Mongabay.co.id

Kendala Pasokan Benih Ikan Laut untuk Indonesia Timur Kini Teratasi

 

Keterbatasan pasokan benih ikan untuk kawasan Indonesia Timur yang selama ini selalu dirasakan oleh para pelaku usaha perikanan budidaya, mulai sekarang dijanjikan Pemerintah Indonesia tidak akan terjadi lagi. Hal itu menyusul beroperasinya hacthery ikan laut modern dengan kapasitas produksi besar yang ada di Ambon, Maluku dengan pengelolaan di bawah Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Ambon.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengatakan, beroperasinya hatchery pada Selasa (30/4/2019) lalu, memberikan harapan baru bagi para pelaku usaha perikanan budidaya yang ada di Indonesia Timur. Selama ini, pelaku usaha harus bekerja keras untuk mendatangkan benih ikan laut dari berbagai balai perikanan yang ada di sekitar Ambon.

“Jadi, ikan laut seperti bubara, kakap putih, kerapu macan, dan kerapu bebek, mulai sekarang sudah bisa didapatkan benihnya di Ambon. Ini tentu akan memudahkan proses usaha perikanan budidaya di Indonesia Timur,” ungkap Slamet akhir pekan lalu di Jakarta.

baca : Ikan Bubara Kini Tak Bergantung pada Alam Lagi. Kenapa?

 

Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto meresmikan pusat pembenihan ikan laut terbesar dan modern di Ambon, Maluku. Kehadiran hatchery tersebut akan memecahkan persoalan keterbatasan pasokan benih ikan laut di kawasan Indonesia Timur. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Slamet menuturkan, dengan beroperasinya pusat pembenihan di Ambon, para pelaku usaha yang diuntungkan juga tidak hanya di sekitar Ambon dan Maluku saja, melainkan sampai menjangkau kawasan lain seperti Provinsi Maluku Utara, kepulauan Sulawesi, dan kepulauan Papua yang mencakup Papua dan Papua Barat.

Fakta itu, menurut Slamet, menegaskan bahwa Pemerintah ingin memiliki BPBL yang modern dan menjadi pintu gerbang inovasi teknologi perikanan budidaya laut di Indonesia Timur. Itu ditegaskan juga sebelumnya oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Bagi Slamet, apa yang sudah terwujud di Ambon, akan menjadi kebanggaan bagi Indonesia sejak dari sekarang.

Slamet memaparkan, hatchery yang beroperasi di Ambon tersebut, menjadi pusat pembenihan besar dan modern, karena sudah menerapkan teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) seperti di negara-negara maju. Teknologi tersebut digunakan, terutama untuk fase pendederan dan penggelondongan benih.

“Keunggulan teknologi ini yaitu kepadatan ikan bisa ditingkatkan, di mana dengan wadah yang sama, kapasitasnya bisa naik hingga lima kali lipat. Kualitas air juga mudah dikontrol dan jauh lebih stabil,” jelasnya.

baca juga : Teknologi RAS untuk Kemajuan Perikanan Budidaya, Seperti Apa?

 

Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto (kiri) melihat benih ikan saat meresmikan pusat pembenihan ikan laut terbesar dan modern di Ambon, Maluku. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Efisiensi Air

Selain itu, Slamet menambahkan, teknologi RAS menjadi unggul, karena penggunaan air ganti jauh lebih sedikit yakni hanya dibutuhkan 10 persen dari volume total air per hari. Keunggulan tersebut membuat teknologi RAS jauh lebih efisien bila dibandingkan dengan teknologi biasa (flowthrough) yang membutuhkan pergantian air hingga 300 persen agar ikan bisa hidup dengan baik.

Sejak awal, Slamet mengatakan, pembangunan hatchery di Ambon memang sudah memiliki tujuan untuk menciptakan industri budidaya atau pembenihan yang berkelanjutan. Dengan demikian, apa yang dilakukan harus meningkatkan efisiensi dan produktivitas yang ramah lingkungan. Oleh itu, perlu diterapkan mekanisasi dan digitalisas pada hatchery tersebut.

Mengutip pernyataan lembaga pangan dunia PBB (FAO), Slamet menyebutkan, ada tiga kendala yang dihadapi oleh perikanan budidaya di masa mendatang. Kendala itu adalah keterbatasan lahan yang terus meningkat akibat alih fungsi lahan untuk kegiatan lain seperti perumahan dan industri. Kemudian, di masa mendatang juga diperkirakan krisis air akan semakin meningkat dan di saat yang sama juga ada tantangan bagaimana untuk meningkatkan produktivitas perikanan budidaya.

“Seiring semakin meningkatnya penduduk dunia yang menuntut kebutuhan pangan. Karenanya, penerapan tekknologi RAS di hatchery menjadi jawaban atas semua tantangan itu. Penerapan teknologi RAS ini sudah sangat tepat,” tuturnya.

