Mongabay.co.id

Menyoal Pelepasan Kawasan Hutan buat Perusahaan Sawit di Buol

Kebun sawit perusahaan di Kabupaten Buol. Warga dan Bupati Buol menolak, pelepasan kawasan hutan untuk kebun sawit PT HIP. Bersadarkan KLHS, daya dukung dan tampung lingkungan Buol, tak bisa terbebani izin skala besar seperti kebun sawit. Warga dan Pemerintah Buol juga khawatir, kebun sawit bakal mengancam pasokan air dan memicu bencana. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Duapuluhlima Januari 2018. Hari itu, lebih 300-an warga terdiri dari petani, nelayan, pedagang, mahasiswa termasuk kepala desa menggelar aksi penolakan terhadap PT. Hardaya Inti Plantation (HIP) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Pada 18 September 2014, juga aksi dan tuntutan serupa sekitar 2.000-an orang.

Masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Buol Bersatu (Akbar) mendesak Pemerintah Kabupaten Buol, menolak dan tak melepaskan 10.000 hektar kawasan hutan untuk HIP. Massa mendorong wakil rakyat secepatnya membuat keputusan yang tak mengecewakan rakyat Buol.

Baca juga: Izin Kebun Sawit di Buol Bermasalah, Mengapa Pelepasan Kawasan Hutan Tetap Keluar?

Ahmad AL Idrus, pegiat Aliansi Rakyat Buol Bersatu kepada Mongabay, mengatakan, aksi itu murni menolak perampasan tanah rakyat oleh perusahaan. HIP melalui PT. Cipta Cakra Murdaya (CCM) banyak memiliki lahan sawit di Buol.

“Kami fokus ini tanah Buol seharusnya bisa untuk rakyat. Apalagi fokus pemerintah soal tanah untuk rakyat. Ketika ini berpindah ke perusahaan akan bermasalah terhadap kelangsungan hidup orang Buol,” kata Ahmad.

Dia khawatir, kalau lahan-lahan jadi konsesi perusahaan, alokasi untuk rakyat makin menipis. “Kalau orang bertani mana lagi tanah? Ini dipakai perusahaan sawit. HIP melalui CCM kurang lebih 25 tahun beroperasi banyak tanah untuk sawit. Masih kurang banyakkah?”

Sengketa lahan banyak terjadi karena sawit. Kondisi ini, mendorong berbagai elemen masyarakat bersatu menolak dan mendesak pemerintah tak lagi memberikan lahan kepada HIP.

Baca juga: Dugaan Suap Izin Kebun Sawit, Bupati Buol Ditangkap KPK

Gayung bersambut. Pemerintah Buol, merespon dengan tak memberikan izin kepada perusahaan. Sejak lama, Bupati Buol, Amiruddin Rauf, juga menolak pelepasan kawasan hutan untuk sawit.

Pada November 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan Nomor 571 tentang pelepasan dan penetapan batas areal pelepasan kawasan hutan produksi konversi untuk sawit seluas 9.964 hektar.

 

Keterangan poto:
Sungai Buol, yang membelah perkebunan sawit di Kecamatan Momunu dan Tiloan. Foto: Litbang Bappeda Buol

 

 

***

Pada 26 Maret 2019, banjir merendam enam desa di Kecamatan Momunu, Kabupaten Buol, dengan ketinggian air mencapai satu meter. Keenam desa itu adalah Mangubi, Panimbul, Pinamula, Taluan, Potugu dan Desa Lamadong. Curah hujan tinggi selama dua hari berturut menyebabkan desa-desa itu terendam.

Banjir bukan kali pertama terjadi di kabupaten paling utara Sulawesi Tengah ini. Dari rilis laman BNPB tercatat sejak 2007-2019, Buol sudah tujuh kali mengalami bencana hidrolik berupa banjir dan longsor.

Dari laman Utarapost.co.id, Sekretaris Kecamatan Momunu, Mohsen AR Timumun mengatakan, banjir itu kiriman dari Kecamatan Tiloan.

“Korban 11 orang, dapat diselamatkan satu orang dilarikan ke Puskesmas Momuno 10 orang evakuasi ke Kantor Desa Potugu,”katanya dalam rilis.   Wilayah yang disebut Mohsen itu salah satu area perkebunan sawit HIP.

