Mongabay.co.id

Banjir di Hulu Kalimantan Tengah, Pertanda Apa?

Dermaga Laman Kinipan terendam luapan sungai hingga hampir mencapai atap, Minggu 28 April 2019. Foto: dokumen warga

 

 

 

 

 

Hujan deras di penghujung April 2019, menyebabkan puluhan desa di Kalimantan Tengah, terendam banjir. Kebanyakan desa itu, secara geografis berada di hulu.

Di Kabupaten Kapuas, Kalteng, banjir melanda tiga desa di tiga kecamatan, yaitu, Desa Supang (Kecamatan Kapuas Hulu), Desa Jakatan Masaha (Kecamatan Mandau Talawang), dan Desa Pujon (Kecamatan Kapuas Tengah). Di Pulang Pisau, banjir merendam delapan desa di dua kecamatan berbeda. Di Kecamatan Banama Tingang, paling banyak, ada tujuh desa, yakni, Tangkahen, Pandawei, Bawan, Pahawan, Kasali Baru, Tambak, dan Hurung. Satu desa lain terkena banjir, adalah Gandang Barat, Kecamatan Maliku.

Di Murung Raya, kabupaten secara geografis paling atas pada peta Kalteng itu, satu desa kebanjiran, yakni, Juking Pajang, Kecamatan Murung. Di Gunung Mas, di wilayah utara Kota Palangkaraya ini, ada empat kecamatan terendam air sungai, yaitu Kecamatan Sepang, Tewah, Kurun, dan Mihing Raya.

Alpius Patanan, Kepala Sub Bidang Kedaruratan, Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Kalteng, melalui pesan WhatsApp, Selasa (30/4/19) mengatakan, desa paling banyak alami banjir di Kabupaten Lamandau. Di kabupaten pemekaran dari Kotawaringin Barat pada 2002 ini, terdapat 19 desa pada lima kecamatan terendam.

Di Kecamatan Menthobi Raya (Desa Lubuk Hijau), Kecamatan Bulik Timur (Desa Pedongatan dan Nanga Palikodan), Kecamatan Belantikan Raya (Desa Bintang Mengalih, Batu Slipi, Bayat, Sei Buluh dan Nanga Belantikan). Di Kecamatan Lamandau (Kelurahan Tapin Bini, Desa Samu Jaya, Penopa, Karang Taba, Kawa, Sei Tuat, Tanjung Beringin, dan Sekoban). Sedangkan, di Kecamatan Bulik, banjir sempat melanda Desa Sungai Mentawa, Sungai Bunut dan Kelurahan Bulik.

Informasi banjir dari BPBPK Kalteng dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lamandau. Saya juga menerima laporan langsung dari Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau. Di desa ini, air tak sampai menggenangi pemukiman meskipun di tepi sungai, sebagian Laman Kinipan di dataran agak tinggi. Namun, luapan air Sungai Batang Kawa, setelah hujan deras Minggu (28/4/19) menyebabkan bangunan dermaga di desa itu, nyaris terbenam hingga ke atap.

Banjir seperti ini baru kali pertama terjadi di desa yang sebagian besar warga masih berjuang menolak pembukaan sawit PT Sawit Mandiri Lestari (SML) di hutan adat mereka.

“Ini dampak (perubahan) alam. Tak pernah aku mengalami di Kinipan sampai setinggi itu,” kata Willem Hengki, Kepala Desa Kinipan, melalui sambungan telepon, Selasa (30/4/19).

Banjir di beberapa desa di Kecamatan Lamandau, cukup mengganggu aktivitas masyarakat. Jalan Trans Kalimantan yang melintasi wilayah itu sempat putus Minggu-Senin (28-20/4/19). Dua titik banjir di Jalan Trans Kalimantan, Desa Karang Taba, setinggi 60 sentimeter dan 80 sentimeter.

Di Desa Tanjung Beringin, titik banjir sepanjang sekitar setengah kilometer setinggi 50 sentimeter. Di Sungai Tuat, banjir ketinggian lebih satu meter, melewati dada orang dewasa. Ketinggian air menggenangi jalan di Sungai Tuat, terbentang sekitar 400 meter.

Dampak banjir, antrean kendaraan dari arah Kalimantan Barat maupun Nanga Bulik, ibukota Lamandau, sempat terjadi sampai 500 meter Minggu sore. Kendaraan tak bisa melintas. Hanya sepeda motor bisa melintas dengan bantuan rakit. Di Desa Sungai Tuat, rumah warga ada yang terbenam hampir mencapai atap.

Hengki mengatakan, Senin (29/4/19) kendaraan roda empat mulai berani melintasi Jalan Trans Kalimantan, yang tergenang banjir. “Cuma (mesin kendaraan) dimatikan, ditutup knalpot, didorong dulu, sampai ke seberang (banjir), baru dihidupkan lagi,” katanya.

 

Sungai Batang Kawa di Desa Kinipan yang masih di kelilingi hutan, Sabtu (19/1/19). Kala hujan akhir April lalu, sungai meluap, walau tak membanjiri kampung Kinipan karena berada di dataran cukup tinggi, tetapi luapan air setinggi itu baru kali ini terjadi. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Apa penyebabnya?

Jalan Trans Kalimantan, di wilayah itu sudah dua kali alami banjir. Pertama kali banjir sampai jalur putus pada 30 Agustus 2017. Bentang alam di sekitar lokasi sudah berbeda dibanding satu dekade lalu. Kini, banyak hutan sekitar jadi perkebunan sawit skala besar. Ada beberapa perusahaan di sana.

