Mongabay.co.id

Cerita Aktor Chicco Jerikho soal Penyelamatan Gajah Sumatera

Pentingnya penyelamatan gajah Sumatera dari kepunanan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), salah satu satwa liar dilindungi UU Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE). Kini, gajah dalam status kritis dalam daftar merah spesies terancam punah lembaga konservasi dunia, International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Berdasarkan pertemuan forum gajah dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2013, populasi gajah Sumatera sekitar 1.700-an. Angka ini diyakini berbagai pihak terus alami penurunan karena perburuan tinggi, konflik gajah dengan manusia dan perusakan jadi perkebunan sawit dan perkebunan lain.

Berbagai pihak baik pemerintah dan mitra konservasi terus berupaya menyelamatkan satwa berbadan besar ini agar tak punah. Penegakan hukum terus dilakukan menekan perburuan dan perdagangan satwa atau bagian tubuhnya.

Aktor Indonesia, Chicco Jerikho, juga WWF Warrior, turut serta dalam kampanye penyelamatan gajah Sumatera. Pria yang memerankan film Filosifi Kopi ini turun langsung ke kantong-kantong populasi gajah di sejumlah wilayah di Indonesia. Dia ikut mengkampanyekan penyelamatan satwa terutama gajah Sumatera.

Film pendek yang dia buat berjudul “Berbagi Ruang” dibuat di Aceh, menceritakan pentingnya penyelamatan gajah Sumatera dari ancaman kepunahan.

Belum lama ini, dia ke Kota Medan, Sumatera Utara, dalam kampanye mencegah perdagangan ilegal satwa liar. Dia bertemu dengan sejumlah mahasiswa dan kelompok pencinta lingkungan di provinsi terbesar ketiga di Indonesia ini. Sang aktor mengajak generasi milenial bersama melindungi satwa liar dilindungi yang terancam punah ini.

Chicco mengatakan, sejak 2017-2018, konflik antara gajah dengan manusia terus terjadi bahkan berujung kematian. Makin hari, katanya, terus terjadi kematian gajah.

“Supaya konflik ini tak terus terjadi, saya bersama tim penjaga gajah pencegahan konflik gajah dengan manusia, salah satunya menanam pakan gajah di wilayah aman bagi satwa ini. Itu satu upaya penting,” katanya.

Selama ini, konflik terjadi karena gajah masuk kebun, yang sudah menjadi wilayah jelajah gajah sejak dulu. Bukan itu saja, perburuan dan pembunuhan gajah Sumatera harus mendapatkan perhatian serius.

Contoh kasus di Aceh Besar, gajah bernama Bunta, jadi korban kekejaman jaringan pemburu dan perdagangan stawa liar dilindungi. Walau pelaku sudah tertangkap, dia berharap ada hukuman maksimal.

“Kami mengkampanyekan aparat penegak hukum agar memberikan hukuman maksimal kepada para pelaku agar tak lagi berburu dan membunuh gajah.”

Dia menilai, perburuan terus berlangsung tak hanya kejahatan pemburu, tetapi peminat tinggi. Kondisi ini, mendorong pemburu menangkap, membunuh, menjerat berujung kematian gajah.

 

Gajah Sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Untuk itu, perlu kampanye kepada masyarakat, katanya, agar tak membeli bagian tubuh gajah. Diapun, kata Chicco, bersama tim akan terus mengkampanyekan itu.

“Makin banyak yang terlibat dalam kampanye penyelamatan gajah Sumatera, bisa membantu menekan keterancaman populasi di alam.”

Data dari Blouch dan Haryanto 1984, pada 1985, survei menunjukkan, populasi gajah Sumatera antara 2.800-4.800. Mereka hidup di alam liar pada 44 rentang di delapan provinsi daratan Sumatera. Kala itu, Riau, diyakini memiliki populasi gajah terbesar di Sumatera.

Data IUCN, pada 2002, Sumatera masih dianggap sebagai populasi gajah asia terbesar di luar India dan SriLanka.

Survei berbasis kepadatan kotoran yang ketat di dua taman nasional di Lampung, Bukit Barisan Selatan dan Way Kambas.

Pada 2008, data IUCN, populasi gajah Sumatera telah punah secara lokal pada 23 dari 43 rentang yang teridentifikasi di Sumatera. Pada 1985, menunjukkan penurunan populasi gajah Sumatera sangat signifikan. Pada 2008, gajah Sumatera sudah punah secara lokal pada salah satu dari delapan provinsi di Sumatera, yaitu Sumatera Barat, dan berisiko hilang dari Sumatera Utara, juga.

Catatan IUCN menunjukkan, 350 gajah Sumatera, selamat di sembilan rentang terpisah di Riau, yang pada 1985 dianggap memiliki populasi gajah terbesar di Sumatera dengan lebih 1.600.

Ekstrapolasi sederhana dari sejarah populasi masa lalu menunjukkan, gajah terakhir Riau yang masih hidup dapat segera menghilang jika tren kehilangan hutan berlanjut.

 

Aktor Chicco Jerikho kampanye penyelamatan gajah Sumatera di Medan(. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Identifikasi DNA gajah Sumatera

Sementara itu, Laboratorium Forensik Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, sudah mampu mengidentifikasi DNA gajah Sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dan Taman Nasional Way Kambas.

Survey dengan mengambil kotoran gajah di kedua wilayah itu, dan pengulangan uji laboratorium, serta pengambilan sampel tiga kali.

Hasilnya, sekrasio di Way Kambas, TNTN dan Bukit 30 lebih banyak betina daripada jantan. Dokter hewan L. Helena Suryadi, Wakil Kepala Laboratorium Forensik Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, kepada Mongabay, belum lama ini mengatakan, selain pemetaan gajah, mereka juga tes DNA untuk mengetahui asal usul gajah. Ketika ditemukan gading, katanya, akan dapat diketahui asal gajah.

Gajah, katanya, merupakan satwa berpindah jadi ketika suatu kasus terisolir di suatu tempat, dia akan berkembang biak di satu lokasi saja.

“Kemungkinan variasi lebih banyak jika nanti ada uji DNA gajah Sumatera di TNGL Sumatera Utara dan Aceh dengan di Way Kambas, di Tesso Nilo. Untuk TNGL segera kita lakukan baik DNA badak maupun gajah.”

Dengan ada identifikasi DNA gajah ini, katanya, antara lain, bisa membantu penegakan hukum kalau ada pelaku tertangkap.

 

Keterangan foto utama:    Penyelamatan gajah sumatera penting mencegah kepunahan. Foto:  Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version