- Sawit disebut-sebut sebagai sektor andalan pendapatan negara. Sayangnya, tak sebanding dengan nasib pekerja sektor ini masih begitu memprihatinkan. Sebenarnya, siapa yang disejahterakan sawit?
- Tenaga kerja sektor sawit masih didominasi buruh kerja harian. Soal data tenaga kerja sektor sawit juga simpang siur. Ada bilang delapan juta, 10 juta, 21 juta, mana yang benar? Dampak ketidakjelasan ini, berimbas pada kebijakan pemerintah, cenderung tak berpihak kepada mereka.
- Trade Union Rights Centre (TURC), studi mengenai lemahnya pengawasan ketenagakerjaan di perkebunan sawit. Skema pengawasan dari kementerian ketenagakerjaan memiliki banyak kelemahan cukup esensial.
- TuK Indonesia mendorong, lembaga finansial patuh prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan tanggung jawa sosial dengan cara memberikan pinjaman hanya kepada perusahaan yang memenuhi hak-hak pekerja. Juga mendorong perusahaan perkebunan sawit mengadopsi skema-skema pengupahan yang berpihak buruh sawit.
Sawit masih jadi sektor andalan Indonesia. Pada 2017, kontribusi ekspor sawit sebesar US$14,4 miliar, setara Rp194 triliun. Pendapatan negara yang diterima dari sektor sawit Rp231,4 triliun. Pada 2016, industri sawit menyumbang kontribusi produk domestik bruto (PDB) Rp429 triliun. Sektor sawit ini tak lepas dari sorotan banyak ciptakan masalah lingkungan dari hutan rusak, lingkungan tercemar sampai berbagai konflik lahan dan sumber daya alam. Tambah lagi, nasib buruh sektor ‘andalan’ ini sangat memprihatinkan.
Sawit Watch menyatakan, tenaga kerja yang bergantung pada industri perkebunan sawit didominasi buruh harian lepas (BHL). Data berapa angka pasti menghitung banyaknya warga yang bekerja di sektor perkebunan sawit juga masih simpang siur. Antar lembaga dan kementerian, memiliki data berbeda.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyebut, ada delapan juta warga Indonesia bekerja di perkebunan sawit. Kementerian Tenaga Kerja bilang, ada 10 juta orang. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebut, perkebunan sawit menyerap tenaga kerja 21 juta orang baik langsung maupun tidak. Perbedaan angka ini berimbas pada kebijakan pemerintah, cenderung tak berpihak kepada mereka.
Herwin Nasution, Ketua Umum Serikat Buruh Perkebunan Indonesia dalam diskusi di Jakarta, Minggu (28/4/19) mengatakan, ada banyak permasalahan menyangkut perkebunan sawit. Mulai soal lingkungan, deforestasi, tata ruang wilayah dan lain-lain. Mengenai isu buruh di perkebunan sawit, katanya, seakan luput perhatian.
“Persoalannya, pengawasan dan penegakan hukum lemah dan tak berpihak buruh. Ini terlihat dari pembiaran atas eksploitasi buruh,” katanya.
Beberapa masalah biasa terjadi, katanya, seperti pemberian target kerja tak manusiawi, diskriminasi buruh perempuan, pekerja anak dampak target tak manusiawi, penyelewengan status kerja dan praktik upah di bawah aturan yang melanggar UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003.
Trade Union Rights Centre (TURC), sebuah organisasi pelayanan buruh yang fokus pemberdayaan hukum, politik dan ekonomi buruh di Indonesia, membuat studi mengenai lemahnya pengawasan ketenagakerjaan di perkebunan sawit.
Menurut lembaga itu, skema pengawasan dari kementerian ketenagakerjaan memiliki banyak kelemahan cukup esensial.
Pertama, pengawas ketenagakerjaan di provinsi tak punya pengetahuan teknis memadai tentang industri sawit hingga mempersulit pengawas memahami konteks perkebunan sawit. Sulit juga, katanya, menemukan pelanggaran di dalam perkebunan.
Kedua, pengawas tak sebanding dengan perusahaan dan luas wilayah pengawasan. Ketiga, mekanisme pengawasan seperti penentuan tempat dan perusahaan yang dituju sudah ditentukan dalam program kerja tahunan. Kondisi ini, katanya, menyebabkan kalau ada pengaduan insidentil dari buruh, harus melalui persetujuan birokrasi dan disetujui pihak berwenang untuk monitoring. Dengan begitu, penindakan kasus seringkali terlambat bahkan sering terlupakan.
