Mongabay.co.id

Warga Patani Was-was Lagi, Sawit Mau Masuk atau Tanah Obyek Reforma Agraria?

Warga Banemo, Patani, Halmahera Tengah, hidup bergantung dari alam dengan beragam tanaman seperti pala, cengkih, pisang dan hasil bumi lainnya, termasuk perikanan. Mereka hidup jauh dari miskin. Mereka khawatir, kala ada kebun sawit masuk, malah bikin sengsara berkepanjangan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Setelah bertahun-tahun senyap, tak ada riak bisnis sawit bakal mulai membuka kebun di beberapa desa di Halmahera Tengah, tahun ini kembali bikin was-was warga. Warga mendengar kabar perkebunan sawit, PT Manggala Rimba Sejahtera (MRS) dengan konsesi mencakup Desa Banemo (Patani Barat), Masure, Peniti, Palo, Sakam dan Damuli (Patani Timur) dan Desa Pantura Jaya (Patani Utara), mau mulai. Pelepasan kawasan hutan untuk perusahaan sawit ini terjadi pada detik-detik terakhir jabatan  Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, pada 29 September 2014,  seluas 11.404, 20 hektar. Sementara Kanwil Pertanahan (BPN) menyatakan, akan mengeluarkan 20% dari lahan konsesi perusahaan sawit untuk program tanah untuk obyek reformasi agraria (Tora).

Pada 2014, warga ramai-ramai datang ke Kantor Bupati Halteng, mendesak pemerintah daerah dari bupati dan DPRD menolak dan mencabut izin. Kini, mahasiswa Halteng dari berbagai perguruan tinggi di Ternate, kembali menyuarakan protes terkait rencana perusahaan beroperasi.

Baca juga: Kala Pala dan Cengkih Warga Halmahera Tengah Terancam Sawit

Senin (29/4/19), mahasiswa Patani mendatangi Kantor DPRD dan Gubernur Maluku Utara, protes rencana investasi ini. Mereka khawatir perkebunan ini menimbulkan masalah sosial dan lingkungan bagi masyarakat. Warga yang sudah hidup tenang dengan beragam produk andalan seperti pala, cengkih dan perikanan, bisa tergusur atau terganggu kehidupannya dengan kehadiran investasi sawit.

“Kami dan orangtua kami selama ini hidup dari pala, cengkih, kelapa dan sagu yang dikelola turun temurun. Bukan sawit,” kata Iswan Haliyora, koordinator aksi mahasiswa Fogogoru Halteng. Mahasiswa menamakan diri Gerakan Mahasiswa Fogogoru Halteng (Gemuruh).

Puluhan mahasiswa datang dengan kendaraan roda dua dan berjalan kaki. Saat di halaman Kantor DPRD dan Kantor Gubernur Malut di Sofifi, mereka membacakan sikap soal rencana perkebunan sawit di Kecamatan Patani, Halteng.

 

Fuli pala. Tak hanya biji, fuli pala ini bernilai sangt tinggi di pasaran. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Penolakan mereka, selain mempertahankan komoditas lokal dan identitas warga, masyarakat pun sadar kehadiran perkebunan sawit bakal lebih banyak memberikan dampak negatif. Semisal, merusak keseimbangan alam, memunculkan konflik agraria dan lain-lain.

“Di Gane, Halmahera Selatan, sudah terbukti ada perkebunan sawit dan terjadi pelanggaran nyata. Lahan warga habis dan kelapa petani mati diserang hama,” kata Iswan.

Sawit, katanya, hanya menguntungkan pemodal besar, dan membuat derita bagi masyarakat. Untuk itu, kalau pemerintah Halteng dan Malut, memasukkan investasi sawit di Patani dengan alasan mensejahterakan rakyat, jauh dari kebenaran. Sebaliknya, hanya memperkaya perusahaan.

Baca juga: Tolak Sawit di Halmahera, dari Wabup sampai Anggota DPRD Tandatangani Dukungan

Gerakan Mahasiswa Fagogoru meminta Pemerintah Malut, segera mencabut izin perusahaan ini. Mereka juga mendesak Kanwil Pertanahan (BPN) Malut menghentikan segala proses legalisasi tanah yang diduga berkedok program tanah untuk reforma agraria (Tora). Mereka menduga, program Tora di sana memiliki hubungan dengan rencana perusahaan sawit masuk.

Asri Abdullah, Kepala Urusan Pemerintahan (KAUR) Desa Pantura Jaya Patani Utara mengatakan, hasil koordinasi pemerintah desa dan warga ke BPN Malut beberapa waktu lalu menyebutkan, MRS mengantongi izin beroperasi perkebunan di Patani.

“Memang, sampai saat ini belum ada aktivitas perusahaan. Dalam waktu dekat segera pengukuran lahan. Sejak ada informasi ini di masyarakat juga beredar kabar segera beroperasi perusahaan perkebunan sawit.” Kondisi inilah yang menimbulkan kekhawatiran warga. Mahasiswa pun aksi.

 

Desa Banemo, Halteng, Mauluku Utara. Warga hidup senang dan tenang dengan beragam hasil bumi dari kebun pala, cengkih, sampai perikanan. Mereka tak mau kampung yang nyaman dan aman ini terganggu dana rusak gara-gara investasi sawit masuk. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, protes meningkat ketika terdengar kabar usai Ramadan tahun ini, akan ada pemasangan titik koordinat di lahan mayarakat.

Perusahaan sawit mau masuk ini sudah coba lakukan negosiasi dengan warga, bahkan sudah ketiga kali. Namun, katanya, warga sudah kuat dan bertekad tetap menolak.

