Mongabay.co.id

Cerita Penjaga Hutan Desa Lukun Pertaruhkan Nyawa Berjuang Padamkan Api di Riau

 

Kebakaran di hamparan lahan gambut Desa Lukun, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau terulang kembali. Lokasinya sama, yaitu di kawasan hutan yang pada 2014, dan 2018 lalu terbakar hebat. Kebakaran saat ini terjadi dua bulan, bermula sejak Februari lalu.

Pada tanggal 10 Februari, Amran, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Lukun mendapat kabar adanya hutan yang terbakar. Ia lalu bersama Kepala Desa Lukun Lukman dan anggota Masyarakat Peduli Api (MPA) serta masyarakat lainnya bergegas ke titik api.

Mereka berjalan kaki 5 kilometer dengan menenteng alat pemadaman seadanya. Seharusnya dibutuhkan waktu sekitar dua jam untuk sampai di titik api. Namun berkendala air sungai yang surut. Baru pada dini harinya mereka baru dapat tiba di lokasi kebakaran.

“Kami bawa apa saja yang bisa dibawa untuk memadamkan api. Kami berjalan gelap-gelap,” kata Amran kepada Mongabay saat dijumpai bulan Maret lalu.

Meski sudah dibantu oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kepulauan Meranti dan aparat desa, api tetap tidak bisa dipadamkan total. Hal itu karena kondisi gambut yang sangat kering.

 

Batang kayu yang menghitam karena kebakaran hebat. Foto: Zamzami/Mongabay Indonesia

 

Ada beberapa kanal yang mulai mengering. Air di kanal itu tidak cukup untuk memadamkan api yang meluas. Jarak sumber air dengan api juga jauh. Kondisi ini membuat pemadaman semakin menguras energi.

Untuk memperoleh air, petugas MPA sampai harus menggali gambut sedalam 1,5 meter di gambut kering. Sumur digali seadanya, bahkan dengan tangan kosong. Sumber air dimana-mana mengering.

“Setiap seratus meter, kami gali sumur. Dah puluhan sumur. Gambutnya kering,” jelas Ruslan (48), salah satu anggota MPA.

Mongabay mengikuti bagaimana Ruslan dan sebelas anggota MPA LPHD coba memadamkan gambut yang saat itu masih membara. Dari kampung, kami mengendarai sepeda motor. Dilanjutkan berjalan menyusuri kebun karet warga, kemudian hutan-hutan yang sudah tidak lagi rapat.

Ada bekas-bekas kayu yang ditebang menggunakan chainsaw. Sekitar dua kilometer, kami sampai di pos yang mereka bangun. Lokasi posko ini di batas lahan terbakar dan hutan yang masih bagus.

Ruslan bercerita, setelah berhari-hari coba memadamkan api yang merambat ke kebun warga, mereka mendapat kabar api mulai menjalar ke posko. Celakanya, angin pun cukup kencang bertiup sore itu.

“Ada dua pilihan ke posko. Memutar atau menembus api. Kalau mutar, agak lama. Akhirnya kami tembus api. Sampai ada yang mau pingsan karena menghirup asap dan juga karena kelelahan.”

 

Anggota MPA LPHD Lukun saat beristirahat di Posko mereka. Foto: Zamzami/Mongabay Indonesia

 

Usaha keras itu terbayar. Lahan hutan pun selamat. Namun hingga akhir Maret lalu, kebakaran masih jauh dari kata padam.

Selama satu bulan pertama memadamkan api, hanya dua malam para anggota MPA LPHD Lukun pulang ke rumah. Di pos seluas 2×2,5 meter, mereka tidur berdempetan. Sementara itu pasokan logistik seperti beras dan lauk masih berutang di kedai milik salah satu anggota MPA.

Dah satu bulan ini dua kali lah [pulang ke rumah], sisanya tidur di hutan. Makanan masih nge-bon di kedai. Satu rupiah pun belum ada dibayar sampai sekarang. Untung aja ada jaminan [dari Kepala Desa],” kata Ruslan tertawa kecil.

Selama pemadaman, tidak ada bantuan water bombing. Pekan pertama kebakaran, ada anggota BPBD yang turut membantu, juga anggota kepolisian. Pekan selanjutnya, anggota MPA LPHD Lukun yang bekerja memadamkannya semuanya.

Pergerakan api mulai berkurang pada awal April, atau hampir genap dua bulan sejak terbakar. Namun demikian, masih ada kepulan asap di beberapa tempat.

“Kini api mulai terkendali. Ada sikit-sikit. Tapi bisa dibilang sudah padamlah,” kata Amran, awal April.

 

Darimana Api Berasal?

Menurut Amran, lokasi yang terbakar tahun ini adalah lokasi yang juga terbakar pada 2014 dan 2018. Awal tahun 2014, hutan-hutan gambut di beberapa desa di Kecamatan Tebing Tinggi Timur memang terbakar hebat.

Dia menyebut api berasal dari area konsesi PT National Sago Prima, perkebunan sagu milik anak perusahaan Sampoerna Agro Tbk. Kebakaran ini katanya berlangsung lama yakni 3 bulan.

Berdasarkan kilas waktu, di tahun 2015 Pemerintah pernah menggugat PT NSP. Setelah sempat kalah di pengadilan tinggi, di awal tahun 2019 Mahkamah Agung mengabulkan gugatan kasasi Kementerian LHK. Perusahaan lalu wajib membayar kerugian negara mencapai Rp1 triliun lebih.

Di awal 2018, kebakaran kembali terjadi di lokasi sama dan menjalar ke lahan gambut dan kebun-kebun warga.  Akhir Februari 2018, Wakil Direktur Kriminal Khusus Polda Riau AKBP Edi Faryadi kepada wartawan di Pekanbaru, menyebut sedikitnya 135 hektar lahan gambut di lahan konsesi PT NSP terbakar.

Soal data luasan lahan yang terbakar ini pun berbeda-beda.

Data Universitas Riau yang bekerjasama dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) bilang luas yang terbakar mencapai seribu hektar lebih di tahun 2018. Versi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau menyebut luas kebakaran sekitar 200 hektar.

“Sekarang sudah lebih dari 400 hektar,” kata Amran dihubungi dari Pekanbaru awal April 2019.

 

Tim pemadan dari MPA LPHD Lukun telah sebulan memadamkan api yang meluas di hutan gambut (09/03). Hingga awal April, setidaknya sudah 400 hektar yang terbakar selama dua bulan. Kawasan ini nyaris terbakar setiap tahun karena pengeringan oleh penggalian kanal perusahaan di dekat hutan. Foto: Zamzami/Mongabay.

 

Namun berbeda dengan Amran, data BPBD Riau menyebut kebakaran di Kabupaten Kepulauan Meranti 222,4 hektar pada 2019.

Di Riau, Kabupaten Bengkalis merupakan areal yang paling luas terbakar yang mencapai 1.275,83 hektar, di susul Kabupaten Rokan Hilir 431 hektar, Siak 323,75 hektar, lalu Kepulauan Meranti.

Kabupaten lain yang juga luas terbakar yaitu Dumai 220,25 hektar dan Indragiri Hilir 112,1 hektar. Sementara kabupaten/kota lainnya di bawah 100 hektar.  Total areal terbakar di Riau 2.806,19 hektar.  Aparat penegak hukum masih mencari siapa yang melakukan pembakaran lahan.

Meski kebakaran di hamparan hutan gambut Desa Lukun berulang hampir tiap tahun, program pembasahan lahan gambut masih belum efektif.

“Tidak ada program BRG di daerah ini. Adanya di daerah kampung [pemukiman],” kata Ruslan.

Pantauan Mongabay, fokus proyek memang banyak dilakukan di dua kanal di kiri-kanan jalan dekat pemukiman atau sekitar 3 kilometer dari lokasi yang terbakar. Ada sekitar 14 unit sekat kanal di kiri-kanan jalan poros. Jarak antar sekat 100-300 meter.

Menurut Kepala Desa Lukun, Lukman, meski proyek ini menumpuk di satu titik dan jauh dari lokasi yang rentan terbakar, pembangunan sekat kanal di dekat pemukiman tetap dianggap penting.

Lokasi di sekitar pemukiman itu pernah nyaris terbakar pada kebakaran 2014 silam. Selain itu, ada kendala pembiayaan pembuatan sekat kanal.

“Mungkin biayanya gak akan cukup kalau dibuat di sana [hutan terbakar]. Belum lagi biaya angkut material dan sebagainya. Di sini bukannya ndak penting, karena di sini pernah terbakar,” kata Lukman pertengahan Maret.

Myrna A Safitri, Deputi Bidang Edukasi Sosialisasi Partisipasi dan Kemitraan BRG menyebut bahwa Desa Lukun masuk dalam program desa binaan. Di desa ini ada program intervensi pencegahan kebakaran yang dikenal dengan istilah 3R (rewetting, revegetation, and revitalitation).

Sejak 2018, ada dua kelompok masyarakat (Pomas) yang ditunjuk untuk pengadaan 10 unit sekat kanal dan program revitalisasi ekonomi. Juga ada program penelitian.

Sementara terkait dengan proyek yang menumpuk bukan di areal terbakar, Myrna bilang penetapan lokasi adalah hasil diskusi bersama masyarakat. Bukan permintaan BRG.

“Prioritas pembangunan di dekat permukiman warga itu usulan warga. Dalam implementasi program kita mengikuti proses musyawarah dengan warga. Kita bangun di sana karena itu permintaan warga,” katanya.

Khusus untuk program di lahan yang terbakar, pihaknya belum bisa memastikan apakah masuk dalam program pembasahan tahun ini atau tidak.

“Proses pembangunan BRG dilakukan bertahap. [Program 2019] masih dilihat lagi. Karena di tempat lain juga perlu diselamatkan,” tambahnya.

 

Kayu olahan dari hasil pembalakan liar ditemukan di kanal yang mengering di lahan yang
terbakar (09/03). Meski belasan tim pemadam kebakaran dari Lembaga
Pengelola Hutan Desa (LPHD) Lukun berjibaku menyelamat hutan dari kebakaran, namun
pembalakan liar justru masih merajalela. Foto: Zamzami/Mongabay

 

Temuan Kayu di Kanal

Saat Mongabay di lokasi areal terbakar, terlihat ada tumpukan kayu di dalam kanal yang mengering. Tampak kayu baru diketam menjadi papan. Papan diikat persepuluh hingga 15 buah. Ada tiga ikatan. Papan itu tersangkut di kanal karena airnya sudah mengering.

“Ini baru. Semalam ndak ada ini. Mereka sering rusak sekat kanal yang kami bikin biar jalan kayu ini ke laut,” kata Amran.

Kayu-kayu ini diyakininya berasal dari Hutan Desa Lukun. Jaraknya sekitar 1-2 kilometer ke hulu. Kanal itu dibuat semasa pembalakan liar beberapa tahun lalu. Kanal berhulu ke tengah hutan desa dan berhilir ke laut lepas.

Sekitar 20 meter dari temuan kayu, terdapat sepeda yang sudah dimodifikasi untuk kebutuhan pengangkutan kayu. Sepeda itu kini berada di lokasi yang sengaja ditenggelamkan dalam kanal.

“Ini mereka tinggalkan. Mungkin nanti mereka akan ambil lagi,” kata Amran.

Kayu-kayu itu lalu dibawa ke Kantor Polres Kepulauan Meranti beberapa hari setelah ditemukan. Namun hingga sekarang belum jelas siapa yang punya.

Soal aktivitas pembalakan liar ini, Amran merasa sangat marah. Apalagi itu terjadi di saat belasan anggota MPA berjuang sekuat tenaga memadamkan api dan menyelamatkan hutan dari rembetan api.

“Kita di sini mati-matian, di hutan sana malah dihabisi terus,” ujarnya. Padahal Hutan Desa Lukun izin perhutanan sosialnya telah diberikan pemerintah sejak pertengahan 2017 lalu katanya mengakhiri.

 

 

Exit mobile version