Mongabay.co.id

Masyarakat Pesisir Jawa Tengah Khawatir Kehilangan Ruang Hidup

Nelayan kecil pencari kepiting di antara mangrove. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Masyarakat pesisir paling rentan terhimpit berbagai tekanan. Mereka terkena dampak perubahan iklim, dan banyak tersingkir dari ruang hidup karena pembangunan infrastruktur, perkembangan industri sampai pertambangan.

“Dampak buruk pembangunan pelabuhan tak pernah dikatakan kepada kami, contohn, Pelabuhan Kendal. Desa Bandengan, setiap rob tenggelam karena air masuk ke daratan,” kata Sugeng, nelayan dan Ketua Forum Mina Agung Sejahtera, Kendal.

Kala itu, katanya, ada reklamasi untuk pelabuhan, berujung air laut naik dan banjir. “Pekalongan juga mengalami hal sama. Itu harus dipertimbangkan,” katanya.

Persoalan itu mengemuka dalam diskusi publik membedah Perda Jawa Tengah Nomor 13/2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K ). Diskusi ini diselenggarakan Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Tengah untuk Keadilan Pesisir di Kampus Unissula, Semarang, 5 April. Hadir sebagai pembicara dan peserta antara lain akademisi, wakil pemerintah daerah, mahasiswa, dan nelayan.

Sesuai amanat UU, Gubernur Jateng, menetapkan Perda Nomor 13/2018 yang ditandatangani pada 21 Desember lalu. Sampai Maret, Jateng termasuk 17 provinsi yang memiliki Perda RZWP3K dari 34 provinsi di Indonesia. Dokumen setebal 150 halaman itu memuat 19 bab, 94 pasal, berikut lampiran antara lain berupa penjelasan, peta akolasi ruang.

Di sana juga termasuk dokumen titik lokasi dan luasan zona wisata, permukiman, pelabuhan, hutan mangrove, perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri, fasilitas umum, kawasan konservasi, alur pelayaran, jaringan pipa dan kabel bawah laut, migrasi biota laut, dan kawasan strategis nasional baik yang tertentu maupun bukan.

 

Ayah dan anak yang melalui petambak di pesisir Jawa Tengah. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Menolak terusir        

Saat ini, kata Sugeng, nelayan pesisir berhadapan dengan masalah ruang hidup baik pemukiman dan wilayah tangkap menyusut.

“Nelayan, sebenarnya tak takut kehilangan mata pencaharian, tapi mereka takut kehilangan permukiman,” katanya, menggambarkan nelayan terdesak bukan saja karena pekerjaan juga tempat tinggal.

“Kami makin lama makin dijauhkan dari kampung halaman. Demak, sudah dijauhkan dari kampung halaman. Tambaklorok, sudah jauh dari kampung halaman. Jangan-jangan nanti rumah kita di gunung tapi mencari ikan di laut.”

Dia menyayangkan, perda minim komunikasi dengan nelayan. Seharusnya, kata Sugeng, pembuat perda menjaring pendapat dari nelayan, seperti pengurusan perizinan harus ke provinsi cukup memberatkan nelayan.

“Contoh, kapal kami di bawah lima gross ton, sekarang sulit mendapat surat kapal karena harus mengurus sampai provinsi. Dulu, itu hak kabupaten. Kalau bikin ini itu harus ke provinsi, kabupaten jadi nganggur.”

Dia juga mempersoalkan tahun peta 2013, mengingat keadaan di lapangan sudah jauh berbeda.

Rofiq, warga Tugurejo, Semarang juga mempersoalkan penetapan garis pantai. Ketidakjelasan garis pantai tak saja menyulitkan nelayan dan warga juga rawan sengketa.

“Ketika ada perusahaan beraktivitas, definisi garis pantai beda dengan warga. Ada tiga kelurahan yaitu Karanganyar, Tugurejo, Randugarut, berjibaku dengan salah satu pengusaha di Semarang yang akan mengeruk hampir 400 hektar tambak.”

Dia bilang, sudah melaporkan ke Kantor Badan Lingkungan Hidup. “Aktivitas sudah berhenti, tapi kami yakin ini sementara. Melihat kewenangan gubernur sangat kuat, kami khawatir nanti ada permainan soal garis pantai.”

 

Nelayan tradisional dengan perahu kecil. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Usman, nelayan Batang terkejut dengan ada PLTU Batang pada peta. Baginya, bentuk pengakuan atas sumber penyebab kerusakan ekosistem laut.

“Ada semboyan laut adalah ibu kami. Ia jadi sumber kehidupan. Kami berjanji menjaganya dari segala kerusakan. Sayangnya, di situ ada PLTU yang merusak ekosistem laut.”

Dia bilang, sejak lahir sudah di pesisir. PLTU datang, langsung menggusur petani tambak dan merusak dataran laut. “Kalau ada proyek yang merusak laut itu sama dengan memperkosa ibu para nelayan. Pemerintah justru mengakui proyek itu.”

Marzuki dari Tambaklorok, Semarang menyebutkan, di Tambaklorok dan Tambakrejo, sudah lama ada permukiman nelayan, tetapi tak ada di peta Perda Zonasi.

“Kami yang bekerja mencari nafkah untuk keluarga bagaimana jika (dianggap) berbenturan dengan aturan hukum?”

 

Keadilan lingkungan

Hotmauli Sidabalok, pengajar pada magister lingkungan dan perkotaan Unika Soegijapranata, lewat perspektif keadilan lingkungan menyebut, perda belum berpihak kepada nelayan pesisir.

“Ada ketimpangan distribusi beban dan keuntungan. Beban akan banyak ditanggung nelayan kecil, nelayan tradisional, pembudidaya ikan, petambak garam, lingkungan. Keuntungan akan banyak diperoleh pemerintah daerah, industri, perorangan atau badan yang memiliki akses terhadap RZWP3K.”

Dia mencontohkan, prosedur izin akan memberatkan nelayan, bahkan hanya untuk menanam mangrove atau membudidayakan ikan di tambak. Dia juga menyoroti pengalaman hidup para nelayan dalam menghadapi berbagai masalah yang kurang mewarnai pasal-pasal perda. Padahal, katanya, pengalaman hidup nelayan itu contoh konkret persoalan yang harus diselesaikan dibanding yang bisa ditemukan dari buku atau laboratorium yang serba terbatas.

Nico Wauran dari Layar Nusantara juga mengkritisi berbagai izin yang harus diperoleh nelayan pesisir. Kalau dijalankan, katanya, harus ada keseriusan pemerintah daerah menyediakan tempat layanan perizinan mudah dan cepat.

“Karena masyarakat lokal, pembudidaya ikan dan udang, serta petambak garam harus meminta izin lokasi dan izin pengelolaan ke gubernur jika melakukan pemanfaatan menetap.”

 

Seorang pedagang perempuan memindahkan udang hasil tangkapan di kampung nelayan Pesisir Demak. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Dia menyoroti, pelibatan masyarakat kurang dalam penyusunan perda. Sosialisasi raperda dianggap satu arah, dan masyarakat lebih banyak mendengar. Kalaupun ada kesempatan bertanya atau mengajukan usulan waktu sangat terbatas. Selain itu, katanya, masukan dari masyarakat tak berpengaruh banyak atas substansi isi perda.

Soal kawasan konservasi, kata Nico, perda hanya mencantumkan lokasi di Ujungnegoro-Roban, di Batang. Tak spesifik di dalam pasal beberapa kawasan konservasi seperti Karang Jeruk (Tegal), perairan Brebes, atau di Taman Pulau Kecil Pulau Panjang. Meski dalam lampiran menyebutkan ada 33 kawasan konservasi dan lindung lain di Taman Nasional Karimunjawa.

Mengenai mitigasi bencana, Nico memandang perda belum jelas menggambarkan bentuk mitigasi.

Mila Karmilah, pengajar di jurusan Planologi Unissula, juga menyoroti mitigasi bencana yang tak konkrit dalam perda. Dalam penjelasan bahkan hanya dikatakan cukup jelas.

“Mitigasi bencana harus dikaitkan dengan perubahan iklim. Perubahan iklim, tak dibahas di perda ini. Padahal, Jawa Tengah, supermarket bencana. Di dalam pasal, sedikit sekali membahas ini. Bagaimana adaptasi, tanggap darurat, evakuasi.”

Menurut Mila, beberapa kabupaten di pesisir selatan seperti Purworejo, Kebumen, Cilacap, berpotensi tsunami. Sementara abrasi tinggi terjadi di Demak, Jepara, hingga Rembang. Sayangnya, tak dibahas dalam perda.

“Penataan ruang seharusnya pengurangan risiko bencana. Bukan malah membuat bencana baru. Jadi mengurangi kerentanan, menambah ketahanan atas bencana.”

Yunus Mintarso dari Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng, menjelaskan, keberpihakan perda terhadap nelayan kecil ada pada Pasal 17. Di sana disebutkan, alokasi sampai dua mil untuk kawasan konservasi, ruang penghidupan dan akses nelayan kecil, nelayan tradisional, pembudidaya ikan kecil, petambak garam kecil, wisata bahari berkelanjutan, dan infrastruktur publik.

Perda melarang di wilayah ini penambangan pasir agar tak mempercepat dampak abrasi. Seandainya, ada penambangan harus di atas dua mil dan sesuai aturan.

Agus Nugroho Adi dari Biro Hukum Sekretariat Daerah mengatakan, tak ada regulasi di dunia yang sempurna dan ada kemungkinan perbaikan ke depan.

“Perda ini lima tahun lagi akan di-review, karena dinamika penataan ruang tak terpikirkan saat ini. Input dari lembaga swadaya masyarakat, mahasiwa, dari mana saja akan jadi bahan. Di titik-titik inilah akan perbaikan.”

Mengenai masih pakai peta 2013 dalam menentukan garis pantai karena dalam justru sulit kalau pakai data terbaru.

“Dengan peta lama 2013, akan mengetahui potensi mana dari perubahan bentang alam yang akan kembali seperti semula. Menurut BPN, ketika ada perubahan garis pantai tak serta merta wilayah itu akan hilang.”

“Kalau pakai garis pantai terbaru langsung hilang. Dengan peta 2013 peluang rehabilitasi tanah akibat abrasi terbuka dari aspek hukum.”

 

Keterangan foto utama: Nelayan kecil pencari kepiting di antara mangrove. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version