- Greenpeace Indonesia dan Universitas Udayana menandatangani komitmen untuk memetakan pengembangan energi bersih terbarukan di Bali
- Penggunaan energi fosil tidak hanya merusak lingkungan dan kesehatan, tetapi juga ekonomi nasional
- Bali memiliki potensi energi surya yang sangat tinggi karena letak geografis dan kondisi cuaca
- Perlu upaya inovatif dan progresif agar komitmen Gubernur Bali untuk beralih ke EBT tak hanya sekadar ambisi di atas kertas.
Di tengah mandeknya pencapaian target energi bersih terbarukan (EBT) secara nasional, dua pihak, Greenpeace Indonesia dan Universitas Udayana, menandatangani nota kesepahaman (MoU) untuk memetakan pengembangan EBT di Bali. Melalui kerja sama ini diharapkan akan ada gambaran utuh potensi dan peta pengembangan EBT di pulau ini.
Direktur Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dan Rektor Universitas Udayana (Unud) AA Raka Sudewi menandatangani nota kesepahaman itu di Jimbaran, Badung pada Jumat (12/04/2019). penandatanganan dilanjutkan dengan diskusi tentang potensi EBT di Bali.
Menurut Leonard kerja sama Greenpeace dan Unud ini merupakan terobosan dalam upaya transisi dari energi fosil ke EBT. “Belum banyak universitas yang memiliki komitmen seperti ini,” katanya.
Leonard melanjutkan, Greenpeace melihat masa depan energi Indonesia ada di EBT. Begitu pula dengan dunia internasional. “Dalam COP 21 di Paris pada 2015, masyarakat dunia sudah sepakat untuk secepatnya beralih ke EBT. Energi fosil sudah berada di senja hari,” lanjutnya.
baca : Menagih Komitmen Energi Bersih Terbarukan Gubernur Bali [Bagian 1]
Conference of the Parties (COP) merupakan pertemuan tahunan para pihak terkait perubahan iklim. Dalam pertemuan ke-21 di Paris pada 2015 lalu, parapihak menyepakati sejumlah komitmen untuk mengurangi laju perubahan iklim. Salah satunya dengan beralih dari energi kotor, semacam batu bara, ke EBT.
Di Bali, Greenpeace Indonesia sudah menggugat rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Celukan Bawang Tahap II. Gugatan terhadap izin pembangunan PLTU berkapasitas 2 x 330 mw itu kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar. Begitu pula saat banding di Pengadilan Tinggi (PT) TUN Surabaya.
“Kami berusaha menghentikan ekspansi PLTU Celukan Bawang karena PLTU Batubara di Jawa dan Bali sudah overcapacity. Akan ada kerugian negara jika (pembangunan) terus dilanjutkan,” katanya.
Pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II yang menggunakan bahan batu bara itu menjadi ironi ketika Indonesia termasuk salah satu negara yang menyepakati Kesepakatan Paris, hasil dari COP 21.
Di sisi lain, Indonesia sebenarnya sudah menetapkan target bauran penggunaan EBT sebesar 23 persen pada 2025. Namun, menurut Leonard, tanpa terobosan fundamental, target itu sulit untuk tercapai.
baca juga : Bali Memerlukan Percepatan Energi Bersih dan Terbarukan
Tak Hanya Lingkungan
Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mutasya menambahkan saat ini Indonesia justru seperti melawan arus dan ketinggalan dengan negara-negara lain, termasuk di AsiaTenggara, dalam penggunaan EBT. Saat ini, penggunaan bahan bakar fosil batubara masih di angka 58,3 persen.
Pemanfaatan potensi EBT di Indonesia masih sangat rendah dan jauh tertinggal dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam.
Tata mengatakan masih besarnya ketergantungan Indonesia pada energi fosil tak hanya menjadi masalah bagi lingkungan, tetapi juga mengakibatkan kerentanan ekonomi. Menurut Rancangan Umum Penyediaan TenagaListrik (RUPTL) 2018-2027, kebutuhan listrik Indonesia diperkirakan tumbuh sebesar 7,1 persen. Karena itu kebutuhannya mencapai 443 TWh pada 2027.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Indonesia akan memerlukan lebih banyak pembangkit listrik berbahan batu bara dan minyak bumi. Akibatnya, Indonesia akan membutuhkan lebih banyak batu bara dan minyak bumi.
Pada saat yang sama, sebuah riset menyatakan Indonesia akan kehabisan minyak bumi pada 2027 atau 2028. Pilihannya, Indonesia harus mengimpor minyak bumi sehingga memperbesar tekanan terhadap neraca perdagangan migas Indonesia yang sudah defisit sejak 2012.