Selain di BPBL Ambon, Slamet menambahkan, teknologi RAS juga sudah diterapkan oleh unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) lainnya seperti Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Sukabumi (Jawa Barat), BPBAT Mandiangi (Kalimantan Selatan), dan BPBAT Tatelu (Sulawesi Utara). Penerapan teknologi RAS, dinilainya sudah sesuai dengan harapan karena bisa menciptakan perikanan budidaya ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Slamet berharap, dari sekarang seluruh UPT yang ada di seluruh Indonesia, tidak hanya berperan sebagai pusat produksi benih saja, tapi juga menjadi rujukan dan memberi manfaat bagi seluruh stakeholder pada sektor perikanan budidaya. Dengan kata lain, selain sebagai pusat produksi benih, UPT juga berfungsi sebagai pusat teknologi dan inovasi.

“Juga, sebagai pusat pelayanan laboratorium, pakan alami dan memiliki fungsi pembinaan serta pendampingan kepada masyarakat,” sebut dia.

baca : Apa Itu Teknologi RAS untuk Perikanan Budidaya?

 

Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto melihat penggunaan teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) saat meresmikan pusat pembenihan ikan laut terbesar dan modern di Ambon, Maluku. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Kepala BPBL Ambon Tinggal Hermawan menjelaskan, hatchery yang baru diresmikan ini dibangun di lahan seluas 2 hektar, sehingga keseluruhan hatchery yang dimiliki BPBL Ambon kini berdiri di lahan seluas 4 hektar. Kapasitas produksi benih hatchery kini mampu mencapai 3 juta ekor benih per tahun dari sebelumnya hanya 700 ribu ekor per tahun.

Tinggal menyebutkan, salah satu komoditas utama yang diproduksi di hatchery Ambon, adalah benih ikan Bubara. Ikan yang telah berhasil diproduksi massal oleh BPBL Ambon ini, kapasitas produksinya berhasil ditingkatkan hingga minimal 1 juta ekor benih per tahun dari sebelumnya 500.000 ekor atau naik hingga dua kali lipat lebih.

 

Teknologi Industri

Penggunaan teknologi pada hacthery, menurut Slamet, menjadi bagian dari komitmen KKP untuk ikut terlibat dalam kemajuan zaman, yang di antaranya ditandai dengan revolusi industri 4.0. Kemajuan teknologi industri, memaksa semua pihak yang terlibat dalam sektor perikanan budidaya untuk terus berinovasi dan meningkatkan kapasitas diri, termasuk pengembangan produk usaha yang sedang dan akan dibudidayakan.

Slamet Soebjakto mengatakan, upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyongsong revolusi industri 4.0 adalah dengan menguatkan kapasitas diri seluruh pembudidaya ikan. Bentuk nyata dari upaya tersebut, adalah dengan membentuk kampung-kampung digital di seluruh Indonesia. Kampung tersebut bisa berbasis pada berbagai komoditas andalan daerah masing-masing.

Melalui implementasi teknologi informasi, Slamet berharap, pembudidaya ikan di masa mendatang bisa lebih siap menghadapi persaingan, terutama menghadapi revolusi industri 4.0 yang saat ini sedang berjalan di Indonesia. Dengan aplikasi digital, pembudidayaan bisa memanfaatkannya untuk meningkatkan efisiensi usahanya sehingga pendapatan mereka meningkat.

Slamet menerangkan, dengan adopsi digital pada perikanan budidaya, itu akan berdampak positif karena bisa menaikkan nilai jual komoditas budidaya menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Selain itu, dengan konsep digital, pembudidaya juga mendapatkan kepastian pasar, sarana dan prasarana usaha menjadi lebih efisien, serta kemudahan akses teknologi produksi.

“Itu akan membuat usaha budidaya semakin efisien, dan akhirnya pendapatan pembudidaya juga akan meningkat. Lewat revolusi digital, investasi juga bisa dilakukan secara daring (online), dan prosesnya bisa semakin efektif,” tuturnya.

Kemudahan yang didapatkan para pembudidaya ikan di masa sekarang, melalui revolusi industri 4.0, menurut Slamet, akan menyebabkan efisiensi bekerja mereka menjadi lebih cepat dan singkat. Hal itu, karena pembudidaya bisa mengunduh aplikasi digital yang dikembangkan start up pada telepon pintar mereka. Setelah itu, mereka bisa mengatur waktu dan jumlah pemberian pakan ikan melalui aplikasi tersebut.

Meski demikian, Slamet meminta para pembudidaya ikan untuk bisa melaksanakan usaha budidaya ikan dengan menggunakan prinsip berkelanjutan. Dengan demikian, prinsip ramah lingkungan pada usaha tersebut akan tetap dijalankan dan berlanjut terus sampai kapan pun. Penataan kawasan budidaya seperti pengaturan IPAL (instalasi pengolahan air limbah), sirkulasi keluar masuk air untuk budidaya berkelanjutan harus benar-benar bisa diimplementasikan.

 

Exit mobile version