Mongabay.co.id

Direstorasi, Gambut di Muara Medak Tidak Bakal Merana Lagi

 

 

Kawasan gambut di Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], Sumatera Selatan, merupakan wilayah gambut yang hampir setiap tahun mengalami kebakaran. Kabut asapnya menyebar hingga ke Singapura, seperti pada 2015 lalu. Selain menghabiskan kekayaan hayati dan memicu peningkatan perubahan iklim, juga mengancam kehidupan suku anak dalam atau Batin Sembilan yang selama ratusan tahun hidup di hutan Muara Medak. Apa yang harus dilakukan?

“Masyarakat di Desa Muara Medak menjalankan skema perhutanan sosial pola kemitraan dengan kami dalam rangka upaya restorasi gambut. Masyarakat ini tergabung dari 14 kelompok tani atau 879 kepala keluarga melalui pendekatan lanskap,” kata Salim Jundan dari UPTD KPH [Kesatuan Pengelolaan Hutan] Wilayah II Lalan Mendis, kepada Mongabay Indonesia, di Desa Muara Medak, Kamis [25/4/2019] lalu.

“Saya optimis dengan program ini meskipun kondisi di Muara Medak cukup memprihantinkan,” lanjutnya.

Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, kawasan gambut di Desa Muara Medak yang masuk Kawasan Hidrologis Gambut [KHG] Sungai Medak-Lalan, sebagian besar sudah rusak. Hutan habis, dan sebagian besar menjadi perkebunan sawit. Hutan gambut terdegradasi di Muara Medak merupakan target restorasi gambut di Kabupaten Muba.

Luas desa ini 75.638,5 hektar dan sekitar 90 persen adalah rawa gambut. Sementara luas gambut di Muba sekitar 374.360 hektar yang sebagian besar di Bayung Lencir dan Lalan.

“Di masa lalu, bukan hanya illegal logging yang terjadi di hutan gambut Muara Medak juga illegal land,” kata Salin.

Guna mewujudkan pendekatan lanskap tersebut, KPH Wilayah II Lalan Mendis bekerja sama dengan ZSL Indonesia yang menjalankan proyek KELOLA Sendang. Desa Muara Medak ini masuk dalam lanskap Sendang [Sembilang-Dangku].

 

Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, memiliki kawasan gambut yang hampir setiap tahun terbakar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

KELOLA Sendang mendorong dan memfasilitasi penataan lahan gambut seluas 3.539,64 hektar yang dikelola masyarakat Desa Muara Medak berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup RI No.6303/Men-LHK/PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018. Juga, melibatkan sejumlah pihak seperti Balitbang LHK Palembang, Tim Restorasi Gambut [TRG] Sumsel, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat [Balitro], Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin, dan lainnya.

“Berdasarkan Rencana Kerja Usaha [RKU] Kemitraan milik Gabungan Kelompok Tani Berkah Hijau Lestari, wilayah kelola dibagi empat zonasi,” kata Agus Irwanto Wibowo, pendamping dari ZSL Indonesia – KELOLA Sendang.

Pertama, zona konservasi perikanan tangkap seluas 400 hektar. Kedua, zona agroforestry terbatas seluas 1.400 hektar. Ketiga, zona HHBK [Hasil Hutan Bukan Kayu] dan sumber benih seluas 1.200 hektar. Keempat, zona silvopastura seluas 500 hektar.

Zona konservasi perikanan tangkap yang berada di gambut dalam ini juga diperuntukan bagi kehidupan 16 kepala keluarga Batin Sembilan yang menetap di permukiman berupa rumah panggung. “Zona ini merupakan kawasan gambut dalam yang rusak akibat penebangan, kebakaran, dan ekspansi perkebunan sawit masyarakat,” kata Agus.

Zona agroforestry berupa demplot terbatas yang mulai dilakukan penanaman komoditas atsiri seperti serai wangi dan jeruk purut. Di demplot ini juga ditanam pinang dan jelutung.

Zona HHBK [Hasil Hutan Bukan Kayu] dan sumber benih terletak di kawasan yang tutupan hutannya masih ada. Di zona ini akan dikembangkan bibit tumbuhan asli rawa gambut guna kebutuhan restorasi dan rehabilitasi lahan gambut di Sumatera maupun Kalimantan, seperti jelutung.

Terakhir, silvopastura. “Zona ini berupa kawasan rawa, akan dijadikan kawasan peternakan rawa gambut yang akan didatangkan dari Pampangan, Kabupaten OKI,” kata Agus.

 

Lokasi perhutanan sosial Desa Muara Medak ini dulunya eks HPH. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mengubah sejarah kelam

Kawasan gambut di Desa Muara Medak, salah satu kawasan gambut di Sumatera Selatan, yang memiliki sejarah kelam. Hutan rimba ini mulai mengalami kerusakan setelah hadirnya perusahaan HPH pada 1980-an. Setelah perusahaan berhenti, dilanjutkan dengan pembalakan yang dilakukan para pendatang dari berbagai daerah di Sumatera Selatan, Jawa, dan Tapanuli.

Saat kebakaran hutan dan lahan di Muara Medak 1997-1998, terjadi juga ekspansi perkebunan sawit oleh para pendatang tersebut.

“Sejarah kelam itu mari kita lupakan bersama. Restorasi gambut dengan skema perhutanan sosial ini coba menyelaraskan berbagai etnis atau suku yang menetap di Desa Muara Medak, sehingga lahan gambutnya menjadi lebih baik dan terjaga, semua warga dapat hidup layak dan sehat,” kata Salim.

David Ardhian, Deputi Direktur KELOLA Sendang mengatakan, pelestarian lingkungan sulit diwujudkan kalau kita tidak mengoreksi ketimpangan. “Beranjak dari berbagai ketimpangan di masa lalu, melestarikan kawasan harus memberi kesempatan pada masyarakat sekitar untuk memberdayakan dirinya, agar mendapatkan manfaat hidup lebih baik di masa mendatang. Perhutanan sosial dengan skema restorasi lanskap coba mewujudkan hal tersebut.”

Dr. Najib Asmani, Koordinator TRGD Sumsel, yang hadir dalam penanaman perdana pada zona demplot terbatas mengatakan optimistis dengan kegiatan ini. “Saya melihat ada kekompakan bersama, baik penduduk asli, pendatang dari Jawa dan Tapanuli, untuk memperbaiki lahan gambut yang ada. Kekompakan juga ditunjukan berbagai pihak yang selama ini punya kepedulian terhadap upaya restorasi gambut, baik pemerintah maupun NGO.”

Dr. Erwin Martin dari Balitbang LHK Palembang, menuturkan sebelum kehadiran para pendatang, hutan rawa gambut di Muara Medak merupakan rumah bagi suku anak dalam yang hidup bergantung pada perikanan. Mereka hidup di sekitar Sungai Pejudian hingga Sungai Medak.

“Skema perhutanan sosial ini sangat memperhatikan air atau pembasahan, sehingga sumber pakan maupun ekonomi dari ikan kembali hidup. Kita juga mendorong tradisi baru terhadap para pendatang, sebagai manusia hybrid atau beradaptasi dengan rawa gambut, yakni memelihara kerbau rawa.”

 

Rawa gambut di Desa Muara Medak ini dijadikan wilayah perhutanan sosial. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pulihnya kesehatan ekosistem

Dr. Damayanti Buchori, Direktur Proyek KELOLA Sendang, mengatakan pendekatan restorasi lanskap memiliki tujuan akhir yakni mewujudkan kehidupan masyarakat lebik baik, keanekaragaman hayati kembali pulih. “Lebih utama, kesehatan ekosistem kembali pulih, kesehatan masyarakat atau manusia menjadi lebih baik.”

Oleh karena itu, kata dia, upaya restorasi lanskap bukan satu tujuan. Hanya memperbaiki ekonomi atau konservasi. “Restorasi lanskap harus beranjak atau memperbaiki berbagai unsur kebudayaan yang terbangun dari hubungan masyarakat dengan lingkungan, khususnya hutan.”

“Kami sangat senang mendapatkan izin perhutanan sosial dari pemerintah. Pendekatan restorasi lanskap dalam membangun kemitraan ini ternyata mampu mendorong warga Desa Muara Medak, baik lokal maupun pendatang, bersatu, dan bersama mewujudkan lingkungan yang sehat. Seperti tidak ada lagi kebakaran dan hutan kembali pulih, secara ekonomi kami pun hidup lebih baik,” kata Edi Susanto, Ketua Gapoktanhut Berkah Hijau Lestari. “Kami akan berusaha keras mewujudkan apa yang menjadi cita-cita tersebut,” ujarnya.

 

 

Exit mobile version