Mongabay.co.id

Repotnya Jaga Hutan Desa, Gambutnya Terbakar, Kayunya pun Ramai Dicuri

 

Tulisan sebelumnya: Cerita Penjaga Hutan Desa Lukun Pertaruhkan Nyawa Berjuang Padamkan Api di Riau

 

Pertengahan bulan Maret 2019 lalu, Amran dan Azwar melakukan inspeksi menyusuri lahan hutan gambut. Keduanya adalah ketua dan anggota Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Lukun, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Bulan-bulan itu adalah saat rawan lahan hutan gambut mulai terbakar.

Namun betapa terkejutnya mereka, saat menjumpai tumpukan kayu ilegal yang ada di lokasi lahan gambut yang baru terbakar itu.

Tumpukan kayu olahan juga ditemukan di dalam kanal di lokasi kebakaran. Tiga ikat papan-tersendat di kanal yang sudah mengering. Hanya berjarak 250 meter dari posko tim Masyarakat Peduli Api LPHD Desa Lukun. Padahal selama tiga pekan memadamkan api selama ini, kayu-kayu itu tidak ada.

“Hutan sudah terbakar, di dalam hutan pun dah dihabisi kayunya [oleh pembalak],” ucap Amran.

Semakin masuk ke dalam hutan, mereka menjumpai banyak jalan bercabang. Sesekali terlihat satu dan dua motor parkir di dalam semak. Ini mereka yakini milik para pembalak liar.

Satu jam berjalan, suara chainsaw terdengar. Ada aktivitas penebangan. Amran mempercepat langkah, ia berbelok ke arah suara. Terlihat kayu-kayu berdiameter 40 cm bertumbangan di sana-sini.

Seorang lelaki berumur 39 tahun langsung mematikan gergaji mesin saat Amran datang. Tangannya masih penuh serbuk kayu. Di dekatnya, satu batang pohon meranti baru saja tumbang. Ada bekas potongan mesin, diameternya lebih dari 50 cm.

Amran lalu menemuinya. “Apa yang kau lakukan. Ini kawasan hutan desa, hutan kau juga. Dilarang menebang. Kemarin baru aja orang Gakkum ke sini. Nanti kau diangkut (ditahan).” Emosinya tertahan.

Amran kenal dengan si penebang liar. Sesama warga desanya. Ia lalu menasehatinya.

Setelah satu jam memberi pengarahan bahwa yang ditebang itu adalah hutan desa, datang dua penebang lainnya. Amran pun mengenal mereka. Hal sama disampaikan Amran, lalu mereka diminta berhenti dan keluar dari kawasan.

 

Hutan Desa Lukun di Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Hutan Desa ini terancam kebakaran lahan, juga pencurian kayu dari dalam hutan. Foto: Zamzami/Mongabay Indonesia

 

Menjelang siang, mereka kembali ke jalan poros. Ternyata ada kayu olahan yang baru ditumpuk di pinggir jalan. Pagi tadi ketika memarkirkan motor sebelum masuk ke hutan, kayu-kayu itu belum ada.

Hal serupa terjadi bulan sebulannya. Saat itu anggota Polres Meranti menyita kayu ilegal. “Mereka biasa operasi keluarkan kayu,” katanya.

Temuan kayu-kayu pada Februari dibenarkan Lukman, Kepala Desa Lukun. Kayu temuan di ujung jalan poros Lukun-Sungai Tohor itu lalu disita dan disimpan di Kantor Polres Meranti di Selat Panjang. Sejauh yang  Amran tahu, tidak ada yang mengaku memiliki kayu ini.

“Karena barang bukti ada, diangkat langsung. Karena ndak ada yang ngaku, dianggap kayu temuan, tak bertuan. Ada 3 ten (sekitar 225 keping papan),” kata Lukman kepada Mongabay.

Lukman menyebut, pembalakan liar di Tebing Tinggi Timur berpusat di Hutan Desa Lukun. Pada tahun 2017-2018, setiap minggu, setidaknya ada 300 kubik kayu olahan yang keluar dari hutan desanya.

Data yang ia peroleh, setidaknya ada 90 unit chainsaw beroperasi siang malam di Hutan Lukun. Dua puluh unit diantaranya dioperasikan warga Lukun, sisanya dioperasikan warga luar di Kecamatan Tebing Tinggi Timur. Operasi pembalakan dilakukan siang dan malam.

“Operator chainsaw dari luar Lukun kerja dari pagi sampai jam 12 malam. Sementara [pembalak] Lukun dari jam 8 sampai 4 sore. Kita kurang tahu juga (siapa) tokenya,” ujar Lukman.

Lukman berharap penyitaan kayu temuan Februari lalu ada dampak shock therapy bagi pembalakan liar. Namun nyatanya sebulan kemudian, pembalakan liar terus terjadi. Hutan Desa Lukun kini semakin tercabik.

