- Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia ajukan permohonan uji materiil terkait Pergub Bali soal pembatasan timbulan sampah plastik yang dilaksanakan pada awal 2019
- Pergub ini masih dalam tahap awal, namun makin banyak toko, supermarket, minimarket, sampai warung yang tidak memberikan kresek pada pembelinya
- Apa kerugian dan keresahan anggota ADUPI terkait implementasi Pergub ini?
- Apakah Bali siap melaksanakan Pergub secara penuh karena melarang setiap orang, produsen, distributor, pemasok, pelaku usaha dan penyedia plastik sekali pakai
Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) mengajukan uji materiil dua pasal dalam Peraturan Gubernur Bali tentang larangan plastik sekali pakai. Apa alasannya?
Pada 14 Maret 2019 Mahkamah Agung (MA) mengirim surat pemberitahuan dan penyerahan surat permohonan hak uji materiil dari ADUPI pada Gubernur Bali. Dalam surat disebutkan, surat MA ini harus dijawab dalam 14 hari sejak diterima.
Kuasa hukum ADUPI salah satunya Henri Prihantono yang berkantor di Surabaya, Jawa Timur. Dalam surat permohonan keberatan atau pengujian materiil ke MA disebutkan materi gugatan adalah Pasal 7 dan 9 (ayat 1) Peraturan Gubernur Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai (PSP).
Pemohon keberatan pertama adalah ADUPI, asosiasi berbadan hukum dan didirikan pada 2015, berkedudukan di Tangerang diwakili Christine Halim sebagai Ketua ADUPI. Pemohon berikutnya Didie Tjahjadi pemilik CV Cahya Jaya dan Agus Hartono pemilik PT Hartono Sinar Cemerlang Plasindo.
Pergub pembatasan timbulan PSP yang disahkan akhir Desember 2019 dan diberlakukan awal tahun ini dinilai bertentangan dengan UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah pada pasal 19, 20, dan 22. Juga UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 38 dan 70, serta pasal 5 huruf c pasal 6 UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 10 (ayat 1) tentang UU No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
baca : Bali Larang Plastik Sekali Pakai Mulai 2019
Pemohon gugatan minta pencabutan Pasal 7 dan 9 ayat 1 Pergub PSP, serta tidak mempunyai kekuatan mengikat dan tidak berlaku umum. Pasal 7 bunyinya, setiap produsen dilarang memproduksi PSP, setiap distributor dilarang mendistribusikan PSP, setiap pemasok dilarang memasok PSP, dan setiap pelaku usaha dan penyedia PSP dilarang menyediakan PSP. Sementara Pasal 9 ayat 1 menyebutkan setiap orang dan pelaku usaha dilarang menggunakan PSP.
Simpulan surat gugatan ini di antaranya, pertama dari segi hukum perlindungan lingkungan hidup dalam pengelolaan sampah, Pasal 7 dan 9 ayat 1 dinilai pengaturan berlebihan karena peraturan yang lebih tinggi tidak memberlakukan larangan yang bersifat mutlak. Karena di regulasi lain seperti UU No.32/2009 menggunakan pendekatan pengelolaan, bukan larangan.
Kedua, Pergub ini juga dianggap berisi ketentuan hukum baru. Ketiga, dari segi HAM, Pasal 7 dan 9 ayat 1 Pergub dianggap melanggar hak untuk bekerja/berusaha.
“Bukan gugatan tapi uji materiil. ADUPI bukan kelimpungan, tapi tak sesuai UU tentang sampah,” ujarnya dihubungi Mongabay Indonesia. Menurutnya Pergub PSP adalah pelarangan. Sementara dalam UU tentang penanggulangan sampah, isinya pengendalian. Henri juga menyebut Pergub ini melanggar HAM untuk berusaha karena anggota ADUPI melakukan usaha pemilahan dan pengolahan biji plastik.
“ADUPI bukan lembaga yang melakukan pencemaran malah pahlawan karena terlibat 3R, recycle,” lanjut Henri. Ia heran kenapa kantong plastik yang rata-rata produk recycle tiba-tiba dilarang. Plastik itu diam, sementara pelaku pembuangnya pencemar. “Prioritas Gubernur harusnya bukan pelarangan karena tak menyelesaikan masalah. ADUPI tak merasa dirugikan tapi berdasar hukum tak tepat,” elaknya soal keresahan ADUPI.
baca juga : Operasi Kantong Plastik di Pasar. Memangnya Efektif?
Kerugian ADUPI apa saja jika Pergub ini diimplementasikan secara penuh? Henri menyebut ada anggotanya melakukan kegiatan bisnis di Bali, dan ini dianggap merugikan karena akan mengubah tatanan bisnis daur ulang di Bali.