Kalau melihat upah harian riil di berbagai provinsi, cukup mengkhawatirkan, seperti di Sulawesi Tengah, upah harian hanya Rp60.000, Kalimantan Tengah Rp59.400, Sumatera Utara Rp78.600 dan Papua Rp61.295. Nominal itu, tentu tak sebanding dengan tenaga yang mereka keluarkan dan tak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dengan upah minim itu, buruh di perkebunan sawit harus berhadapan pada keadaan topografi sulit, tak dilengkapi alat kerja layak, dan beban ditanggung tak manusiawi.
Selain itu, kata Herwin, dalam praktik perburuhan di perkebunan sawit, acap kali banyak diskriminasi terhadap kaum perempuan. Kebanyakan perempuan bekerja dengan status BHL. Mereka biasa bekerja di bidang perawatan, pemupukan, penyemportan insektisida, pembrondol, dan lain-lain. Karena banyak bersinggungan dengan pestisida, katanya, kesehatan reproduksi buruh perempuan makin terancam.
“Perempuan juga dengan sistematis dibatasi hari kerja menjadi 20 hari dalam sebulan. Ini untuk menyiasati aturan pemerintah yang mengharuskan perusahaan membayar pekerja yang bekerja 21 hari berturut-turut dengan upah minimum daerah dan mengangkat mereka jadi pekerja tetap.”
Mereka juga menemukan hampir di semua perkebunan sawit di Indonesia, para perempuan menjadi BHL dengan masa kerja lebih dua tahun, bahkan ada sampai belasan tahun.
Menurut Herwin, buruh sawit perempuan memiliki peran ganda. Mereka adalah pekerja paling rentan terkena dampak buruk kesehatan karena perlengkapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) sebagian besar tak laik. Bahkan, di beberapa perkebunan, buruh perempuan harus membayar untuk mendapatkan perlengkapan K3 yang seharusnya jadi kewajiban perusahaan.
“Celakanya, pekerja BHL biasa tidak mendapatkan jaminan sosial berupa BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, saat mereka sakit, mereka harus menggunakan dana sendiri atau utang.”
Kondisi ini, katanya, menyebabkan, pekerja perempuan rentan jatuh ke kubangan utang yang membuat mereka tak bisa lepas dari perkebunan. “Ini modus perbudakan baru di perkebunan sawit,” katanya.
Temuan soal banyak buruh perempuan berstatus BHL di berbagai perusahaan perkebunan sawit juga dikatakan Hotler Zidane Parsaroan dari Sawit Watch.
Data mereka menunjukkan, banyak perusahaan perkebunan sawit besar, mempekerjakan BHL. Dia contohkan, PT Agro Kati Lama, Sumatera Selatan, anak perusahaan Sipef berbasis di Belgia.
Di perusahaan itu, katanya, ada 1.200 buruh perempuan berstatus BHL. “Hal sama di perkebunan sawit anak perusahaan Sipef lain di Bengkulu, yakni PT Agro Muko. Di Kalimantan Utara, hubungan kerja precariat di PT Sentosa Sukses Utama, anak perusahaan Wings Group.”
Kondisi ini, kata Zidane, menunjukkan, perusahaan-perusahaan besar yang mengklaim mereka tak memperlakukan buruh eksplotatif, tak sepenuhnya benar. Jauh panggang dari api.
“Buktinya cukup jelas, misal, sistem kerja buruh berbasis pencapaian kerja hingga mereka tak ada jaminan kesehatan dan sosial. Korporasi-korporasi ini mengklaim diri mereka praktik perburuhan dengan baik, itu tak benar. Banyak kelemahan.”
Syabitul Rahman, Ketua Federasi Pekerja Sawit Kalimantan Selatan mengatakan, selama ini banyak perusahaan perkebunan sawit memberangus serikat pekerja.
“Kami mencatat setidaknya lebih 10 kasus pemberangusan serikat pekerja oleh perusahaan secara terang-terangan pada 2018. Perkara terbaru, pemecatan perusahaan sawit di Sumatera Selatan kepada anggota serikat pekerja GSBI (Gabungan Buruh Serikat Indonesia-red), karena dianggap turut memprovokasi dengan mengirimkan surat kepada Presiden pada November lalu,” katanya.
Selain itu, pengawasan dan penindakan hukum lemah juga terlihat dari kasus yang dialami buruh-buruh pekerja perkebunan sawit di Rajawali Corpora, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Pada Februari 2018, ratusan buruh sawit dari Federasi Serikat Pekerja perkebunan sawit Rajawali berdemonstrasi menuntut upah yang belum dibayar perusahaan. Mereka juga tuntut pembayaran penunggakan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
“Setelah itu, ada kesepakatan antara perusahaan dan serikat pekerja, namun perusahaan tak memenuhi kesepakatan. Tak ada tindakan tegas dari pemerintah. Tentu, banyak sekali permasalahan sampai sekarang di dalam perkebunan sawit,” katanya.
Edy Sutrisno, dari Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia mengatakan, salah satu entitas yang langsung berhubungan dengan industri sawit adalah finansial. Entitas perbankan jadi tumpuan dalam industri sawit karena melalui skema pinjaman modal, perusahaan sawit bisa menjalankan aktivitas operasional mereka.
“Lembaga-lembaga finansial memainkan peran penting dalam tata kelola industri sawit. Dalam temuan kami, peran lembaga finansial saat ini justru tak sejalan dengan kebijakan good governance and social responsibility. Lembaga finansial banyak yang memberikan kemudahan pinjaman modal kepada perusahaan-perusahaan yang tak memenuhi hak-hak buruh dengan pantas,” katanya.
Padahal, lembaga keuangan sebagai investor dapat mengintervensi kebijakan perkebunan sawit melalui skema-skema peminjaman modal dan pembagian hasil, yang tak langsung bisa mepengaruhi perbaikan buruh di level perusahaan.
“Kami mendorong lembaga finansial patuh kepada prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan tanggung jawa sosial dengan cara memberikan pinjaman hanya kepada perusahaan yang memenuhi hak-hak pekerja. Juga mendorong perusahaan perkebunan sawit mengadopsi skema-skema pengupahan yang berpihak buruh sawit.”
Perlu regulasi khusus
Herwin mengatakan, menjawab berbagai persoalan terkait praktik perburuhan perkebunan sawit, perlu ada regulasi khusus. Ketiadaan aturan khusus menangani buruh di perkebunan sawit, katanya, jadi masalah pelik.
Di Indonesia, ada beberapa regulasi mengatur ketenagakerjaan, antara lain, UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP78 tentang skema pengupahan. Sayangnya, kata Herwin, aturan-aturan itu belum menjawab persoalan pelik buruh perkebunan sawit.
“Dalam konteks perkebunan sawit, UU ini gagal memberikan perlindungan pada buruh sawit karena UU Ketenagakerjaan dibuat berdasarkan kondisi pekerja sektor manufaktur. Sifat pekerjaan perkebunan sawit berbeda jauh dari pekerjaan sektor manufaktur. “Ini bisa dilihat dari kebutuhan kalori yang jauh lebih tinggi.”
Selain itu, katanya, penerapan beban kerja di perkebunan sawit juga berbeda. Ia lebih menekankan tiga aspek, yakni, target tonase, luas lahan, dan jam kerja. Pekerja sektor perkebunan memiliki beban kerja jauh lebih berat daripada manufaktur. Pekerja perkebunan, katanya, secara sosiologis terisolasi dari dunia luar.
“Mereka hidup dalam pemukiman berbentuk kompleks perumahan yang disediakan perusahaan dan banyak yang tak laik. Masalah-masalah dasar seperti sanitasi, air bersih, saluran air, ruang-ruang bermain aman, sampai fasilitas kesehatan, tidak disediakan dengan laik oleh perusahaan.”
Buruh kebun sawit, kata Herwin, juga harus mengeluarkan dana ekstra untuk mengakses pendidikan, fasilitas kesehatan untuk penyakit berat, dan akses hiburan. “Lokasi mereka jauh di dalam perkebunan, diperparah dengan infrastruktur jalan sulit untuk ditembus.”
Keterangan foto utama: Sawit disebut-sebut sebagai sektor andalan pendapatan negara. Sayangnya, tak sebanding dengan nasib pekerja sektor ini masih begitu memprihatinkan. Sebenarnya, siapa yang disejahterakan sawit? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia