Mongabay.co.id

Sungai Brantas Makin Memprihatinkan

Brigade Evakuasi Popok ini mengangkut dua karung sampah popok bayi yang dibuang ke Sungai Brantas. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Dari atas jembatan, tampak tepian Sungai Brantas, berjejal rumah-rumah warga. Bangunan berdiri tak beraturan. Kumuh. Air Brantas mengalir deras, terlihat keruh. Tumpukan sampah bertebaran di tepi sungai. Inilah kawasan yang dikenal bernama Kutho Bedah, secara administratif berada Kelurahan Kota Lama, Kedungkandang, Kota Malang.

Kawasan ini, permukiman padat penduduk. Secara topografi, kawasan yang membelah Sungai Brantas ini seperti mangkuk. Sekitar 80% kawasan berombak, tak rata. Pinggir jembatan Jalan Zaenal Zakse, Kelurahan Kota Lama, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, dipasang pagar setinggi dua meter. Kedua sisi dipasang pagar rapat untuk mencegah warga tak membuang sampah ke sungai di bawah jembatan.

Pagar terpasang akhir 2018, sejak sampah menggunung di tepi jembatan dan sebagian dibuang ke sungai. Sampah menumpuk. Warga sengaja membuang sampah saat melintas di atas jembatan di Kawasan Kutho Bedah ini.

Jembatan menghubungkan kawasan Kedungkandang dengan pusat kota. Arus lalu lintas padat, tak disangka masyarakat juga membuang sampah saat melintas jembatan. Bahkan, pemerintah sempat memasang kamera pengawas (CCTV) di area itu.

Siti Aisyah, warga Kota Lama, mencuci baju dan mandi di sungai. “Kalau untuk minum, ambil air ke sumber,” katanya.

Dia juga terbiasa mandi, mencuci dan buang air besar di Sungai Brantas. Dia bilang, terbiasa sejak dulu langsung buang sampah ke sungai. Termasuk membuang popok sekali pakai, langsung ke sungai.

“Tak ada sarana membuang sampah. Jauh, harus ke atas dulu,” katanya.

Selain itu, petugas Dinas Lingkungan Hidup juga tak menjangkau permukiman warga. Perilaku sama juga dilakukan warga kampung lain yang hidup di bantaran sungai. Ada juga kampung yang berubah perilaku, seperti di Jodipan, Kedungkandang, Kota Malang.

Warga yang tinggal di kampung yang dikenal dengan sebutan kampung warna-warni atau Kampung Wisata Jodipan (KWJ), awalnya terbiasa membuang sampah ke sungai.

Soni Parin, Ketua RW2 Kelurahan Jodipan, bilang, perilaku warga berubah setelah permukiman kumuh ini jadi obyek wisata alternatif.

Perkampungan di bantaran sungai, katanya, menjamur sejak 1970-an. Banyak warga pendatang mendirikan rumah di tanah milik negara itu. Sanitasi, limbah domestik rumah tangga jadi masalah keseharian warga. Tak semua rumah memiliki kamar mandi dan toilet. Sebuah toilet umum digunakan warga bergantian.

“Dulu, membuang sampah ya, ke sungai, sekarang, malu banyak orang datang masa perilaku tetap sama,” kata Soni.

Kini, setiap hari ada petugas kebersihan mengangkut sampah, termasuk sampah pengunjung kampung warna-warni.

 

Sampah menumpuk di Bendungan Sengguruh, Kabupaten Malang mencapai 300 ribu meter kubik per tahun. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Rusak hulu dan teror sampah

Sungai Brantas, jadi sumber kehidupan bagi warga Jawa Timur. Ia mengalir sepanjang 320 kilometer melintasi 14 kabupaten dan kota di Jatim. Warga memanfaatkan air sungai untuk bahan baku air minum, irigasi, memenuhi bahan baku industri dan pembangkit listrik. Sayangnya, kini terjadi penurunan kuantitas maupun kualitas air di hulu hingga hilir.

Debit air berkurang ini ddiduga kuat karena terjadi kerusakan kawasan Lereng Gunung Arjuna, Penanggungan, Welirang, dan Anjasmara. Hulu di Sumber Brantas, Bumiaji, Kota Batu, terus menyusut.

Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim mengatakan, puluhan sumber air di hulu Batu,  mati karena kerusakan dan alih fungsi hutan. Data Walhi Jatim, pada 2005 ditemukan 215 sumber mata air, 2010 turun jadi 111. Kini tinggal sebagian.