Ia menyebut kekhawatiran masyarakat tak bisa melakukan usaha daur ulang dari mengumpulkan, memilah, dan lainnya. Henri juga mencurigai kemungkinan usaha monopoli daur ulang, impor plastik sebagai bahan baku, dan usaha plastik degradable yang menurutnya malah lebih berbahaya karena sulit didaur ulang.
Henri mengakui mulai ada penurunan produksi karena bahan sulit didapat, dan pemulung susah. Ia menyebut jumlah anggota ADUPI lebih dari 450 di Indonesia.
Terkait permohonan uji materiil ini, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali Made Teja menyebut sudah ditangani kuasa hukum kantor Gubernur, dan sudah dijawab. Ia hanya diminta melengkapi data yang dibutuhkan. “Salah satunya menggugat kebijakan, kalau pengurangan sampah plastik, usaha daur ulang keberatan. Kalau kita tak masalah. Harus ada keberanian daerah melakukan itu,” paparnya.
Sementara soal penerapan Pergub, saat ini masih dalam sosialisasi serta pembinaan. Secara detail ia mengaku belum ada strategi atau master plan dan sedang dibuatkan konsepnya.
baca juga : Bali Pulau Surga atau Surga Sampah?
Tiza Mafira Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) mengatakan uji materiil ADUPI tidak beralasan karena selama ini jarang mendaur ulang kresek, sedotan dan styrofoam. “Daripada menggugat pelarangan, lebih baik mereka fokus pada pendauran ulang plastik yang sudah banyak menumpuk di TPA dan mencemari sungai dan laut,” ujar perempuan yang mengampanyekan kantong kresek berbayar ini.
Ia menjelaskan, botol plastik, tingkat daur ulangnya lebih dari 50%. Sedangkan kresek, sedotan, dan styrofoam, tidak diketahui berapa tingkat daur ulangnya karena kecil sekali. “Secara global kurang dari 1% kresek yang didaur ulang. Nilai ekonomisnya memang tidak menarik bagi pemulung sehingga cenderung tak diambil,” paparnya.
Regulasi di Bali
Jika Peraturan Walikota Denpasar No.36/2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik dan Peraturan Gubernur Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai (PSP) awal 2019 ini diimplementasikan dengan serius, Bali akan menuju pengurangan sampah plastik sekali pakai secara drastis.
Plastik Sekali Pakai (PSP), adalah segala bentuk alat/bahan yang terbuat dari atau mengandung bahan dasar plastik, lateks sintetis atau polyethylene, thermoplastic synthetic polymeric dan diperuntukkan untuk penggunaan sekali pakai.
Namun hanya tiga jenis PSP yang dilarang dalam Pergub ini yakni kantong plastik, polysterina (styrofoam), dan sedotan plastik. Aturan ini mewajibkan setiap orang dan lembaga baik pemasok, distributor, produsen, penjual menyediakan pengganti atau substitusi PSP. Juga melarang peredaran, distribusi, dan penyediaan PSP baik oleh masyarakat, pelaku usaha, desa adat, dan lainnya.
menarik dibaca : Menantang Diri Belanja Tanpa Plastik di Pasar
Untuk mengawasi Pergub ini, pada Pasal 18 disebutkan Gubernur membentuk Tim Monitoring dan Evaluasi pelaksanaan Pembatasan Timbulan Sampah PSP. Setiap orang, produsen, distributor, pemasok, pelaku usaha dan penyedia PSP yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 9 ayat (1) dikenakan sanksi administratif.
Sementara Perwali mengatur penggunaan kantong alternatif ramah lingkungan, dalam pasal 5 yang berbunyi ayat (1) Pelaku usaha wajib menggunakan kantong alternatif ramah lingkungan dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap kantong plastik. Kemudian ayat (2) Penggunaan kantong alternatif ramah lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada pusat perbelanjaan dan toko modern.
Strategi dalam Pergub yakni melakukan identifikasi dan pendataan PSP, membuat baseline data penggunaan produk PSP, penyusunan rencana kegiatan dan target tahunan. Selain itu mengurangi timbunan PSP, edukasi, kampanye, pelarangan penggunaan PSP, serta mendorong penggunaan alternatif pengganti yang berbahan ramah lingkungan. Disebutkan juga memfasilitasi teknologi tepat guna dengan menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan, pengawasan timbulan sampah PSP, pembinaan ke pelaku usaha, dan lainnya.
Aturan ini menjangkau semua pihak. Perangkat Daerah, unit pelaksana teknis daerah, instansi pemerintah lainnya, badan usaha milik daerah, badan layanan umum daerah, lembaga swasta, lembaga keagamaan, lembaga sosial, Desa Adat/Desa Pakraman, masyarakat, dan perorangan dilarang menggunakan PSP dalam setiap kegiatan sehari-hari atau kegiatan sosial.