Dia pun mengaku tak bisa berbuat banyak. Jika dia bertindak terlalu keras, akan timbul konflik horisontal di antara pembalak liar. Menurutnya, pejabat di atas yang lebih mampu menertibkan operasi illegal logging.

 

Anggota LPHD Lukun saat patroli di kawasan Hutan Desa (10/3/2019). Pencurian kayu marak di area ini. Foto: Zamzami/Mongabay Indonesia

 

Harapan untuk Perubahan

Meski banyak tantangan, Lukman meyakini dengan adanya LPHD, 50 persen dari pembalak liar di desanya dapat berubah menjadi penjaga hutan. Sebutnya, hasil Hutan Desa dapat meningkatkan kesejahteraan warga ketimbang penghasilan sebagai operator chainsaw.

“Penghasilan operator chainsaw itu tidak imbang dengan yang didapat toke. Kadang-kadang dinding rumahnya ndak selesai-selesai. Sedangkan toke sudah punya rumah keramik sampai ke jalan,” kata Lukman.

Amran pun punya keyakinan yang sama. Menurutnya Hutan Desa yang dikelola secara baik dan berkelanjutan akan memberi dampak kesejahteraan ekonomi bagi masyarakatnya. Juga menjamin masa depan generasi yang akan datang.

Sebenarnya izin pengelolaan Hutan Desa Lukun, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, telah berusia hampir dua tahun dengan skema Hutan Desa. Izin diberikan Menteri LHK tanggal 17 Maret 2017 kepada tujuh desa di Kecamatan Tebing Tinggi Timur.

Luas total Hutan Desa itu adalah 10.390 hektar. Awalnya bekas HTI milik PT Lestari Unggul Makmur (LUM) yang dicabut izinnya oleh Menteri LHK pada 2016.

Pencabutan PT LUM itu atas desakan masyarakat. Warga menganggap perusahaan menjadi penyebab kebakaran gambut dalam dan dibangun kanal yang lebarnya 5-8 meter dan dalamnya lebih dari 4 meter. Pada tahun 2014, ekosistem gambut yang rentan ini terbakar dahsyat dan menjalar ke kebun-kebun sagu warga.

Di akhir 2014 Presiden Jokowi sempat blusukan asap ke Desa Sungai Tohor yang bersebelahan dengan Desa Lukun.

Baca juga: Blusukan ke Meranti, Jokowi Janji Lindungi Gambut, Moratorium Izin pun Lanjut

Pengelolaan Hutan Desa yang tidak optimal diyakini oleh Amran bermuara dari belum keluarnya rencana kerja Hutan Desa Lukun. Di sisi lain, mesin chainsaw terus menderu, semua pihak tahu adanya pembalakan liar.

 

Sepeda motor, kendaraan yang digunakan pembalak liar diparkir di dalam kawasan Hutan Desa Lukun (10/03/2019). Foto: Zamzami/Mongabay Indonesia

 

Hutan Desa Lukun sendiri luasnya sekitar 2.400 hektar. Survei awal dilakukan warga didampingi LSM lokal. Dalam kawasan hutan sekunder terkandung potensi besar. Diantaranya kayu keras bernilai ekonomi tinggi seperti meranti, punak, kempas, parak, suntai, geronggang, mentangur, malas, kelas, pelawan, resak dan medang.

Riset potensi juga mencatat adanya kayu-kayu berdiameter 20-29 cm sebanyak lebih kurang 700 batang per hektar. Kayu diameter 30-40 cm ada sekitar 95 batang per hektar dengan tinggi pohon antara 35-45 meter. Pada setiap hektarnya juga terdapat potensi 45 batang kayu berdiameter 40 cm lebih dengan tinggi lebih dari 50 meter.

“Melihat potensi kayu yang besar dan setelah membagi zonasi-zonasinya, kami sangat optimis hutan desa ini akan memberi manfaat untuk kesejahteraan warga,” kata Amran.

Azwar pun mengakui hutan desa adalah solusi untuk pengelolaan kawasan hutan. Bagi ayah dari empat anak ini, hutan adalah jawaban untuk masa depan anak dan cucunya. Ini juga yang membuat Azwar terlibat aktif sebagai anggota Masyarakat Peduli Api (MPA) yang dibentuk oleh LPHD Lukun.

Pada kebakaran hutan di desanya awal Februari hingga awal April ini, Azwar terlibat penuh memadamkan api. Ia bahkan meninggalkan keluarga dan menginap di dalam hutan berminggu-minggu.

“Kalau kita ndak turun padamkan api ini, siapa yang menyelamatkan hutan desa kita sendiri. Hutan juga kita butuhkan untuk masa depan. Kalau hutan terbakar, ke mana cari kayu untuk rumah? Bangun pakai batu dan semen mahal. Dan ini bukan tradisi kami,” ujarnya.

 

 

Exit mobile version