Eldy, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Lamandau, belum bisa memastikan perubahan lansekap itu jadi penyebab banjir hingga Jalan Trans Kalimantan, terputus. “Saya masih meneliti. Kita pelajari lebih dalam,” katanya melalui pesan WhatsApp, Selasa (30/4/19).

Dia bilang, banjir karena hujan besar di Lamandau ini hal biasa. Ia terjadi karena pengaruh cuaca ekstrem global. “Selama saya tinggal di Lamandau, ini terjadi lima, enam dan tujuh tahun sekali pasti banjir besar.Ccurah hujan tinggi dan terus-menerus beberapa hari.”

Banjir ini tak membuat warga mengungsi. Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lamandau, Tiryan Kuderon, warga masih beraktivitas seperti biasa. “Belum ada yang mengungsi atau mau diungsikan untuk rumah yang terendam. Mereka memilih ke tempat keluarga,” katanya Selasa (30/4/19).

Banjir di wilayah hulu itu segera surut kalau hujan berhenti. Meski begitu, tinggi air itu akan berdampak ke hilir. Kota Nanga Bulik, mulai merasakan pada Selasa (30/4/19). Tinggi muka air hari itu telah mencapai 690 cm. Pada Rabu (1/5/19), menurut warga Nanga Bulik, jalur dari Nanga Bulik ke Desa Bunut dan Mentawa, sudah tak dapat dilalui. “Sungai Lamandau ke Beruta juga banjir,” kata Mursalun, warga Nanga Bulik, Rabu (1/5/19).

Slamet Riyadi, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Stasiun Meteorologi Iskandar, Pangkalan Bun, menjelaskan, dalam 10 hari terakhir, intensitas curah hujan di Lamandau, Pangkalan Bun dan sekitar, masuk kategori menengah. Rata-rata curah hujan turun antara 20mm–30 mm perhari. “Artinya dalam 10 hari lebih 50-150 mm, kategori menengah.”

 

Alih fungsi hutan

Dimas Novian Hartono, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, melihat banjir di wilayah hulu karena banyak alih fungsi hutan untuk industri ekstraktif, baik pertambangan maupun perkebunan.

“Ini yang menyebabkan daya dukung lingkungan tidak bisa memenuhi standar lagi. Tidak bisa lagi menampung curah hujan tinggi, dan banyak wilayah terdegradasi. Deforestasi itulah yang menyebabkan degradasi,” katanya melalui sambungan telepon

Wilayah hulu, katanya, sebenarnya bukan untuk industri ekstraktif. “Karena izin kerap keluar atas nama investasi, ya, akhirnya hutan dikorbankan, termasuk masyarakat dikorbankan,” katanya.

Dimas menolak kalau siklus alam jadi alasan banjir. “Memang intensitas hujan tinggi itu siklus, tetapi banjir besar itu bukan siklus. Memang ulah manusia menyebabkan banjir besar. Kenapa? Karena tak ada lagi wilayah tampungan air.”

Dia contohkan yang terjadi di Kinipan, tak pernah banjir, kini kebanjiran. “Kinipan berantakan, sudah rusak. Terjadi banjir. Kalau pemerintah menganggap itu wajar, berarti ada masalah dengan pemerintah.”

Pemerintah, kata Dimas, harus berani mengevaluasi izin-izin alih fungsi lahan. Dari sanalah, masalah pengelolaan sumber daya alam di Kalteng, berawal. “Sebanyak 80% wilayah Kalteng sudah dikuasai industri ekstraktif. Baik perkebunan, pertambangan, dan industri kehutanan. Pastinya angka sudah mencapai 12 juta hektar. Luas Kalteng kan 15,4 juta hektar,” katanya.

Menurut dia, secara tradisi, masyarakat Dayak di hulu Kalteng, punya metode sendiri mengelola lingkungan. Sayangnya, peran masyarakat itu kini terabaikan dan berubah karena izin-izin merusak alam. Akhirnya, masyarakat pula yang harus menanggung derita. “Bencana bukan sebatas angka statistik. Di situ ada masyarakat yang jadi korban. Korban ini bukan berarti nyawa, tapi ekonomi dan lingkungan atau alam hilang.”

Senada disampaikan Safrudin, Direktur Save Our Borneo (SOB). Menurut dia, kebijakan pengelolaan kekayaan alam di Kalimantan, masih tak jalan dengan benar. “Kebijakan pengelolaan sumber daya alam selama ini tidak mengindahkan kaidah dan prinsip-prinsip lingkungan, HAM dan keadilan,” katanya.

Kekayaan alam melimpah, katanya, hanya dinikmati segelintir orang. Sedang dampak negatif, bisa dirasakan sebagian besar rakyat Kalimantan.

Dia bilang, kalau konversi hutan massif tak setop, bencana ekologis akan terus-menerus terjadi di daerah yang disebut-sebut sebagai calon kuat ibukota negara, pengganti Jakarta ini.

Dia menyatakan, masyarakat lokal terancam krisis pangan karena alat produksi utama masyarakat, berupa lahan, tanah dan hutan berkurang.

“Tentu, pertama menanggung dampak itu semua adalah warga lokal. Misal, gagal panen karena tanaman rusak, kesehatan menurun, ketidakpastian iklim dan musim tanam adalah dampak susulan yang akan menimpa komunitas lokal,” kata Safrudin.

 

Keterangan foto utama: Dermaga Laman Kinipan terendam luapan sungai hingga hampir mencapai atap, Minggu 28 April 2019. Foto: dokumen warga

 

Spanduk menuntut pengembalian hutan adat Kinipan dan penolakan terhadap investasi sawit. Hutan itu sudah bersih, bersiap menjadi kebun sawit…Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version