Tegakan di kawasan penyangga berkurang dan intensitas curah hujan tinggi diduga kuat jadi pemicu utama bencana ini.

Baca juga: Hartati Murdaya Bebas, Petani Buol Protes

Rudi, Bupati Buol biasa disapa mengatakan, pepohonan di kawasan penyangga menghilang, berdampak langsung bagi lingkungan. “Tak bisa dipungkiri, banjir setiap tahun melanda lebih 10 desa kita, itu juga akibat dari terbuka lahan ke sawit. Juga sedimentasi sungai. Degradasi dan deforestasi luar biasa,” katanya.

Kondisi tambah parah kala banjir melanda kebun dan lahan pertanian warga. “Kelapa mereka banyak mati karena lahan pertanian jadi banyak tergenang air. Ini juga dampak lingkungan yang kita rasakan sekarang,” katanya.

Akademisi Universitas Tadulako pada 2013, telah mengkaji daya dukung lingkungan Buol atas permintaan Pemerintah Buol. Kala itu, menghasilkan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang mengisyaratkan, berbahaya bila ada pembukaan lagi hutan di Buol karena sudah melewati daya dukung lingkungan. KLHS itu merekomendasikan tak lagi menambah perkebunan sawit di Buol.

Selain kajian akademisi, kajian dari Tim Kementerian Agraria dan Tata Ruang (KATR/BPN) guna penyusunan peraturan presiden terhadap kawasan juga merekomendasikan, Buol sudah kritis hingga tak boleh lagi ada kebun sawit skala besar.

“Ini kawasan penyangga. Daerah tangkapan air kami, di sana sungai-sungai yang mengairi beberapa irigasi besar. Bendungan Modo mengairi sawah sekitar 2000 hektar, Bendungan Winangun lebih 500 hektar. Irigasi Air Terang. Kalau terbuka, bendungan terancam kering. Area tangkapan hilang dan cadangan air tak ada.”

Alasan itulah, kata Rudi, hingga masyarakat dan Pemerintah Buol menolak kawasan hutan ke perusahaan sawit.

Aris Lapabira, Direktur Walhi Sulteng kepada Mongabay, mengatakan, krisis lingkungan jadi bagian analisa daya dukung dan daya tampung lingkungan.

“Daya dukung dan daya tampung lingkungan sebenarnya kepastian buat orang untuk tinggal dan berinvestasi. Itu sebenarnya rujukan daya dukung yang kemudian tentu ada KLHS,” katanya seraya bilang, sejak lama Walhi melihat ada masalah dengan lingkungan Buol. “Banjir menahun, bahkan terakhir beberapa hari lalu banjir.”

Banjir bandang dan bencana alam lain, katanya, membuktikan kondisi lingkungan Buol, buruk. Hulu yang mesti jadi penyangga, katanya, malah jadi kebun sawit, pembalakan liar. “Kemungkinan juga terkait desain tata ruang buruk.”

Dia bilang, upaya perbaikan lingkungan melalui desain ulang tata ruang yang baik oleh pemerintah daerah dengan jalan menghentikan proses pemberian izin baru perkebunan sawit dan mendorong KLHS layak mendapat apresiasi.

 

Kebun sawit tumbuh tepat di pinggiran sungai di Kabupaten Buol. Foto: Litbang Bappeda Buol

 

 

Tata batas curang?

Rudi bilang, kebijakan menolak kebun sawit mungkin tak populer tetapi penting melihat situasi dan kondisi alam Buol sudah tak lagi mendukung untuk pembukaan perkebunan skala luas. Penolakan juga senada dengan keinginan rakyat Buol.

“Penolakan saya ini baik saya tujukan langsung kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, gubernur, bahkan langsung kepada presiden. Saya menolak. Menyurat ini untuk menolak, termasuk ke Kementerian Agraria, saya sempat presentasi di depan Pak Menteri.”

KLHK malah menerbitkan SK bernomor 517 tahun 2018, soal Pelepasan Kawasan seluas 9.964 hektar, jadi duri bagi pemerintah dan masyarakat Buol untuk perubahan tata lingkungan.