PLN yang hampir 60 persen pembangkitnya menggunakan batu bara pun membutuhkan subsidi besar. Dari tahun ke tahun jumlahnya meningkat. Pada tahun lalu, subsidi listrik mencapai 26,3 persen.Tahun ini naik jadi 26,4 persen.
“Padahal, subsidi yang cukup besar untuk energi bisa dipakai untuk hal-hal lain, seperti pendidikan dan kesehatan,” kata Tata.
baca juga : Ini PLTS Kayubihi, Satu-satunya Proyek Energi Terbarukan yang Masih Beroperasi di Bali
Potensi Bali
Peralihan dari energi fosil ke EBT itu sangat mungkin jika melihat tingginya potensi energi surya di Bali.
Dari beberapa penelitian, menurut Leonard, Bali memiliki potensi energi surya yang sangat tinggi karena letak geografis dan kondisi cuacanya. Potensi energi surya yang dimiliki Bali itu mencapai 32.000 GWh hingga 53.300 GWh per tahun dengan menggunakan solar PV jenis thin-film silicon sebagai opsi termurah.
“Dengan kata lain, potensi energi surya tersebut telah jauh melebihi kebutuhan listrik di Provinsi Bali pada tahun 2028, yaitu 9,828 GWh per tahun,” katanya.
Sebagai daerah pariwisata dan etalase Indonesia di mata internasional, Bali bisa memiliki peran strategis untukproyek EBT. “Bali strategis sekali untuk mengembangkan EBT karena ada image internasional,” lanjutnya.
Tak hanya bagus untuk membangun citra Indonesia di mata internasional, menurut Leonard, proyek EBT juga memiliki potensi ekonomi. Sekitar 10.000 lapangan kerja akan tercipta pada 2027 jika EBT dikembangkan di Bali. “EBT tidak hanya romantisme, tetapi juga memiliki nilai ekonomi dan masa depan,” ujar Leonard.
Ketua Tim Center of Excellence Community Based Renewable Energy (CORE) Unud Ida Ayu Dwi Giriantari mengatakan Bali di bawah pemerintahan gubernur baru juga sudah memiliki komitmen untuk beralih ke energi bersih.
“Pemprov Bali termasuk paling agresif dalam komitmen menuju energi bersih,” katanya.
Hal itu terlihat dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang mengutamakan energi gas sebagai sumber listrik. Bukan lagi batu bara dan minyak bumi. Pemprov Bali juga sudah membuat nota kesepahaman dengan beberapa pihak, seperti PLN, PT Indonesia Power, dan PT Pertamina untuk mendukung kebijakan Pemprov dalam pengembangan EBT.
menarik dibaca : Begini Ironi Membumikan Energi Bersih di Bali
Makin Menjanjikan
Penelitian CORE menunjukkan, teknologi untuk pemanfaatan energi surya sudah sangat memadai dan secara keekonomian juga makin menjanjikan.
Biaya pembangkitan EBT sudah dapat menyaingi biaya pembangkitan batu bara saat ini, bahkan dengan mengabaikan subsidi untuk energi batu bara. Dengan melakukan perhitungan biaya amortisasi per kWh energi yang dihasilkan oleh energi surya atap selama lebih dari 20 tahun, maka harga listrikyang dihasilkan adalah Rp 800/kWh.
Harga ini 45 persen lebih murah dibandingkan tarif dasar listrik (TDL) yang diberlakukan PLN saat ini yang kemungkinan akanmengalami kenaikan dalam waktu dekat..
Berdasarkan hasil studi, industri energi surya juga akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Panel surya telah menciptakan jumlah pekerjaan terbanyak dibandingkan dengan sumber EBT lain, mencapai sekitar 3.1 juta pekerjaan di seluruh dunia. Dibandingkan energi konvensional, panel surya menciptakan sebanyak 10 pekerjaan/MW. Jauh lebih tinggi daripada tenaga batu bara yang hanya menciptakan 1 pekerjaan/MW.
Untuk itu, menurut Giriantari, Pemprov Bali harus menggunakan cara-cara inovatif dalam pengembangan EBT. Misalnya dengan menggunakan atap-atap bangunan, seperti hotel, kantor, dan perumahan. “Kalau itu tidak diwujudkan, maka target Gubernur Bali tidak akan tercapai,” katanya.
***
Keterangan foto utama : PLTU Celukan Bawang, Buleleng, Bali, sebenarnya tidak termasuk dalam RUPTL 2018-2027. Bali sendiri saat ini sudah kelebihan pasokan listrik. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia