Mongabay.co.id

Penenggelaman Tidak Membuat Jera Kapal Asing Pencuri Ikan. Kenapa?

 

Penenggelaman 13 kapal ikan asing (KIA) berbendera Vietnam pada Sabtu (4/5/2019) yang dilakukan Pemerintah Indonesia di perairan Tanjung Datuk, Kalimantan Barat, menjadi penegas bahwa pelaku pencurian ikan di wilayah perairan laut Indonesia akan dihukum dengan berat. Hukuman itu untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan sekaligus pemilik kapal.

Akan tetapi, di mata Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), hukuman bagi kapal pelaku aktivitas illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) dengan cara ditenggelamkan ataupun dimusnahkan, belum tepat untuk memberikan efek jera. Hal itu terbukti, karena sampai sekarang, aktivitas IUUF masih terus terjadi di seluruh wilayah perairan laut Nusantara.

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan sepanjang empat tahun kepemimpinan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Negara dinilai masih lemah dalam menghukum pelaku pencurian ikan. Dengan kata lain, penegakan hukum bagi para pelaku IUUF, masih menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah, karena tidak menjadi perhatian khusus.

“Pemberantasan IUUF dengan cara meledakkan (dan menenggelamkan) kapal-kapal asing perlu dikritisi. Peledakkan kapal menyisakan satu persoalan krusial lain, yaitu penegakan hukum bagi para pelaku IUUF,” ungkapnya pekan lalu di Jakarta.

baca : Ini Sinyal Tegas Indonesia untuk Kapal Pencuri Ikan Vietnam

 

Penenggelaman 13 kapal ikan vietnam pelaku ilegal fishing di perairan Tanjung Datuk, Kalimantan Barat, Sabtu (4/5/2019). Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Menurut Susan, meski penegakan hukum masih belum menjadi fokus, namun Pemerintah terlihat antusias untuk selalu memamerkan kepada negara lain bahwa Indonesia sudah menorehkan prestasi dalam memberantas aktivitas IUUF. Kebanggaan itu selalu diperlihatkan semua pejabat terkait di bawah pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla selama empat tahun ini.

“Di berbagai forum internasional, Pemerintah Indonesia selalu menjadikan isu pemberantasan IUUF sebagai kampanye keberhasilan, khususnya dalam sektor perikanan. Pada saat yang sama, berbagai pemimpin dunia terus diajak untuk bergabung dan menjadi bagian dalam kampanye ini. Sampai dengan 2018, sebanyak 15 negara telah mengakui konsep IUUF sebagai kejahatan lintas negara,” tuturnya.

 

Mandat UU

Hingga saat ini, dari data yang dirilis KIARA, tercatat sebanyak 116 putusan pengadilan perikanan terhadap pelaku IUUF sudah dibuat sepanjang 2015 hingga 2018. Dari jumlah tersebut, tak satu pun putusan yang sudah sesuai dengan mandat Undang-Undang No.31/2004 Jo UU No.45/2009 tentang Perikanan. Merujuk pada UU tersebut, dalam Pasal 93 disebutkan bahwa ancaman pidana penjara bagi pelaku IUUF terhitung paling lama enam tahun penjara.

“Juga, denda paling banyak Rp20 miliar. Tetapi, faka di lapangan membuktikan bahwa mandat UU tidak diimplementasikan oleh penegak hukum,” tegas Susan.

KIARA telah mempelajari 116 putusan pengadilan perikanan selama empat tahun terakhir. Hasilnya, ditemukan fakta untuk denda, tercatat nilai paling tinggi sebesar Rp6 miliar, nilai terendah sebesar Rp500.000, nilai tengah sebesar Rp500 juta, dan nilai yang sering muncul sebesar Rp1 miliar. Dari 116 kasus, tambahnya, hanya 113 yang dikenakan denda, dengan total sebesar Rp80.245.500.000.

Tak hanya soal denda, Susan menambahkan, sanksi kurungan penjara pun, pada kenyataannya tidak sesuai dengan mandat UU Perikanan yang disebutkan di atas. Dari hasil penelusuran KIARA di lapangan, kurungan paling tinggi tercatat selama tiga tahun, sedangkan sanksi kurungan paling rendah tercatat maksimal selama dua bulan. Tak hanya itu, bahkan diketahui ada beberapa pelaku IUUF justru tidak diberikan sanksi kurungan sama sekali.

baca juga : Indonesia Murka pada Kapal Ikan Asing Pelaku Pencurian Ikan

 

Penenggelaman 13 kapal ikan vietnam pelaku ilegal fishing di perairan Tanjung Datuk, Kalimantan Barat, Sabtu (4/5/2019). Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Melihat dari sejumlah putusan yang sudah diterbitkan, Susan menyatakan UU Perikanan tidak menjadi pedoman dalam upaya penegakan hukum bagi para pelaku IUUF di Indonesia. Hal itu, karena hingga saat ini pemberantasan IUUF masih belum dijadikan agenda penting bagi Negara. Sementara, di saat yang sama, penegakan hukum juga tidak dilakukan dengan benar.

“Pemerintah selalu bicara kedaulatan, tapi tidak pernah bicara law enforcement,” tegasnya.

Untuk itu, Susan mendesak kepada Pemerintah untuk menjadikan penegakan hukum sebagai agenda penting dalam menjaga keberlanjutan sumber daya perikanan di perairan Indonesia yang dapat diakses oleh lebih dari delapan juta keluarga nelayan di Indonesia. Kemudian, Pemerintah juga wajib melibatkan masyarakat pesisir, khususnya nelayan, sebagai bagian penting dalam upaya menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan.

Diketahui, hingga hari ini, jumlah kapal barang bukti tindak pidana perikanan yang sudah dimusnahkan sejak Oktober 2014 jumlahnya mencapai 503 kapal. Dengan rincian, terdiri dari 284 kapal Vietnam, 92 kapal Filipina, 23 kapal Thailand, 73 kapal Malaysia, 2 kapal Papua Nugini, 1 kapal Tiongkok, 1 kapal Nigeria, 1 kapal Belize, dan 26 kapal Indonesia.

Penenggelaman kapal pelaku IUUF dilakukan dengan mengacu pada Pasal 76A Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No 31/2004 tentang Perikanan, yaitu benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk Negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri, dan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) sebagaimana diatur dalam KUHAP.

perlu dibaca : Vietnam, Negara Dominan Pelaku IUUF di Laut Indonesia

 

 

Proses Panjang

Pada 2018, Susi Pudjiastuti pernah menyatakan bahwa pemberantasan IUUF di perairan laut Indonesia tidak akan pernah berakhir, meskipun sejak 2014 di bawah kepemimpinannya sudah dilakukan pemberantasan IUUF. Dia mengakui, perlu upaya ekstra keras dan tak biasa untuk bisa menghilangkan kegiatan merugikan Indonesia itu.

Di antara cara tak biasa yang dimaksud itu, Susi menyebut, adalah opsi penenggelaman kapal ikan yang terbukti sudah melakukan pelanggaran. Cara tersebut, meski prosesnya akan sangat panjang, tapi jika dilaksanakan secara konsisten dan kontinu, diyakini akan memberikan efek jera kepada calon pelaku IUUF lain. Masalahnya, dia menyebut apakah Indonesia mau atau tidak untuk menerapkan kebijakan penenggelaman kapal dengan konsisten.

Selain faktor ketegasan hukum, Susi menduga, masih banyaknya aktivitas IUUF di perairan Indonesia, disinyalir karena ada keterlibatan oknum petugas penegakan hukum (gakkum) di lapangan. Akibatnya, KIA bisa masuk dengan bebas ke perairan laut Indonesia, meskipun di saat yang sama Negara sudah menerapkan kebijakan hukum pelarangan KIA untuk menangkap ikan di Nusantara.

“Saya mengerti untuk memberantas IUUF dengan tuntas tidak mudah. Maka dari itu konsolidasi orang-orang yang berani dan berintegritas diperlukan,” ucapnya.

Tentang kebijakan penenggelaman kapal pelaku IUUF, Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanity Abdul Halim berpendapat sama dengan KIARA. Menurut dia, kebijakan penenggelaman hingga saat ini masih belum memberikan efek jera dan itu terbukti dengan masih maraknya aktivitas pencurian ikan di berbagai wilayah perairan Indonesia.

Halim menyebutkan kenapa hingga sekarang pencurian ikan masih terus terjadi, adalah karena terus menurunnya stok sumber daya ikan yang ada di sejumlah negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Kondisi seperti itu, memaksa nelayan di negara-negara tersebut untuk tetap mencari ikan, meskipun harus mencuri dari perairan laut Indonesia.

Kemudian, alasan kedua kenapa praktik pencurian ikan masih terus terjadi, menurut dia adalah karena diterapkannya sejumlah aturan berkaitan dengan upaya menghadirkan praktik pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Aturan tersebut tidak hanya muncul di satu negara saja, melainkan di hampir semua negara Asia Tenggara.

“Alasan ketiga, adalah Pemerintah terlalu fokus pada kebijakan pengeboman atau penenggelaman kapal ikan dan justru telah mengabaikan betapa signifikannya ikhtiar menghadirkan praktik pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab di dalam negeri,” tuturnya.

Tiga alasan tersebut, menurut Halim, bisa menjelaskan bagaimana kondisi sektor kelautan dan perikanan Indonesia untuk saat ini. Selama 48 bulan atau 4 tahun usia kabinet kerja Presiden RI Joko Widodo, pengelolaan sumber daya kelautan sektor tersebut justru terlihat kehilangan arah.

 

Exit mobile version