Sebelumnya, 19 September 2018, Presiden Jokowi Widodo menandatangani Inpres Nomor 8 tahun/2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan serta peningkatan produktivitas perkebunan sawit. Kebijakan ini sejalan dengan Pemerintah Buol, yang berupaya menolak investasi di kebun sawit, walau mesti kecewa dengan surat pelepasan kawasan dari KLHK.

“Kecewa ya, kenapa bisa seperti itu. Kami sebagai pemilik daerah seolah tak dianggap, tak punya kewenangan, padahal ini wilayah kami,” kata Rudi, kesal.

Kekecewaan Bupati Buol, tak hanya kepada KLHK juga perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, Dinas Kehutanan Sulteng dan Direktorat Planologi melalui BPKH wilayah XVI Palu. Mereka, katanya, tak memihak daerah dan masyarakat.

“Ini BPKH dan Dirjen Planologi curang. Jadi mereka ini menyurat ke saya tentang tata batas, tiga kali mereka menyurat. Tiga kali juga saya tolak. Jawaban saya sudah tak memungkinkan membahas tata batas karena kondisi lingkungan kritis. Bagi saya, sudah cukup apa yang dimiliki HIP, masa’ mau tambah lagi.”

Tudingan curang itu muncul pada 4 Mei 2017, kala terbit berita acara tata batas areal persetujuan pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) untuk perkebunan HIP di Buol. Ia ditandatangani di Palu oleh Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVI Palu, Hariani Samal, yang bertindak sebagai Ketua Panitia Trayek Tata Batas.

Dalam salinan berita acara tata batas itu, turut menandatangani para pejabat Pemerintah Kabupaten Buol dan empat camat dengan wilayah masuk atau berbatasan langsung dengan kawasan. Para pejabat terdiri dari Kepala Bappeda Buol, Kepala Kantor Pertanahan Buol, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Buol.

Camat yang turut bertanda tangan yakni, Camat Tiloan, Bukal, Bokat dan Camat Bunobogu, yang semua anggota Panitia Trayek Tata Batas.

Keterlibatan pejabat dan camat Pemerintah Kabupaten Buol, inilah yang menurut Bupati bagian dari tindak kecurangan Dirjen Planologi dan BPKH XVI Palu.

“Tidak ada izin dari saya, karena saya tolak permintaan mereka, tanpa sepengetahuan saya. Diam-diam Dirjen Planologi membuat SK Panitia Tata Batas yang ditandatangani di Palu. Saya baru tahu itu Desember. Yang ikut bertanda tangan dan mengetahui itu Kadishut Sulteng, Nahardi. Atas dasar itulah mereka menyatakan keluar SK Menteri.”

“Ini kan kecurangan kalo kita lihat ini melanggar etika birokrasi. Saat ini, para pejabat dan camat itu terancam sanksi administrasi.” Rudi meradang.

Tidak terima, dia langsung protes ke presiden tetapi tak mendapat tanggapan baik dari presiden maupun Siti Nurbaya, Menteri LHK. “Bahkan, saya pernah melapor ke Menko Perekonomian yang diterima Deputi I.”

Hariani Samal, Kepala BPKH wilayah XVI Palu, tak mau dibilang curang dan melanggar etika birokrasi. Dia bilang, tudingan tak berdasar dan yang mereka lakukan sudah sesuai prosedur.

“Begini, mekanisme trayek tata batas areal yang dilepaskan itu awalnya berdasarkan persetujuan prinsip. Kalau untuk Buol itu kita sudah dapat perintah dan instruksi untuk trayek tata batas dari Dirjen Planologi. Suratnya, 2015,” kata Hariani kepada Mongabay.

 

Perkebunan sawit,PT Hardaya Inti Plantation di Kabupaten Buol. Foto: Litbang Bappeda Buol

 

Dalam surat Dirjen Planologi itu, katanya, mereka mendapat instruksi tata batas sekitar 10.000 hektar. “Trayeknya pun sudah disahkan Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan berdasarkan perintah Dirjen dan BPKH hanya mengacu pada trayek yang telah disahkan.”

Dia jelaskan, pada 2015, Dirjen Planologi menginstruksikan rapat panitia tata batas. Saat itu, Bupati Buol merupakan Ketua Tim Panitia Tata Batas, sesuai amanat peraturan menteri LHK.