“Pandangan torang (kami-red) sebagai warga tetap menolak perusahaan ini beroperasi. Kami masyarakat Desa Pantura Jaya selama ini hidup dengan tenang mengandalkan sumber pendapatan pala, cengkih serta kelapa dan sagu. Kami tidak makan dari sawit,” katanya.

Mewakili 160 keluarga di desanya, dia meminta perusahaan maupun pemerintah yang memberikan izin perusahaan sawit ini memahami budaya dan tradisi masyarakat. Warga sudah hidup nyaman dan tenang, jangan ada bikin masalah.

“Pemerintah harus memahami dan mendukung budaya turun-turun pertanian warga selama ini. Jangan mereka menganggap itu hutan tetapi itu perkebunan cengkih, pala kelapa dan sagu warga.”

Buang Samiun, Kades Desa Masure, juga resah. Meskipun belum ada aktivitas perusahaan, mereka akan terus menolak sampai pemerintah mencabut izin. “Memang belum ada aktivitas tetapi kabar masuknya sawit ini terdengar sejak 2011. Masyarakat sudah tegas menolak jika perusahaan sawit akan beroperasi.”

Mereka mendengar kabar sawit bakal masuk karena ada izin dari aksi-aksi mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat. Masyarakat, katanya, bulat dan sepakat menolak.

 

Cengkih, salah satu produk andalan selain pala di Banemo, Patani. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, lama tak mendengar lagi kabar perusahaan akan masuk. Setelah ada undangan rapat dari BPN Malut kepada pemerintah desa menyangkut sosialisasi program pelepasan kawasan hutan di Patani, warga kembali risau. Dalam undangan itu, para kepala desa juga menyentil nama perusahaan, MRS.

Rapat berlangsung di Aula Kantor Bupati Selasa (30/4/19) antara para kepala desa bersama BPN. Dalam rapat itu muncul pertanyaan dari para kades soal apakah pelepasan kawasan hutan itu berkaitan dengan perusahaan sawit ke Patani.

BPN menyatakan, tak ada hubungan dengan perusahaan sawit. “Mereka bilang ini menyangkut rencana program Tora terkait alokasi 20% dari luas pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan masyarakat.”

Padahal, kalau tak ada hubungan dengan perusahaan sawit, mengapa ada alokasi 20% untuk alokasi rakyat dari pelepasan kawasan untuk MRS.

Hasil rapat itu, mereka akan membentuk tim turun ke lokasi dan mau memasang titik koordinat di lahan masyarakat. Saat itu, para kepala desa mempertanyakan peruntukan pelepasan kawasan ini. Lagi-lagi, BPN menjawab bukan untuk sawit.

BPN menyatakan, pembebasan lahan masyarakat sesuai program Tora. Kepala desa menyarankan, tim agar turun sosialisasi langsung kepada masyarakat. ”Bagi kami, tidak cukup hal hanya disampaikan kepala desa, tim turun langsung sosialisasi, pengukuran lahan 20% ini bukan untuk sawit tetapi pembebasan dan sertifikasi lahan,” kata Buang, dihubungi via telepon.

 

Protes mahasiswa di Sofifi, Ibukota provinsi Maluku Utara menolak sawit ke Patani. Foto: dokumentasi mahasiswa

 

Munadi Kilkolda, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut mengatakan, AMAN sejak awal mengadvokasi masalah ini. Pertemuan itu, katanya, program Tora pembebasan lahan 20% untuk petani sebagai plasma MRS. “Jadi lahan itu akan disertifikatkan melalui program Tora.”

“Kami juga bingung, kenapa pembebasan lahan untuk plasma tetapi masuk program Tora?”

Masyarakat, katanya, tak berurusan dengan program Tora atau plasma. Bagi mereka, bagaimana mempertahankan lahan pala cengkih, kelapa maupun sagu. “Bagi warga, menolak seluruh aktivitas berhubungan dengan MRS,” ucap Munadi.

Advokasi AMAN Malut sejak awal, katanya, tegas menolak kehadiran perusahaan sawit ini di Halmahera Tengah. AMAN mendesak, pemerintah daerah segera mencabut izin perkebunan sawit ini.

Bagi AMAN, program Tora yang sedang berjalan di Halteng, harus melihat kondisi, tak lantas hanya hanya bikin sertifikat tanah. Kalau di Halteng, katanya, lahan-lahan warga itu itu merupakan wilayah komunal.

“Yang perlu didorong, percepatan pengakuan hak komunal atau hak adat mereka.” AMAN, katanya, sudah proses pemetaan. “Jadi tinggal legal formal dengan Perda Pengakuan Masyarakat Adat Halteng yang telah diajukan ke DPRD. Sebenarnya tak perlu lagi ada Tora.”

Mongabay berupaya menghubungi Muhammad Juffi, Direktur PT Manggala Rimba Sejahtera soal penolakan warga atas informasi perusahaan mau rencana beroperasi. Pertanyaan lewat pesan WhatsApp, maupun telepon tetapi tak mendapat respon.

 

Keterangan foto utama: Warga Banemo, Patani, Halmahera Tengah, hidup bergantung dari alam dengan beragam tanaman seperti pala, cengkih, pisang dan hasil bumi lainnya, termasuk perikanan. Mereka hidup jauh dari miskin. Mereka khawatir, kala ada kebun sawit masuk, malah bikin sengsara berkepanjangan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Pala di Patani, Halteng, sudah mensejahterakan hidup warga, mengapa harus ada sawit? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version