Kajian Walhi Jatim memperlihatkan, terjadi kerusakan lingkungan di hulu hingga menyebabkan debit Sungai Brantas,  anjlok. Terdapat, alih fungsi kawasan hutan lindung di Kaki Gunung Arjuna, berubah jadi areal pertanian sayur-mayur, industri dan bangunan. “Terjadi alih fungsi lahan ke pertanian intensif,” katanya.

Alih fungsi ini juga menyebabkan penurunan kualitas air Sungai Brantas, termasuk pencemaran, berupa pestisida dan pupuk kimia dari pertanian sayur mayur di Sumber Brantas. Pencemaran limbah rumah tangga makin masif saat DAS Brantas, memasuki permukiman di Kota Batu dan Malang.

Warga bermukim di bantaran sungai membuang sampah, dan limbah rumah tangga masuk sungai. “Hingga pencemaran besar-besaran terutama dari limbah popok bekas yang terus memenuhi Brantas.” katanya.

Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) mendeklarasikan revolusi popok di depan Balai Kota Malang, Rabu (30/ 8/17).

Menyusul teror popok  di sepanjang Sungai Brantas. Ketua
Ecoton, Prigi Arisandi mengatakan, pencemaran limbah popok sekali pakai, terjadi sejak di hulu Brantas.

Ecoton menemukan, dua titik sungai tempat warga membuang popok dan sampah ke sungai. “Batu di Jembatan Sisir, Kota Malang di Jembatan Muharto.”

Popok sekali pakai, katanya, sekitar 70% mengandung plastik tak bisa daur ulang.

Saat dibuang ke sungai menimbulkan pencemaran berat, senyawa estrogenic yang mempengaruhi pertumbuhan ikan. Hasil penelitian mereka, sekitar 20% ikan mengalami intersex (berkelamin ganda).

 

Sampah di tepian Sungai Brantas. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

Kondisi ini, katanya, menyebabkan populasi ikan endemik Brantas, berkurang, seperti rengkik, wader, dan bloso. Ecoton, selama tiga bulan penyusuran di Surabaya, mengumpulkan 7,5 ton popok.

“Malang sekitar tiga kwintal. Popok dibuang melalui jembatan Jodipan, Muharto dan Sulfat,” katanya.

Koordinator Brigade Evakuasi Popok (BEP) Ecoton, Abdul Azis mengatakan, selama 15 tahun terjadi perubahan gaya hidup, banyak orangtua beralih dari popok kain pakai plastik sekali pakai.

“Popok sekali pakai dianggap praktis,” katanya.

Popok bayi menjadi kebutuhan utama nomor dua setelah susu dalam belanjaan rumah tangga. Setiap hari diperkirakan 3-6 juta sampah popok dibuang ke sungai. Dengan asumsi setiap bayi gunakan 4-9 popok per hari.

Mengacu UU Pengelolaan Sampah Nomor 18/2008,  popok bayi bekas masuk kategori residu sampah. Ia tak bisa didaur ulang hingga harus melalui metode sanitary landfill di tempat pembuangan akhir.

Selama ini, katanya, tak ada aturan khusus menangani sampah popok, termasuk tak ada sanksi bagi warga yang membuang popok sembarangan.

Raymond Valiant, Direktur Utama Perusahaan Umum Jasa Tirta I, menyebutkan, sekitar 60% limbah yang mencemari Brantas, dari rumah tangga. Selebihnya, limbah industri bahan beracun dan berbahaya.

Air Brantas  untuk bahan baku air minum 250 juta meter kubik pertahun, irigasi persawahan seluas 107 hektar, dan pembangkit listrik hasilkan 250 juta Kwh per tahun.

Total sekitar 16 juta penduduk memanfaatkan air sungai ini. Sampah mengalir menumpuk di Bendungan  Sengguruh, Kabupaten Malang. Volume rata-rata setiap tahun sampah dan sedimen sampai lima juta kubik.

Sedangkan kemampuan teknis mengeruk sampah dan sedimen hanya 300.000 meter kubik per tahun.

Sebagian sampah mengendap dan mengganggu bendungan. Dampaknya, produksi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Sengguruh, menurun. Awalnya, produksi listrik 29 Mega Watt, turun jadi sekitar 18 MW perhari. Kalau sedimentasi dan sampah terus berlanjut, bendungan terancam rusak.

Bendungan Sengguruh,  katanya, selain produksi listrik juga untuk mengendalikan dan menahan sedimen. Ia bertujuan menghentikan laju sedimentasi yang mengancam Waduk Sutami. Waduk berumur 47 tahun ini, merupakan bendungan utama untuk menampung air buat kepentingan pembangkit listrik, air industri, irigasi dan bahan baku air minum.

 

Keterangan foto utama: Brigate Evakuasi Popok ini mengangkut dua karung sampah popok bayi yang dibuang ke Sungai Brantas. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version