Mongabay.co.id

Negara Harus Telusuri Kapal Ikan Tak Berizin

 

Sebanyak 2.397 kapal perikanan hingga saat ini diketahui masih belum memiliki izin perpanjangan setelah masa berlaku izin habis per 1 April 2019 lalu. Seluruh kapal yang bobotnya lebih dari 30 gros ton (GT) itu, diketahui masih belum melaksanakan proses perpanjangan izin. Fakta tersebut, seharusnya ditelusuri oleh Pemerintah Indonesia secara lebih detil.

Desakan untuk menelusuri kapal ikan yang belum memiliki izin itu, disuarakan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia. Kepada Mongabay, awal pekan ini, Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan, kapal ikan yang belum memiliki izin dari Pemerintah, terdiri dari kapal ikan yang sudah beroperasi ataupun yang sedang dalam proses pembangunan.

Menurut Abdi Suhufan, Pemerintah harus tahu bahwa kapal tidak berizin biasanya memiliki modus tertentu seperti terlambat mengajukan perpanjangan izin, pemalsuan dokumen perizinan, pemalsuan ukuran kapal dari aslinya (mark down), pembangunan kapal baru tanpa surat izin usaha perikanan (SIUP), spekulasi pemilik yang mengoperasikan kapal ikan untuk berlayar namun belum memiliki surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengakut ikan (SIKPI).

“Modus dan praktik data kapal tidak berizin itu merugikan Negara, secara ekonomi dan lingkungan,” ucapnya.

Abdi menerangkan, jika Pemerintah tidak mau menelusuri lebih jauh status kapal-kapal tak berizin yang ada sekarang, maka dampaknya adalah akan timbul data yang biasa. Hal itu, karena Pemerintah tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah kapal ikan yang aktual dan beroperasi di wilayah perairan Indonesia.

Tanpa tahu secara detil, Abdi menyebut, Pemerintah juga tidak akan bisa menghitung berapa potensi pendapatan negara dari sektor perikanan. Jika itu sampai terjadi, maka akan muncul potensi berkurangnya pendapatan negara dari sektor perikanan. Untuk itu, agar kondisi itu tidak muncul, maka Pemerintah harus menelusuri secara detil kepastian kapal-kapal yang belum mendapatkan perpanjangan izin.

“Saya menduga, jumlah kapal ikan yang beroperasi saat ini lebih banyak dari jumlah izin kapal yang dirilis resmi oleh KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan),” tuturnya.

baca : Tata Kelola Kapal Perikanan Masih Amburadul?

 

Sejumlah kapal dengan alat tangkap ikan berupa cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung, Rembang, Jawa Tengah, pada Selasa (13/2/2018). Kapal-kapal tersebut belum bisa melaut sebelum administrasi kapal dan menyanggupi kesediaan mengganti cantrang dengan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Izin Lokal

Tak hanya itu, Abdi menambahkan, persoalan kapal juga masih berlanjut karena pemerintah provinsi ada yang menerbitkan surat keterangan dan bahkan SIPI kapal ikan untuk yang ukurannya di atas 30 GT. Dari catatan DFW Indonesia, Pemprov yang berani menerbitkan surat izin, diantaranya adalah Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Aceh.

Kebijakan yang diterbitkan di tingkap provinsi tersebut, bagi Abdi, berpotensi melanggar ketentuan yang sudah ada dan sekaligus berpotensi merusak tata kelola perikanan. Fakta itu, jelas bertentangan dengan upaya yang sedang dilakukan Pemerintah Indonesia melalui KKP, yaitu menjaga laut agar tetap lestari dan berkelanjutan.

“Kondisi ini diperparah karena proses izin dari hulu ditangani oleh 2 instansi yang berbeda yaitu Kementerian Perhubungan dan KKP. Mesti ada mekanisme berbagi data dan sinkronisasi data perizinan antar kedua kementerian tersebut, terkait dokumen kapal seperti surat ukur, gross ton dan pas besar yang dikeluarkan oleh Kemenhub dengan jumlah SIPI dan SIKPI yang dikeluarkan oleh KKP,” paparnya.

Sementara, peneliti DFW Indonesia Widya Savitri memberikan pandangan tentang pentingnya kepatuhan pelaku usaha perikanan tangkap dalam proses perizinan. Dengan melaksanakan kepatuhan, itu akan memberi pengaruh signifikan pada pendapatan negara dari sektor perpajakan. Apalagi, Negara sangat berharap ada pemasukan signifikan dari perikanan tangkap dan menjadikannya sebagai sektor andalan Negara untuk meraup pajak.

“Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Perikanan naik dari Rp624 tahun 2017, naik menjadi Rp645 miliar pada Desember 2018 lalu. Target PNBP dan pajak sektor perikanan tahun 2019 ini mestinya bisa ditingkatkan jika pembenahan izin konsisten dilakukan oleh KKP dan mendapat dukungan semua pihak,” tegas dia.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar menjelaskan tentang kapal yang hingga saat ini masih belum mendapatkan izin. Dari 2.397 unit kapal yang semuanya berukuran di atas 30 GT, diketahui ada 10 unit kapal yang izinnya sudah berakhir lebih dari sebulan, 237 unit kapal izinnya sudah berakhir dalam rentang waktu 1-3 bulan, 929 unit kapal yang masa berlakunya sudah berakhir sejak 3-12 bulan lalu.

Kemudian, ada juga kapal yang berakhir masa berlaku izin sejak 1-2 tahun lalu dan jumlahnya sebanyak 379 unit kapal. Sementara, sisanya atau 842 unit kapal diketahui izinnya telah berakhir lebih dari dua tahun. Semua kapal-kapal tersebut, hingga saat ini diketahui masih belum memiliki izin yang baru atau perpanjangan dari izin yang lama.

“Pelaku usaha tidak perlu menunggu izin habis baru melakukan permohonan perpanjangan,” ungkapnya.

baca juga :  Ini Cara Agar Ada Efek Jera untuk Pemilik Kapal Tanpa Surat Izin Melaut

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melihat dan memotret kapal-kapal eks pengguna cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Pati, Jawa Tengah, pada Kamis (1/3/2018). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Lebih Dini

Menurut Zulficar, pelaku usaha dapat mengajukan permohonan perpanjangan izin sejak tiga bulan sebelum surat izin penangkapan ikan atau surat izin kapal pengangkut ikan (SIPI/SIKPI) berakhir. Dengan ketentuan, tahun kedua harus tetap melakukan cek fisik sesuai dengan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.30/2012 dan perubahannya tentang Usaha Perikanan Tangkap.

“Para pelaku usaha juga dapat memanfaatkan sistem e-service perikanan tangkap untuk mengajukan permohonan SIPI/SIKPI. Secara daring, proses dan alur dokumen perizinan dapat terpantau real time sehinga pelaku usaha dapat mengaksesnya di mana pun dan kapan pun,” tambahnya.

Selain kapal besar, Zulficar mengaku kalau perizinan juga bermasalah pada kapal berukuran kecil di bawah 10 GT, terutama sejak Pemerintah Indonesia melarang operasional kapal ikan asing (KIA) di wilayah perairan Indonesia. Keberadaan kapal kecil, pada akhirnya kemudian menggantikan kapal berukuran besar dengan jumlahnya mencapai 600 ribu unit di seluruh Indonesia atau 89 persen dari total kapal ikan yang ada.

Sebagai kapal kecil, Zulfiar menyebut bahwa operasional mereka akan banyak bergantung pada wilayah perairan pesisir dan dengan modal yang tidak besar. Fakta tersebut, membuat kapal-kapal kecil tersebut tidak akan banyak bergerak dan itu berbeda dengan kapal besar yang memiliki modal cukup dan daya jelajah yang lebih jauh.

“Banyak nelayan kecil mengatakan, kendala yang paling besar yaitu sulitnya akses dan minimnya pengetahuan,” tuturnya.

baca juga : KKP dan Kemhub Sinergikan Layanan Perizinan Nelayan Kecil, Bagaimana Implementasinya?

 

Kapal purse seine atau Lampara berukuran di atas 6 GT sedang membongkar hasil tangkapan ikan di pelabuhan TPI Alok Maumere, Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Agar permasalahan seperti itu bisa diatasi, KKP berinisiatif untuk menjalin kerja sama dengan Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Perjanjian kerja sama (PKS) yang sudah ditanda tangani itu, akan fokus pada pelayanan status hukum kapal penangkap ikan dan kepelautan di seluruh Nusantara.

Zulficar menuturkan, PKS dengan Kemenhub menjadi langkah terobosan untuk membantu memecahkan persoalan yang sering dihadapi nelayan skala kecil, yaitu status hukum kapal seperti Pas Kecil: Surat Ukur, Gross Akta, Izin yang mencakup Buku Kapal Perikanan, dan Bukti Pencatatan Kapal Perikanan (BPKP), Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), dan Surat izin Penangkapan Ikan (SIPI) kapal yang dimiliki.

“Selain itu juga memberikan sertifikasi kepelautan dalam bentuk buku pelaut atau seaman book,” jelasnya.

 

Exit mobile version