Mongabay.co.id

Hutan Menipis, Tumbuhan Obat-obatan pun Makin Sulit

Tumbuhan cakar ayam, sebagai obat paru-paru. Tumbuhn ini hidup di hutan dan daerah tebing. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Hutan terus tergerus berimbas kepada makin langka dan sulit mencari tumbuhan-tumbuhan buat obat-obatan. Guna membahas masalah ini, para peramu, penggiat penyehat alternatif beberapa hari lalu berkumpul di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, membicarakan kondisi terkini kesulitan mereka menemukan berbagai tumbuhan obat-obatan.

Dalam pertemuan itu hadir dari Dinas Kesehatan Sumut, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Kota Medan, Bitra Indonesia dan seratusan peramu obat-obatan tradisional se-Sumut.

Muhammad Yusuf Harahap, Ketua Perkumpulan Aktivis Penyehat Alternatif Sumut 2019, mengatakan, Indonesia begitu kaya. Hutan memiliki sumberdaya banyak, antara lain tumbuhan obat bisa mudah di sekitar hutan dan pekarangan rumah.

Dia tak bisa bayangkan kala hutan sudah tak lagi ada, tanaman obat bisa sirna. Kondisi ini, katanya, jangan sampai terjadi hingga harus ada upaya penyelamatan.

“Seiring waktu berjalan, suatu peradaban turun temurun tumbuhan obat, akan hilang dan takkan bisa ditemukan lagi jika hutan hancur,” katanya.

 

 

Dia bilang, ada tumbuhan obat sudah terkenal sejak dalu dan harus terjaga, seperti rumput balsem. Ia bermanfaat menghilangkan capek dan membuang angin. Ada juga tapak liman, untuk mengobati sakit perut maupun bisul. Juga cakar ayam bisa jadi ramuan obat penyakit paru-paru dan sejenisnya.

“Tumbuhan ini harus terus dijaga. Kearifan lokal peninggalan leluhur ini akan musnah jika tak diselamatkan karena ulah tangan manusia sendiri. Mari kita jaga kekayaan alam Indonesia yang begitu berlimpah ini dari ancaman kepunahan, ” kata Yusuf.

Sri Agustina Sembiring, anggota Sentra Penerapan Pengembangan Pengobatan Tradisional (SP3T), Dinas Kesehatan Sumut, menjelaskan, untuk melindungi masyarakat yang mengkonsumsi tumbuhan obat-obat tradisional, mereka pengawasan berkala dan pembuatan regulasi.

Dia nilai itu penting selain melindungi konsumen atau masyarakat, juga pengawasan agar tak malpraktik. Selain itu, katanya, mempermudah pembinaan dan pengawasan penyehat tradisional itu sendiri.

 

Rumput balsen. Foto: Ayat S karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, masalah pengetahuan petugas tentang pendalaman regulasi masih kurang. Penyehat tradisional juga kurang mau bekerja sama dengan petugas yang menganjurkan membuat izin. Mereka banyak menolak.

“Padahal maksud kita ini buat perlindungan mereka, dan melindungi obat-obatan yang diramu agar tumbuhan tetap ada. Penguatan pemahaman soal perlindungan konsumen juga penting loh, ” katanya.

Sri mengatakan, di Sumut, berdasarkan data mereka setidaknya ada 2.000 penyehat tradisional membuka praktik dan gunakan tumbuhan jadi obat-obatan.

Terbanyak di Kota Medan, hampir 800 penyehat tradisional, di Deli Serdang ada 600, dan Karo 200 penyehat tradisional. Sejauh ini, belum ada yang izin dicabut.

“Pengawasan terhadap penyehat tradisional sangat penting. Kami pernah temukan ada penyehat tradisional gunakan psikotropika. Itu dilarang dan pidana. Maka, kita atur izin mulai rekomendasi dari Puskesmas, lurah dan rujuk ke Dinas Kesehatan untuk rekomendasi ke pelayanan satu pintu, lalu keluarlah surat terdaftar penyehat tradisional, ” katanya.

Aminah Fuadi Siregar, dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Kota Medan mengatakan, penggunaan tumbuhan hidup di alam untuk obat-obatan tradisional sebenarnya perlu dilestarikan.

 

Bunga ini juga bahan obat-obatan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

BPOM Medan, bahkan sudah memberikan berbagai penyuluhan dan pemahaman kepada penyehat tradisional, untuk mendaftarkan temuan-temuan mereka tentang berbagai jenis obatan yang diracik dari tumbuhan. Namun, katanya, harus melalui berbagai prosedur, salah satu, pemeriksaan bahan baku tumbuhan.

Kalau semua syarat bisa dilengkapi, BPOM akan membantu memasarkan dan memasang label resmi dari BPOM bahwa obat itu sudah layak konsumsi dan bebas berbagai bahan berbahaya.

“BPOM lebih ke industri, ada industri kecil dan menengah.”

Data BPOM, dalam 2019, baru dua yang memiliki sertifikat cara produksi obat tradional. Sebelumnya, ada delapan sudah punya sertifikat. “Banyak yang mengajukan tetapi berhenti di tengah jalan karena menolak hasil uji laboratorium BPOM.”

Dia mencontohkan, minyak karo dan minyak serai yang memiliki bahan dasar dari tumbuhan. Mikroba, harus diperiksa, supaya aman konsumsi. Temu lawak juga begitu, kandungan harus lulus pemeriksaan laboratorium BPOM.

“Kita itu bukan ingin mempersulit. Peninggalan leluhur tentang khasiat obat-obatan secara turun temurun harus dihormati, namun makin maju, perlu ada regulasi dan pengawasan.”

Untuk melindungi dan memberikan pemahaman penyehat tradisional, katanya, mereka perlu pendampingan. Sebuah lembaga bernama Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra) Indonesia, melakukan itu sejak 1997. Saat ini, ada 32 kelompok pengobat tradisional terdapat di sembilan kabupaten kota di Sumatera Utara, dan tinggal di sekitar kawasan hutan baik itu penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) maupun hutan lindung dan hutan produksi.

Iswan Kaputra, Wakil Direktur Bitra Indonesia mengatakan, pendampingan ini perlu karena mereka ahli meracik obat-obatan tradisional peninggalan leluhur, masih sedikit memahami aturan perundang-undangan saat ini.

Selain itu, ada malpraktik menyebabkan kendala bagi penyehat tradisional, berdampak kepercayaan masyarakat berkurang hingga sanksi administrasi karena tak tahu aturan.

“Jadi kita pendampingan, pemahaman terhadap para pelaku penyehat tradisional ini, membentuk kelompok kecil di tiap wilayah, setiap saat bisa saling koordinasi tentang semua hal. Kearifan lokal peninggalan leluhur ini harus terus kita jaga.”

Penyehat tradisional, katanya, juga difasilitasi mini laboratorium, untuk meracik semua tumbuhan jadi obat-obatan.

Tumbuhan langka juga dikembangbiakkan di sebuah tempat mereka praktik. Dia akui, saat ini untuk mendapatkan tanaman berkhasiat obat-obatan yang tumbuh alami, sangat sulit.

“Saat ini, kami lagi melakukan konsep pembangunan sekolah setingkat Diploma III, hingga bagi generasi penerus yang memiliki kemampuan meracik tumbuhan jadi obat-obatan tradisional tak terkendala regulasi.”

Iswan khawatir, hutan tempat tumbuhan obat ini hidup rusak. Kondisi ini jadi masalah sendiri bagi para penyehat tradisional, karena bahan baku makin sedikit.

Mereka pun bikin konsep kebun tanaman campuran. Saat ini, katanya, bahan utama obat kanker di hutan sangat sulit sekali. Masyarakat yang datang berobat banyak menderita penyakit mengerikan itu, namun bahan baku sudah langka. “Itu semua karena hutan hancur. Kampanye perlindungan hutan terus kami lakukan bersama masyarakat.”

 

Keterangan foto utama: Tumbuhan cakar ayam, sebagai obat paru-paru. Tumbuhn ini hidup di hutan dan daerah tebing. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Berbagai tumbuhan ini bisa diolah menjadi obat hingga harus terjaga. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia
Exit mobile version