BPKH lalu menyurati Pemerintah Buol, tiga kali. “Jawaban terakhir dari pemda menyebut, “belum dapat kami tindaklanjuti.”

Proses ini, tertunda hingga terbitlah Permen LHK No 93/2018 yang mengubah status ketua panitia tata batas yang sebelumnya kewenangan bupati, beralih ke BPKH.

Dari surat menteri ke Sulteng ini, ditindaklanjuti SK Menteri LHK Nomor 323 Tahun 2018, yang mengatur struktur panitia tata batas dan anggota-anggotanya. “Karena berkas ini sudah sesuai hingga kita lanjutkan.”

Keterlibatan pejabat Pemerintah Buol dalam struktur keanggotaan panitia tata batas yang ditandatangani 4 Mei 2017 di Palu, kata Hariani, bukanlah pelanggaran etika birokrasi atau ada unsur pemaksaan. Dia merujuk, hal itu sesuai peraturan dan surat keputusan Menteri LHK terbaru.

“Kami sudah mengundang, ada undangan kalau tak mau dan tak setuju, seharusnya pemda jangan tandatangan. Kan mereka tanda tangan dan menurut aturan dua pertiga yang menyetujui dan bertanda tangan itu sudah quorum. Saat itu, tak ada yang komplain, semua setuju.” Begitu Hariani, beralasan.

Rusli, Kabid Litbang Bappeda Buol, mengatakan, setelah trayek batas mereka lakukan tata batas. Proses itu melahirkan berita acara tata batas yang jadi dasar KLHK menerbitkan SK pelepasan.

“Persoalannya, di trayek tata batas itu, bupati jelas menolak pelepasan kawasan, harusnya dihargai keputusan itu,” katanya.

Selain itu, salah satu camat yang turut bertanda tangan di berita acara itu menyatakan, tak mengetahui kalau tanda tangan untuk pelepasan kawasan. “Kan aneh. Ada apa?”

Pejabat dan camat yang hadir dan jadi panitia tata batas, kata Rusli, cukup kebingungan. Menurut dia, hal ini sudah diatur pihak-pihak yang menginginkan kawasan ini terlepas dan jadi milik HIP.

Perusahaan pun tak mau ikut campur soal ini. Soal trayek tata batas, kata Ansyori, fasilitator HIP, bukan domain perusahaan. “Siapa yang diundang, siapa yang didatangkan, bukanlah menjadi wilayah mereka.”

“Itu bukan kami. Itu pemerintah. Kami juga diundang. Mendampingi. Jadi ada tim turun lapangan, kita dampingi. Kita hanya bermohon kepada pemerintah untuk tata batas, pelepasan, begitu. Mereka yang punya kewenangan. Bukan kami,” kata Ansyori kepada Mongabay.

Dia berdalih, soal pelepasan kawasan hutan itu tak bermasalah. Ada persoalan kalau dalam proses bermasalah. “Selama ini, kita urus aturan, sekarang diproses oleh pihak yang punya kewenangan untuk itu. Selesai. Terus masalahnya apalagi, begitu kan?”

Hariani bilang, surat keputusan dan undangan rapat trayek tata batas sudah mereka kirimkan kepada Pemerintah Buol.

“Kalau memang komplain ke ataslah jangan di kami. Kami kan hanya melaksanakan. Komplain ini muncul setelah tata batas. Surat komplain ke BPKH juga tidak ada secara administrasi. Hanya lisan tapi secara administrasi tidak ada.”

 

Buol Gugat KLHK

Pemerintah Buol dan Walhi mengajukan sengketa peraturan perundang-undangan non-litigasi ke Kementerian Hukum dan HAM terkait izin pelepasan kawasan hutan bagi perusahaan sawit HIP di Buol. Mereka menilai surat keputusan keluar melanggar norma hukum yang berlaku dan melangkahi kewenangan pemerintah setempat.

Viktor Santoso Tandiasa, kuasa hukum Walhi dan Pemerintah Buol menyebutkan, langkah pertama mendesak, mencabut Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 571/2018 tentang pelepasan kawasan hutan itu.

Mereka pun mendaftarkan sengketa ke Kemenhuk HAM. Pihaknya memohon dua rekomendasi dari Kemkumham, pertama untuk mencabut SK Men LHK Nomor 571/2018.

Viktor menyebutkan Menteri Siti mengeluarkan regulasi berdasarkan ketentuan berlaku, yakni Permen No.51/2016 soal tata cara pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan PP Nomo 104/2015 mengenai tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Ia memberikan wewenang sebagai menteri dengan mengajukan permohonan sendiri untuk mengubah status penggunaan atau menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan.

”Melalui dua regulasi itu, menteri bisa sertamerta atau otomatis menerbitkan apa yang dia mohonkan sendiri. Artinya, potensi penyalahgunaan kewenangan cukup besar.”

Meski demikian, katanya, dalam aturan Permen Nomor 51/2016 mensyaratkan secara administratif izin lokasi dari Bupati Buol. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan dalam penerbitan SK 517.

”Secara terang benderang kewenangan bupati ini diabaikan oleh Menteri LHK.”

Suparman, Kepala Bagian Hukum Pemkab Buol mengatakan, upaya pelepasan kawasan hutan terus jalan sebelum surat keputusan terbit meskipun bupati sudah menolak tiga kali pelepasan kawasan hutan. ”Kami meminta audiensi dnegan Bu Menteri, tetapi tidak mendapat tanggapan.”

Permohonan kedua, memita agar perubahan definisi menteri dalam Peraturan Pemerintah Nomor 104/2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Definisi menteri dalam regulasi itu, katanya, adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Dengan begitu, dia diberi kekuatan mengajukan permohonan ke diri sendiri.

Viktor menilai, SK 517 ini menggabungkan dua obyek hukum yang memiliki persyaratan berbeda, yakni, pelepasan dan penetapan batas areal pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.

Dalam penerbitan keputusan pelepasan kawasan hutan itu, katanya, harus memenuhi syarat administratif, yakni, izin lokasi dari Bupati Buol. Faktanya, SK itu tidak memenuhi aturan ini.

Meski demikian, dalam penetapan batas sreal itu tak mensyaratkan secara administratif hingga ketika dua obyek hukum ini digabungkan dalam satu SK. “Ini diduga bisa jadi alat menteri untuk mengatakan tak membutuhkan izin lokasi dari bupati dalam menerbitkan izin pelepasan. Dia keputusan yang digabung jadi satu SK ini tak lazim.”

Dia khawatir, cara ini bisa membahayakan kalau menteri lakukan secara subyektif dengan menerbitkan pelepasan kawasan hutan tanpa ada izin lokasi dari pemerintah daerah sebagai pemilik hutan setempat.

Moh Hasan, pengacara sekaligus Walhi Sulteng mengatakan, tata batas– disyaratkan dalam SK ini—, KLHK terkesan ngotot tanpa melibatkan bupati ataupun menyurati untuk mengabarkan ada proses tata batas.”Kami percaya ada pelanggaran prosedur di sini,” katanya.

Rusly, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Bappeda Buol khawatir, dengan pelepasan kawasan dan terjadi perubahan fungsi hutan menyebabkan debit air berkurang bagi persawahan warga.

“Ada kekhawatiran begitu mendasar bagi pemerintah kabupaten karena wilayah-wilayah yang dilepaskan merupakan sumber air untuk irigasi. Ketika terjadi konversi lahan dari hutan jadi kebun, ancaman kekeringan sawah di Buol.” Kekhawatiran lain, katanya, perubahan areal di hulu memicu bencana banjir.

 

Keterangan foto utama:    Kebun sawit perusahaan di Kabupaten Buol. Warga dan Bupati Buol menolak, pelepasan kawasan hutan untuk kebun sawit PT HIP. Bersadarkan KLHS, daya dukung dan tampung lingkungan Buol, tak bisa terbebani izin skala besar seperti kebun sawit. Warga dan Pemerintah Buol juga khawatir, kebun sawit bakal mengancam pasokan air dan memicu bencana. Foto: Litbang Bappeda Buol

 

Perkebunan sawit di Kabupaten Buol. Foto: Litbang Bappeda Buol

 

Exit mobile version