Mongabay.co.id

Banjir dan Longsor Bengkulu, Ada yang Salah dengan Pengelolaan Bentang Alam?

 

 

Banjir dan longsor yang melanda Bengkulu, akibat guyuran hujan deras sepanjang Jumat [26/4/2019] hingga Sabtu [27/4/2019], tidak hanya menimbulkan kerugian materi, tetapi juga merenggut korban jiwa.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Nasional [BNPB] terkini, hingga Minggu pukul 19.00 WIB, sebanyak 17 orang meninggal dunia, 9 orang hilang, 2 luka berat, dan 2 luka ringan. Dilaporkan juga, sebanyak 12 ribu warga mengungsi dan 13 ribu orang terdampak.

Bencana ini terjadi di 9 kabupaten/kota yaitu Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Lebong, Kabupaten Seluma, Kabupaten Bengkulu Selatan, dan Kabupaten Kaur.

Kerusakan fisik meliputi 184 rumah rusak, 7 unit fasilitas pendidikan, 40 titik infrastruktur rusak (jalan, jembatan, oprit, gorong-gorong). Dampak bencana diperkirakan bertambah karena belum semua lokasi bisa dijangkau.

“Kepala BNPB Doni Monardo telah menyerahkan bantuan dana siap pakai Rp2,25 miliar kepada Gubernur Bengkulu, untuk membantu operasional. Selanjutnya, dana tersebut akan diberikan kepada BPBD kabupaten/kota yang disesuaikan dengan tingkat kerusakan bencana,” terang Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, sebagaimana keterangan tertulisnya, Minggu [28/4/2019].

 

Banjir dan longsor di Bengkulu menyebabkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur. Foto: Sutopo Purwo Nugroho/BNPB/twitter @Sutopo_PN

 

Sutopo menjelaskan, Gubernur Bengkulu, Rohodin Mersyah telah memerintahkan seluruh jajaran SKPD di Bengkulu untuk membantu penanganan darurat bencana tersebut. BNPB telah mengirimkan Tim Reaksi Cepat untuk mendampingi Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] dan mengimbau kepala daerah yang terkena bencana untuk menetapkan status darurat.

“Kendala yang dihadapi adalah akses ke lokasi bencana terputus total, begitu juga dengan koordinasi dan komunikasi yang terhambat akibat aliran listrik terputus. Titik lokasi bencana banyak sementara jarak dari satu lokasi ke lainnya berjauhan. Kebutuhan mendesak saat ini adalah tenda, air bersih, makanan siap saji, hingga peralatan bayi,” terangnya.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika [BMKG], sebagaimana dikutip dari Republika, menjelaskan, banjir yang melanda Bengkulu berkaitan dengan aktivitas Osilasi Madden-Julian [OMJ].

Apakah itu? Fenomena alam yang secara ilmiah meningkatkan suplai massa udara basah di sebagian besar wilayah Indonesia. Menurut Maddan & Julian [1971], OMJ adalah model osilasi dominan dari variabilitas di daerah tropik. OMJ sangat kuat dampaknya di daerah-daerah lintang rendah, dekat garis ekuator yang terjadi pertama kali di Samudra Hindia dengan pergerakan ke arah timur antara 100° LU dan 100° LS.

Menurut Deputi Bidang Meteorologi BMKG R Mulyono Rahadi Prabowo, potensi cuaca ekstrim diproyeksikan terjadi di sejumlah wilayah Indonesia hingga 2 Mei 2019. “Salah satu wilayahnya adalah Bengkulu,” jelasnya.

Mulyono menyebutkan, aktivitas OMJ bisa terjadi kapan pun karena kondisi ini merupakan osilasi dengan periode ulang 30-90 hari. “Kemunculannya dimuali di barat Samudra Hindia yang merambat merambat ke arah barat melewati daratan Indonesia, lalu ke barat Samudra Pasifik.”

 

Banjir dan longsor di Bengkulu melanda 9 kabupaten/kota. Foto: Sutopo Purwo Nugroho/BNPB/Twitter @Sutopo_PN

 

Gunung es

“Banjir yang terjadi merupakan wujud gunung es kerusakan bentang alam di Bengkulu dan terparah selama ini,” terang Beni Ardiansyah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Bengkulu, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [28/4/2019].

Kenapa? Pertama, ini dikarenakan rusaknya daerah aliran sungai [DAS] Sungai Air Bengkulu, yang berada di Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu. “Pada DAS Air Bengkulu ini terdapat tujuh perusahaan tambang batubara, dua pabrik CPO dan dua pabrik karet, yang tentu saja sangat mengubah bentang alam. Khususnya hutan di sana,” katanya.

Di Kota Bengkulu juga terdapat delapan kelurahan yang terendam, ratusan rumah dan fasilitas umum juga, bahkan merenggut korban jiwa. “Jadi banjir kali ini tidak dikategorikan hal biasa,” katanya.

Dijelaskan Beni, meningkatnya debit Sungai Air Bengkulu, tidak lepas kegiatan pertambangan batubara di bagian hulu, yakni PT. Inti Bara Perdana, PT. Bukit Sunur, PT. Fetro Rejang, PT. Sirat Unggul Permai, PT. Kusuma Raya Utama, PT. Danau Mas Hitam, dan PT. Bara Mega Quantum. Enam perusahaan tambang tersebut beroperasi di kawasan hutan, Hutan Lindung Bukit Daun, dan Taman Buru Semidang Bukit Kabu.

 

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika [BMKG], menjelaskan, banjir yang melanda Bengkulu berkaitan dengan aktivitas Osilasi Madden-Julian [OMJ]. Foto: Sutopo Purwo Nugroho/BNPB/Twitter @Sutopo_PN

 

Di sepanjang Sungai Air Bengkulu terdapat dua pabrik CPO milik PT. Cahaya Sawit Lestari dan PT. Palma Mas Sejahtera, serta dua pabrik karet yakni PT. Batang Hari Bengkulu dan PT. Bengkulu Angkasa Makmur.

“Dua pabrik karet yang terletak di sepanjang Sungai Air Bengkulu antara lain PT. Bukit Angkasa Makmur [BAM] dan PT. Batang Hari, terletak di Kecamatan Talang Empat di Bengkulu Tengah. Bahan baku pabrik dikirim dari banyak kecamatan di Kabupaten Bengkulu Tengah, perkebunan karet banyak dimiliki masyarakat dan beberapa perkebunan besar dimiliki perusahaan karet itu. Jadi, melihat padatnya aktivitas di hulu sangat wajar Sungai Bengkulu tidak bisa menampung volume air yang datang akbiat cuaca buruk pada wilayah hulu,” kata Beni.

Kedua, DAS Air Kungkai yang berada di Kabupaten Rejang Lebong dan Kepahiyang, airnya mengalir ke Sungai Musi, Sumatera Selatan. Pada wilayah DAS ini terdapat aktivitas PLTA Musi dan aktivitas PT. Pertamina Geothermal Energy yang berada pada kawasan hutan Bukit Daun. “Banjir dan tanah longsor pada wilayah ini terjadi tujuh titik, dalam kejadian ini merugikan persawahan, jalan amblas, empat jembatan terseret air, dan ratusan rumah terendam.”

Wilayah hutan yang seharusnya tidak digunakan sebagai kawasan budidaya dan kegiatan non-kehutanan, pada kenyataannya terjadi. “Perencanaan yang tidak sesuai dengan pemanfaatan tata ruang menjadi faktor utama terjadinya bencana ekologis tersebut. Kawasan hutan yang fungsinya sebagai wilayah lindung, penyangga kehidupan kawasan hilir dan tengah, diperuntukan sebagai daerah budidaya yang sangat jelas tidak sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Berdampak besar pada bentang alam di bagian tengah dan hilir,” jelasnya

 

Selain faktor alam, pengelolaan bentang alam yang salah turut mengundang hadirnya bencana? Foto: Sutopo Purwo Nugroho/BNPB/Twitter @Sutopo_PN

 

Ditambah sedimentasi, DAS membuat sungai tidak mampu lagi menahan laju arus air dari kawasan hulu. “Sedementasi DAS terjadi karena aktivitas pencucian batubara yang hanyut melalui sub-DAS dan anak sungai yang terus menerus. Serta, limbah perusahaan Industri ekstraktif lain seperti CPO dan getah karet, ditambah sampah rumah tangga,” ujar Beni.

Apa yang harus dilakukan? Walhi Bengkulu meminta pemerintah untuk melakukan restorasi, menghentikan pemberian izin serta pemanfaatan kawasan lindung di Bengkulu. Misalnya, Pemerintah Kota Bengkulu yang selama ini ingin membangun waduk di bagian hilir, idealnya berkoordinasi dengan Pemerintahan Kabupaten Bengkulu Tengah untuk sama-sama memperbaiki dahulu kawasan hulu. Dengan begitu, pembangunan waduk di hilir bermanfaat.

“Selesaikan masalah di hulu terlebih dahulu, karena kawasan hutan merupakan penyerap air sekaligus pelindung ketika hujan datang,” tandas Beni.

 

 

Exit mobile version