Mongabay.co.id

Hutan Kemitraan, Merestorasi bekas Kebun Sawit Ilegal di Ekosistem Leuser

 

Sekitar duapuluhan lelaki dewasa berkumpul di bawah naungan bangunan kayu sederhana beratap seng. Pondok itu didirikan sebagai posko sejak tahun 2015 silam, saat restorasi ekosistem bermula dengan cara memusnahkan kebun sawit illegal yang berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Untuk mencapai pondok kerja, jaraknya sekitar dua kilometer dari pemukiman penduduk terdekat, setelah melewati kebun sawit yang sangat luas. Lokasi pondok berada di Desa Tenggulun, Kecamatan Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.

Setelah kebun sawit ilegal selesai ditebangi, pondok berubah fungsi menjadi tempat pembibitan. Juga tempat berkumpulnya 174 kepala keluarga yang tergabung dalam empat kelompok tani. Kelompok inilah yang terlibat dalam program hutan kemitraan yang mengelola sebagian bekas kebun ilegal.

Hutan kemitraan adalah bentuk pengelolaan hutan kritis, kerjasama masyarakat dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Aceh yang didampingi oleh Forum Konservasi Leuser (FKL). Program umumnya dilakukan di wilayah KEL.

 

Plang nama kawasan hutan negara. Tampak bekas tebangan tanaman sawit di depannya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Siang itu, pembicaraan mereka berkisar tentang penggunaan pupuk organik. Ada juga yang berbicara tentang pohon yang mereka tanam, panen yang hampir tiba, hingga tanaman yang digasak oleh babi hutan.  Semua cerita mengalir dipenuhi galak tawa saat anggota kelompok menanggapi cerita teman-teman mereka.

Ngatimin (56) adalah seorang yang dituakan di dalam kelompok. Dia juga salah satu orang yang pertama tertarik untuk terlibat dalam model hutan kemitraan.

Ngatimin tak menutupi dirinya mantan penebang kayu illegal. Namun sekarang dia telah berubah. Setelah sawit ditebang, dia mendapat lahan kelola seluas tiga hektar. Di atasnya, dia tanami banyak tumbuhan hutan seperti damar, kruing, durian, nangka, petai dan beberapa jenis tanaman lainnya.

Disela-sela tanaman hutan, dia menanam lemon yang telah berkali-kali ia panen. Selain itu ditanaminya pula tanaman holtikultura yang bisa dipanen saban bulan untuk kebutuhan ekonomi keluarganya.

“Hasilnya lumayan, bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Bisa dapat sekitar Rp3-4 juta tiap bulannya,” sebut ayah lima anak itu.

Legiman, anggota kelompok tani lainnya mengungkap hal sama. Di lahan yang ia kelola, sebagian dia tanami dengan tanaman buah, seperti jengkol, durian, pinang, petai, gelugur, manggis, kemiri. Dipadukan dengan damar, meranti, jernang, kruing, dan beberapa jenis pohon penghasil kayu berkualitas lainnya.

“Saya mengelola dua hektar lahan restorasi sejak tahun 2016. Durian jumlahnya ada 80 batang. Selain itu ada jeruk lemon dan sayur-sayuran,” ujar ayah dari tiga anak ini.

Tanaman jangka pendek digunakan oleh petani untuk menyiasati hingga tanaman buah siap dipanen. Tentu saja, dibutuhkan kesabaran dalam mengelola lahan restorasi.

“Anggota kelompok harus kreatif memanfaatkan lahan, seperti pupuk organik yang dibuat sendiri. Jadi untuk memupuk tanaman, tidak perlu lagi biaya.”

Anggota kelompok sekarang juga mulai mempraktekkan pengetahuan yang mereka peroleh di lahan restorasi di kebun milik pribadi. Bahkan ada yang mulai serius belajar pembibitan tanaman, pembuatan pupuk organik. Hasilnya dijual ke anggota kelompok lain.

“Kalau pupuk organik terbukti bagus untuk digunakan di kebun dan sawah,” sambung Legiman.

 

Rapat Kelompok Tani Restorasi di pos yang sekaligus digunakan sebagai lokasi pembibitan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Lain lagi dengan Muhammad Suryadi. Pemuda kelahiran 1984 ini menyebut, meski hanya mengelola setengah hektar lahan bekas kebun illegal, namun itu telah cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Suryadi bersama 25 anggota kelompoknya terlibat dalam kegiatan Rehabilitas Hutan dan Lahan (RHL) yang dilaksanakan oleh DLHK Aceh. Mereka diberikan lahan dan bibit secara mandiri, tanpa pendamping.

“Agar lebih banyak mendapatkan pengetahuan pengelolaan lahan yang lestari, dan hasilnya bisa lebih maksimal, kami meminta FKL mendampingi,” ujarnya. Sebelum mengelola lahan restorasi, ia mengaku hanya bekerja di kebun milik orang lain.

Dalam enam bulan pendampingan, hasilnya lumayan. Sayuran miliknya sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kehidupan Suryadi sehari-hari. Tuturnya, ada puluhan orang anggota kelompok Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) lainnya yang berhasil seperti dirinya.

