat Keputusan Bupati Kabupaten Bone Bolango, perairan laut Olele telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah seluas 24.910 hektar. Di perairan ini ada bunga karang besar bernama Salvador Dali Sponge.

Nama ini terinspirasi dari pelukis aliran surealis asal Spanyol, dengan nama yang sama, Salvador Dali. Bunga karang itu disebut-sebut mirip ulir lukisan Salvador Dali, yang menjadi daya tarik penyelam.

“Sayangnya, banyak patah. Termasuk yang ukuran besar, spot favorit penyelam,” ungkap Loyan Arsyad, warga Desa Olele yang biasa mendampingi wisatawan kepada Mongabay Indonesia baru-baru ini.

Baca: Lokasi Wisata Hiu Paus Ini Bertabur Sampah Plastik

 

Seorang pengunjung sedang melakukan snorkeling dan bermain bersama ikan-ikan di Olele. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Meski demikian, sejak bunga karang besar tersebut patah, menurutnya tidak berdampak negatif terhadap pengunjung yang ingin melakukan penyelaman. Beberapa pengunjung dari luar Gorontalo datang ke Olele untuk mengabadikan keindahan bawah laut dan mengambil foto berdampingan dengan Salvador Dali.

Patahnya bunga karang dibenarkan Wawan Iko, instruktur selam dan juga pemerhati dunia bawah laut Gorontalo. Menurutnya, Salvador Dali patah sejak tiga tahun belakangan. Dua yang terkenal dan menjadi “jualan” pariwisata Gorontalo adalah Salvador Dali Rose dan Salvador Dali Shark ukuran besar. Namun, keduanya patah.

“Ada beberapa faktor penyebab patah, perlu kajian. Saya menduga, dampak perubahan iklim menyebabkan coral bleaching atau pemutihan karang,” ungkap Wawan.

Berdasarkan laporan Pusat Penelitian Oseanografi [P2O] LIPI, kerusakan terumbu karang menjadi ancaman paling serius ekosistem laut keseluruhan. Pemutihan karang tidak bisa dicegah manusia dan dampaknya terus terjadi. Kondisi sekarang, pemutihan karang terjadi semakin cepat dan menyebabkan proses pemulihan terganggu.

Wawan menambahkan, Salvador Dali merupakan karang lunak yang rata-rata posisinya pada kedalaman 15 sampai 30 meter. Selain coral bleaching, terumbu karang rusak juga disebabkan proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan yang tidak jauh dari Olele.

“Buangan sedimentasi tertahan pada bunga karang Salvador Dali, menjadi beban, menyebabkan patah. Ditambah lagi kondisi perairan yang tidak sehat,” ungkapnya.

Salvador Dali ini memiliki nama latin Petrosia lignosa. Bunga karang lunak ini bisa ditemukan di daerah tropis. Wawan mengaku, spesies ini sering ia jumpai ketika menyelam di perairan Komodo, daerah Alor, hingga laut Ambon di Maluku.

“Yang memperkenalkan nama Salvador Dali ini adalah Gorontalo. Pembedanya dengan tempat lain ulirannya yang unik,” ujarnya.

 

Terumbu karang di Olele yang telah dijadikan kawasan konservasi laut daerah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Pilot project

Dalam Jurnal Analisis [Desember 2017, Vol 6. No. 2], Bonewati, Darmawan Salman, dan Roland A Barkey, menyebut Desa Olele sebagai pilot project pariwisata berbasis masyarakat di Gorontalo yang telah berjalan sejak 2012. Dalam implementasi, disebut RON [Resources, Organization, Norms] yang dihantarkan pemerintah sebagai pengelola program, RON dimiliki masyarakat Olele sebagai penerima manfaat program. “Keberhasilan pariwisata tidak tercapai tanpa partisipasi masyarakat, dan masyarakat harus memiliki kapasitas.”

