Mongabay.co.id

Desa Tae yang Bergiat Setelah Terima Penetapan Hutan Adat

 

Papan nama Desa Tae  terlihat mencolok di tepi jalan. Tampak Bukit Tiong Kandang di kejauhan menjadi latar belakang megah, hijau dan rimbun. Tak sekedar desa biasa, warga Desa Tae masih menjaga tatanan hidup yang mengacu pada hukum dan aturan adat. Warga umumnya bersuku Dayak.

Salah satunya adalah mengenai pengelolaan tembawang. Tembawang adalah sebutan untuk lahan kelola komunal milik masyarakat. Wilayah kelola tersebut digunakan untuk berbagai macam kebutuhan. Kawasan itu ditanami pohon buah, tanaman obat-obatan, tanaman bumbu bahkan tanaman pangan.

Aturan pokoknya adalah tidak boleh melakukan penebangan. Jika penebangan dilakukan, harus melalui aturan adat. Dengan kata lain, tembawang itu keramat, karena sumber hidup seluruh warga.

Baca juga: Tembawang Tampun Juah, Cerita Perjuangan Warga Peroleh Pengakuan Hutan Adat

Berburu dan mencari ikan tidak boleh menggunakan racun dan berlebihan. Inti dari aturan tersebut adalah bagaimana suku Dayak Tae menjaga keseimbangan alam di kawasan tembawang. Tembawang merupakan supermaket bagi warga. Tempat mengambil kebutuhan sehari-hari, secukupnya.

“Barangsiapa menjual tembawang, dia akan dikenai hukum adat. Berat ringannya hukum adat tergantung sidang adat,” ungkap Melkianus Midi (49), Kepala Desa Tae, saat dijumpai awal April lalu.

Desa Tae terdiri dari empat dusun yang meliputi delapan kampung, yakni Kampung Bangkan, Mak Ijing, Semangkar, Maet, Tae, Teradak, Peragong dan Padakng. Luas wilayah desa adalah 2.538,55 hektar dengan jumlah penduduk 1.616 jiwa. Desa Tae berada di Kecamatan Batang Tarang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

Dahulu tutur Midi, warga bermukim di dalam pedalaman tembawang. Itulah mengapa banyak tanaman berumur panjang, pohon buah utamanya, yang dapat dijumpai. Pohon ini yang diwariskan kepada para keturunan kelak.

Waktu pemerintah Orde Baru, warga di pedalaman diperintahkan untuk bergabung dengan desa yang dekat dengan pusat kota. Rumah-rumah di dalam tembawang pun ditinggalkan. Namun, ciri-ciri pohon buah pun masih tampak.

“Sejak dulu larangan untuk menebang di kawasan tembawang sudah ditaati warga. Kalau musim buah, bahkan sampai tidak termakan,” jelas Karianus (60) salah seorang pemuka adat. Saat musim buah, buah manggis, dan jambu bol terlihat terserak di jalan setapak dalam tembawang.

Siang itu dia mengajak saya dan beberapa tamu mengunjungi tembawang.

Karianus bilang warga boleh menjual beberapa hasil hutan bukan kayu dari tembawang, namun bagian terbesar digunakan untuk kebutuhan warga sehari-hari. Di tembawang, semua tersedia. Sekarang ini menjadi potensi desa yang dapat dioptimalkan.

Karianus mengajak kami berkunjung ke sebuah gubuk tak berpenghuni. Rumah itu sudah puluhan tahun ditinggalkan penghuninya. Berdasarkan taksirannya, umur rumah itu hampir mencapai seratus tahun.

“Ini rumah tetua yang jadi pendiri Desa Tae. Dulu jarak satu rumah ke rumah lainnya cukup jauh.”

Di kawasan Tiong Kandang, terdapat banyak tembawang. Masing-masing kampung memiliki beberapa tembawang. Ada yang dikelola secara komunal, ada pula yang dikelola garis keturunan warga sekitar. Kawasan itu di keramatkan, tidak boleh pindah kepemilikan. Hingga kini, aturan adat tersebut masih ditaati warga.

 

Papan nama Desa Tae. Lokasinya hanya berjarak satu kilometer dari pusat kota Kecamatan Batang Tarang. Dahulu mereka tinggal di tembawang sebelum diminta pindah ke lokasi sekarang. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Perjalanan menyusuri punggung luar tembawang berakhir di belakang rumah warga. Rombongan mengaso di rumah Sembolon, salah satu warga. Menikmati kelapa hijau segar yang baru dipetik di pekarangan rumahnya.

Sebuah pancuran mengalirkan air tak putus dari atas bukit. Sembolon juga memelihara ikan lele dan ikan mas di pekarangan rumahnya. Hal yang juga dilakukan beberapa warga desa. Ikan dijual ke para pedagang warung makanan di Batang Tarang.

“Pada dasarnya hidup kami tercukupi, sesuai dengan standar di desa,” ungkap Sembolon. Dia bersyukur tutupan hutan tembawang masih terjaga.

 

Ganjur Bayar Niat: Merayakan Hutan Adat

Saat itu warga di Desa Tae sedang sibuk. Midi pun terlihat di kerumunan warga. Pria berwajah ramah, bertubuh gempal ini sibuk mengomando.

“Kami tengah bergotong royong untuk acara Mubes (musyawarah besar,red),” jelasnya.

Musyawarah Besar Masyarakat Adat Komunitas Tiong Kandang merupakan salah satu rangkaian acara ganjur yang dihelat Maret-April 2019. Ganjur serupa upacara bayar niat. Kali ini fokusnya syukuran, atas dikantonginya sertifikat hutan adat dari pemerintah.

Hutan Adat Ketemenggungan Tae, sendiri ditetapkan lewat SK 5770/MENLHK-PSKL/PKTHA-PSL-1/9/2018, tanggal 7 September 2018. Luasnya 2.189 hektar. Terluas dari semua hutan adat adat yang ditetapkan oleh pemerintah pada waktu itu.

Saat itu, Midi yang hadir mewakili warga Tae untuk hadir di Istana Negara, Jakarta, tak lama setelah penetapan tersebut.

Midi pun lalu berkisah tentang perjuangan mereka. Dimulai sejak tahun 2011, saat warga mulai melakukan pemetaan partisipatif wilayah difasilitasi oleh sebuah LSM, Perkumpulan Pancur Kasih.

Baca juga: Menagih Janji Perlindungan Hutan Adat

“Seluruh warga ikut dalam pemetaan. Hanya orang lanjut usia dan orang sakit yang ada di kampung,” ungkapnya.  Pada tahun 2013, peta partisipatif warga tersebut disahkan oleh Bupati Sanggau.

Saat warga melakukan pemetaan partisipatif, pernah sebuah perusahaan melakukan survei di desa tersebut. Kabarnya perusahaan itu telah mengantongi Izin Usaha Perkebunan dari pemerintah. Namun, masyarakat menolak dengan tegas. “Kami semua sepakat menolak.”

 

Melkianus Midi (Kanan) menerima SK penetapan Hutan Adat di Istana Negara Jakarta, 20 September 2018. Sumber foto: Perkumpulan Pancur Kasih (via Samdhana)

 

Di tingkat nasional lalu muncul peluang dari Peraturan Menteri LHK Nomor 32/2015 tentang Hutan Hak. Payung hukum itu memberikan perlindungan bagi masyarakat adat untuk dapat mengupayakan hutan adat mereka.

Aturan ini menyatakan bahwa hutan adat tak lagi bagian dari hutan negara, dan dapat dikelola masyarakat.

Sejumlah persyaratan pun diberikan untuk menjaga agar penggunaannya tidak disalahgunakan. Syaratnya, desa yang memiliki hutan adat harus ditetapkan secara sah oleh Menteri LHK. Setelah pengesahan dari pejabat di kabupaten, desa dapat mengajukan permohonan kepada Menteri LHK untuk penetapan kawasan hutan. Status hutan diubah menjadi hutan adat.

Mubes mengangkat tema “Tiong Kandang Munguk Nkanakn Keramat Puaka, Ngai Ontokng Tapo Tuah”. Tema ini diambil dari peribahasa adat Ketemenggungan Tae.

Artinya, Tiong Kandang adalah tempat suci atau rumah ritual yang dijaga, dipelihara dan dilindungi, serta membawa keberuntungan memberi kemakmuran (kebahagian dan rezeki) bagi umat manusia.

Dengan disahkannya hutan adat ini, warga Tae berharap mereka dapat meningkatkan perekonomiannya.

“Dana desa, secara bertahap kita gunakan untuk Jalan Usaha Tani. Termasuk ke arah tembawang,” jelas Midi. Rencananya nanti jalan beton dapat dilalui oleh satu buah kendaraan roda empat.

Desa juga berencana untuk memanfaatkan potensi mata air yang bersumber dari Bukit Tiong Kandang. Potensi ini dapat dimanfaatkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk dikembangkan untuk industri air kemasan. Midi yakin, prospek ni akan bakal cerah, karena sumber mata air mereka terjaga kemurniannya.

“Kelak, kami ingin buat paket ekowisata. Salah satu yang ditawarkan, menikmati buah langsung di kawasan [tembawang],” cetus Midi lagi.

 

Video: Menjaga Penghidupan di Hutan Adat Tae

Exit mobile version