“Setiap hari saya dan teman-teman menghabiskan waktu disini mengurus kebun. Kebetulan semua anggota kelompok kami, anak muda semua. Kami kadang bermalam [di kebun]. Ini bagian dari mimpi saya dari dulu, punya kebun sendiri,” ungkapnya.

 

Lebih Nyaman Punya Kebun Sendiri

Saat berkumpul di pondok restorasi dan pembibitan, Mongabay Indonesia sempat bertanya mana yang lebih menarik mengelola lahan restorasi atau bekerja di kebun kelapa sawit.

Dengan kompak, dua puluhan anggota kelompok tani ini menjawab lebih nyaman dan menarik mengelola lahan sendiri di sisa kebun sawit illegal.

Mereka beralasan, bekerja sebagai pemanen buah kelapa sawit, sehari paling banyak bisa mendapatkan upah Rp50.000-70.000. Kadang itu pun tak pasti. Jika tidak ada buah sawit yang bisa dipanen, maka tidak ada pemasukan, karena mereka hanya pekerja lepas.

“Bekerja di HGU juga sama saja. Tidak mungkin mereka bisa terima semua orang bekerja [di perusahaan]. Upah yang didapat tenaga lepas juga sedikit, dan selamanya hanya jadi buruh,” ujar Sakirin, anggota kelompok tani lain memberi alasan.

Sebaliknya, di lahan ini semua bekerja untuk diri sendiri, dan tidak diperintah oleh orang lain. Jika rajin bekerja maka akan mendapat banyak, sementara jika malas maka tidak akan mendapat apa-apa. Demikian Sakirin menuturkan.

“Di sini kita diberikan kebebasan mengelola lahan, selama tidak keluar dari aturan seperti tidak boleh menanam sawit, karet dan kakao. Kalau tanaman lain, dibolehkan dan hasilnya kami nikmati sendiri.”

 

Seorang pekerja usai menebang sawit yang ditanam secara illegal di hutan lindung yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser di Kecamatan Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sakirin bilang melibatkan masyarakat untuk pengelolaan lahan kritis bekas kebun sawit ilegal adalah cara yang tepat. Hutan terjaga, masyarakat juga mendapat lahan produktif yang dapat mereka kelola.

“Meskipun lahan ini hanya pinjam pakai dan tidak boleh diperjualbelikan,” imbuhnya.

Dia pun berharap petani tidak hanya diberikan waktu pengelolaan selama 10 tahun, namun diperlakukan sama dengan HGU yang mendapatkan waktu pengelolaan hingga 25 tahun dan boleh diperpanjang.

Saat ditanya kendala yang dihadapi saat ini, masyarakat yang tergabung dalam empat kelompok tani itu mengaku, masalah paling utama saat ini adalah babi dan serangan monyet ekor panjang, juga pasar untuk menjual hasil lemon petani.

Legiman menceritakan, sebagian besar bibit pohon yang mereka tanam, rusak dimakan babi, sementara beberapa buah yang hampir panen dimakan oleh monyet. Banyak anggota kelompoknya yang kebingungan menghadapi masalah hama ini.

“Selama ini kami saat menanam bibit pohon, maka kami bibit itu kami pagari, tapi tidak mungkin juga bibit yang jumlahnya ratusan itu kami pagari.”

Meski beberapa kali gajah liar datang ke lokasi mereka, Legiman mengaku kawanan gajah itu tidak mengganggu tanaman petani.

“Kami diberikan pemahaman agar tidak menanam tanaman yang disukai gajah di daerah yang suka dilintasi gajah ini,” sebut Legiman.

 

Wajib Jaga Kelestarian Lahan Restorasi

Bahtiar, Supervisor Restorasi dari FKL mengatakan, selama ini anggota kelompok tani yang terlibat dalam hutan kemitraan di Tenggulun, bukan hanya diberikan tanggungjawab mengelola lahan bekas kebun sawit. Mereka juga diberi kewajiban untuk menjaga hutan yang telah direstorasi dan hutan alam agar tidak dirambah.

“Anggota kelompok diberikan pengetahuan bagaimana mengelola lahan dengan ramah lingkungan, jika ada yang tidak mengelola lahan, maka lahan akan diberikan kepada orang lain,” sebutnya.

Bahtiar, -yang kerap disapa prof karena keahlian pembibitan dan restorasi lahan ini, menyebut pendampingan masyarakat bukan perkara mudah.

 

Pembibitan pohon untuk ditanami di lahan hutan kemitraan di Kecamatan Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Selama ini masyarakat terpola setelah menanam, lalu ditinggalkan. Budaya seperti ini harus diubah. Masyarakat harus dibiasakan untuk tidak merusak hutan. Terlebih sebagian anggota kelompok adalah bekas pelaku illegal logging.

“Karakter masyarakat harus dipahami dengan betul, dan butuh pendekatan yang serius, jangan hanya asal program jalan.”

Menurut Bahtiar, saat ini masyarakat sudah mulai memahami bagaimana mengelola lahan terbatas, tapi hasilnya maksimal. Penggunaan bibit yang baik dan pupuk yang sesuai dengan kebutuhan adalah kuncinya.

“Yang pasti, masyarakat petani bukan butuh orang yang suka memberi perintah, tapi mereka butuh ditemani dan diajak berdiskusi,” tutupnya.

 

Exit mobile version