Kapasitas masyarakat Olele pada level individu menunjukkan minimnya pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola pariwisata. Sementara, kapasitas pada level organisasi pokdarwis [kelompok sadar pariwisata] belum mampu menjadi penggerak.

Laporan tersebut menyebutkan masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi memiliki kesempatan lebih banyak pengembangan pariwisata. “Harus diakui, pariwisata di Olele dari tahun ke tahun beluam ada peningkatan,” ungkap Loyan Arsyad ketika dimintai tanggapannya.

 

Terumbu karang dan potensi ikan di Desa Olele yang mulai menghadapi masalah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Ekosistem terumbu karang

Mohamad Sayuti Djau, Dosen Universitas Muhamadiyah Gorontalo, menjadikan Olele sebagai lokasi penelitian ketika menyusun tesisnya di Institut Pertanian Bogor [IPB]. Sayuti menjelaskan, Kawasan Konservasi Laut Daerah [KKLD] Olele, oleh pemerintah setempat sedang diperluas dan diusulkan statusnya sebagai Taman Nasional Laut Olele.

“Terumbu karang merupakan ekosistem utama di KKLD Olele, terdapat biota-biota penyusun dominan, seperti karang batu, ikan karang, alga, karang lunak, dan fauna lain. Desa Olele memiliki potensi terumbu karang yang baik,” tulisnya.

Menurut Sayuti, dari data yang ia peroleh, di wilayah ini ada 16 genus karang batu dan puluhan spesies. Keseluruhan, genus yang mendominasi antara lain Montipora, lalu Acropora, Porites, Fungia, dan Pectinia yang menyebar merata. Sementara jenis ikan sebanyak 22 Famili, 55 genus, dan 104 speseis.

Sayuti lebih banyak menganalisis sistem keberlanjutan perikanan di KKLD Olele menggunakan pendekatan sintesis emergy, ecological footprint perikanan, dan Human Appropriation of Net Primary Production [HANPP].

Ketiga pendekatan ini melihat input-output energi dalam produksi perikanan, dampak terhadap lingkungan, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan metabolisme pemanfaatan ruang sosial ekologi perikanan, dan produktivitas primer bersih perikanan serta efisiensinya. Hasil sintesis emergy menunjukkan nilai indeks keberlanjutan emergy [ESI] yang berarti pertumbuhan ekonomi cukup lestari, dianggap baik.

 

Salah satu Salvador Dali, jenis terumbu karang yang menjadi primadona para penyelam di Olele. Foto: Debby Mano

 

Karakteristik

Di sisi lain, pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Desa Olele, masih skala kecil dan kebanyakan menggunakan alat tangkap tradisional. Umumnya, mereka nelayan pancing tuna yang menggunakan alat tangkap senar, kawat tembaga, dan mata pancing. Ukuran tali nilon nomor 70 sampai 100.

Melaut menggunakan perahu katinting panjang 5 meter, lebar 60 cm, dan tinggi 70 cm. Perahu dilengkapi mesin, dayung, dan layar sedangkan umpan adalah cumi-cumi. Beberapa nelayan menggunakan pancing dasar untuk menangkap ikan demersal yang hasilnya bukan untuk dijual tetapi dikonsumsi sendiri, seperti ikan kuwe, cumi-cumi, dan kerapu.

Nelayan jarang mempunyai daerah spesifik menangkap ikan, secara individu. Lokasi sering ditentukan visual, sementara pengetahuan tentang ikan diperoleh dari generasi ke generasi. “Selain karakteristik tersebut, variabilitas cuaca dan ketidakpastian alam di pinggiran pantai, sangat mempengaruhi hasil tangkapan,” ungkap Sayuti.

Di Desa Olele, perahu motor tempel lebih diminati nelayan kecil karena dapat menempuh fishing ground yang lebih jauh dan harganya lebih murah, dibandingkan kapal motor. “Saya juga selain mendampingi wisatawan, sehari-hari berprofesi sebagai nelayan pemancing tuna,” ungkap Loyan.

 

 


	
Exit mobile version