Mongabay.co.id

Potensi Besar, Tuna di Morotai Belum Tergarap Optimal

Tuna yang mulai proses, dibelah, dibuka kepala, sampai sisik di Morotai. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Potensi perikanan di Morotai, Maluku Utara, cukup luar biasa. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan potensi tuna Morotai bisa 200.000 ton, baru tergarap sekitar 20%. Secara total, potensi perikanan tangkap di Morotai,  1.714.158 ton per tahun.

Ahmad Aris, Kasubdit Pulau-pulau Kecil dan Terluar Dirjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengatakan, potensi luar biasa itu perlu dimanfaatkan maksimal. “Ke depan bisa sampai lima kali lipat,” katanya di Morotai, baru-baru ini.

Belum lagi, katanya, potensi tuna dari wilayah- wilayah sekitar Morotai, sebut saja laut Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Halmahera Utara. Daerah-daerah ini perlu mendapatkan dukungan agar bisa menjadi pemasok tuna buat ekspor.

“Potensi perikanan dan kelautan Morotai, sangat luar biasa. Itu harus bersinergi semua pihak, pemerintah, pengusaha, LSM, bahu membahu membangun kelautan dan perikanan ini,” katanya.

KKP, sudah membangun Sentra Perikanan dan Kelautan Terpadu (SKPT) Daeo Majiko, Pulau Morotai, Maluku Utara. Awalnya, ada kendala terutama listrik tetapi, perlahan teratasi dengan dukungan lembaga lain.

“Saat ini, dari enam hektar lahan yang dibebaskan untuk pembangun sarana perikanan di Morotai, dua hektar digunakan. KKP juga sudah membantu nelayan dengan 102 armada tangkap. Pada 2019, ditambah lagi 148 armada baru. Bahkan, tiap kecamatan akan dibangun pabrik es,” katanya.

Berbagai fasilitas ini dibangun untuk memajukan perikanan Morotai. Saat ini , SKPT juga mendapat dukungan dana hibah JICA Jepang Rp50 miliar untuk membangun infrastruktur perikanan di Morotai.

SKPT, katanya, bahkan bertugas memberikan pemahaman soal perikanan berkelanjutan, misal, mengedukasi nelayan menangkap tuna lebih besar. Di bawah SKPT, Pemkab Morotai membentuk 89 koperasi tahun lalu.

“Infrastruktur akan dibangun lagi, ke depan kita dorong swasta berinvestasi pengolahan ikan di SKPT. Jika pengolahan bagus, ikan bisa ekspor langsung ke negara tujuan. Tidak hanya dalam bentuk pengolahan seperti sekarang, banyak jenis bisa diproduksi,” kata Aris.

 

Ilustrasi. Tuna, salah satu perikanan andalan Indonesia, termasuk Maluku Utara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kalau perkembangan produksi ikan dan pengolahan makin baik, katanya, akan ekspor langsung dari Morotai, tak perlu melalui negara atau kota lain. “Tuna fresh dari Morotai bisa langsung dikirim ke Jepang. Dari Morotai hanya delapan jam sudah bisa sampai ke Jepang. Tentu dengan harga lebih mahal. Ikan dari Morotai, menurut Jepang 80% masuk grade A.”

Maluku Utara, sebagai provinsi kepulauan dengan luas laut 69% dari total wilayah hingga jadikan daerah ini berpotensi besar kelautan dan perikanan besar.

Buyung Radjiloen, Kepala Dinas Perikanan Malut mengatakan, tua masih berpeluang besar dikembangkan di Malut. Sebagai daerah penghasil tuna, dia berharap, bisa memberikan kontribusi besar bagi daerah.

Data 2017, Malut, mulai mengembangkan ekspor perikanan mandiri atau langsung setelah 15 tahun haru melalui daerah lain terlebih dahulu. Sejak PT Usaha Mina (persero), pengekspor ikan terbesar di Indonesia Timur, di Pulau Bacan, setop operasi, produk perikanan keluar melalui pelabuhan di provinsi lain seperti Bitung (Sulawesi Utara), Makassar (Sulawesi Selatan), Denpasar (Bali), Surabaya (Jawa Timur) dan Jakarta.

Kondisi ini, katanya, merugikan Malut karena devisa dari hasil ekspor perikanan tercatat sebagai hasil daerah lain. Padahal, katanya, produksi ikan dari Malut.

Buyung bilang, sejak 2017, ekspor langsung ke Los Angeles, Amerika Serika dan Jepang, produk olahan tuna (ikan asap, tuna loin) dan cakalang senilai US$230.787.

Saat ini, katanya, pengembangan hilirisasi terus digenjot untuk meningkatkan ekspor perikanan Malut. Pada 2018, sektor perikanan Malut, masuk fase peningkatan daya saing produk olahan dengan kehadiran beberapa industri perikanan modern. Hal ini, katanya, sekaligus mendorong peningkatan nilai tambah produk perikanan seperti tuna, cakalang, tongkol dan udang vaname.

“Ada lima produk ekspor perikanan sudah mampu ekspor langsung dari Malut, yaitu frozen yellowfin tuna, yellowfin tuna loin, yellowfin tuna head, frozen udang vaname dan smoked fish,” katanya. Pada 2018, devisa ekspor perikanan Malut mencapai US$3.126.255,81 atau Rp.45.504.715.514.

Data sampai Maret 2019, ekspor perikanan sudah US$1 juta. “Kami optimis nilai ekspor akan mengalami peningkatan.”

 

Sumber: KKP.go.id

 

Untuk peningkatan produk ekspor perikanan Malut, katanya, pemerintah daerah akan menjalankan beberapa kebijakan, yakni, mendorong peningkatan iklim investasi sektor perikanan, khusus pengembangan produk olahan unggulan seperti tuna , cakalang, tongkol, udang vaname dan rumput laut. Juga, penguatan hilirisasi melalui industrialisasi dan sertifikasi, unit pengolahan ikan sesuai standar sertifikat kelayakan pengolahan (SKP) dan sistem jaminan mutu (hazard analysis critical control point/HACCP).

Penguatan penanganan hasil tangkapan nelayan khusus tuna, cakalang dan tongkol melalui program cara penanganan ikan yang baik. Selain itu, katanya, ada peningkatan kapasitas sarana dan prasarana penangkapan ikan khusus tuna, cakalang dan tongkol. Lalu, penataan distribusi dan pemasaran hasil perikanan guna menjaga disparitas harga produk perikanan, peningkatan akses modal dan pemasaran bagi nelayan dan pembudidaya ikan serta peningkatan hasil olahan produk perikanan bernilai tambah.

Pemerintah Malut juga akan penataan pengelolaan dan pemanfaatan berkelanjutan, melalui program konservasi dan penataan pengelolaan kawasan sesuai Perda No 2/2018. Ia perda soal rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) Malut.

Dinas Kelautan dan Perikanan Malut, katanya, akan terus berkoordinasi dengan berbagai instansi maupun berbagai pihak dalam mendorong kelautan dan perikanan.

 

Keterangan foto utama:  Tuna yang mulai proses, dibelah, dibuka kepala, sampai sisik di Morotai. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version