Mongabay.co.id

Problem Lama Belum Usai, Masalah Warga Winong Bakal Bertambah dengan PLTU Baru

Warga harus bertani bersampingan dengan PLTU Cilacap. Ancaman debu dan sumber air sulit mengancam warga. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Mobil bus membawa Presiden Joko Widodo dan rombongan keliling di area PLTU ekspansi 1 x 660 MW di Desa Karangkandri, Slarang, dan Manganti, Cilacap, Jawa Tengah, Februari lalu.

“Saya menghargai PLTU Cilacap, ini besar kapasitasnya dan menambah suplai energi listrik baik di Jawa maupun Bali,” kata Jokowi, dalam sambutan.

Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) saat memberikan laporan dalam acara peresmian PLTU Cilacap mengatakan, pembangkit yang menempati area sekitar 38,28 hektar ini dikembangkan anak perusahaan PLN, PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) dan PT Sumber Segara Primadaya (S2P).

“Terdapat peluang penambahan pelanggan baru hampir 700.000, tepatnya 682.000 dengan tambahan 660 MW untuk sistem Jawa Bali,” katanya.

Baca juga:  Derita Warga Cilacap Hidup Bersama Pembangkit Batubara

Dia mengklaim, PLTU Cilacap ekspansi I, menggunakan teknologi super-critical boiler berbahan bakar batubara low range dilengkapi electristastic precipitat dan flue gas desulpurization, didesain dapat beroperasi efisien dan ramah lingkungan. Proyek ini, katanya, menelan investasi US$ 899 juta dan menyerap tenaga kerja hingga 800 orang kala beroperasi.

“PLN sedang percepatan pembangunan PLTU Cilacap ekspansi II kapasitas 1×1.000 MW. Pembangkit ini dikembangkan PLN dan S2P.”

Ekspansi PLTU bagi perusahaan, bisa jadi pengembangan bisnis. Sedangkan bagi warga sekitar, bisa jadi masalah bakal bertambah.

“Sumur kami tercemar. Solusinya, dibantu PDAM. Artinya, kami harus bayar untuk dapat air bersih,” kata Riyanto warga Dusun Winong, Desa Slarang, Cilacap, Jawa Tengah.

 

Aksi warga Winong menuntut perusahaan dan pemerintah kabuoaten tanggung jawab atas limbah dan polusi PLTU di kampung mereka. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Riyanto, hidup di sekitar PLTU batubara di Cilacap. Limbah beracun mencemari sumur hingga mereka sulit air bersih. Pemukiman pun kena polusi debu.

Pada Februari 2019, warga aksi damai bersama puluhan warga Dusun Winong, Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Cilacap. Warga yang tergabung dalam Forum Masyarakat Winong Peduli Lingkungan (FMWPL) ini dihadang aparat.

Mereka sudah mengadu ke Bupati Cilacap atas pencemaran itu. Tim investigasi lingkungan awalnya dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta diganti tim Universitas Diponegoro. Tak ada transparansi hasil uji laboratorium air di sumur warga di Dusun Winong.

Baca juga: Keluhkan Polusi PLTU, Warga Cilacap Lapor ke Kementerian Lingkungan

Kondisi masyarakat sekitar PLTU batubara Cilacap makin menderita. Riyanto bilang, seharusnya pemerintah melindungi warga dari bencana.

“Keselamatan warga Dusun Winong dari bencana kekeringan, kualitas air, dan limbah bahaya PLTU batubara Cilacap makin terancam dengan ekspansi PLTU,” katanya.

Dusun Winong, berpenduduk 290 keluarga atau 877 jiwa. Hidup mereka bersebelahan dengan PLTU batubara membuat masyarakat harus menerima berbagai macam permasalahan seperti kekeringan, polusi, maupun kesehatan terancam.

Warga mulai merasakan masalah itu sejak 2006, kala saat PLTU pertama berkapasitas 2 x 300 Megawatt, berdiri.

 

Pelabuhan Ikan Desa Menganti yang berdekatan dengan lokasi PLTU Cilacap. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, S2P juga punya kapasitas 1x 660 Megawatt yang baru diresmikan Presiden Joko Widodo Februari lalu. Ekspansi unit III ekspansi 1×1.000 Megawatt. PLTU itu menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) berupa fly ash dan bottom ash.

Berdasarkan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) PLTU Cilacap Unit I dan II menyebutkan, PLTU Cilacap menghasilkan limbah abu terbang dan abu dasar 4.500 ton setiap bulan. Unit III belum diketahui.

Riyanto bilang, pembuangan limbah B3 berupa fly ash dan bottom ash berada di sebelah pemukiman warga. Tak pelak, debu sangat menggangu, lingkungan jadi tak sehat.

Dia meminta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan solusi bagi warga dan sanksi kepada PLTU Cilacap.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 101/2014 soal pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun mengatur, setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib pengelolaan limbah B3. Fakta di lapangan, katanya, S2P membuang abu terbang dan abu di lapangan terbuka.

Dia merasa, pemerintah minim dalam fungsi pengawasan dan pengendalian, maupun penegakan pelanggaran hukum PLTU. Seharusnya, kata Riyanto, pemerintah mengevaluasi perizinan penyimpanan sementara limbah B3.

“Kami berharap pemerintah tak diam melihat kondisi seperti ini.”

Berbagai upaya dilakukan warga. Dari aksi sampai pertemuan ke pertemuan. Pada Agustus 2018, ada kesepakatan antara warga dan Bupati Cilacap, membentuk tim investigasi penanganan limbah fly ash dan battom ash, serta persoalan air bersih warga. Tuntutan itu tidak kunjung dipenuhi.

Pada 12 Oktober tahun lalu, puluhan warga Dusun Winong, Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, mediasi dengan S2P, selaku pengelola PLTU Cilacap, di Aula Kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Cilacap.

Mediasi ini menyusul rekomendasi dari Tim Investigasi PLTU yang dibentuk Pemkab Cilacap 5 Oktober 2018 dan unjuk rasa warga Winong.

Tuntutan mereka, antara lain, PLTU harus mengembalikan ke zona awal seperti sebelum ada PLTU, PLTU segera memenuhi air bersih dengan cara apapun secara gratis. PLTU juga harus memindahkan tempat pembuangan fly ash dan bottom ash jauh dari permukiman warga Dusun Winong. PLTU juga harus mengganti rugi warga baik materiil dan non materiil dampak buruk selama ini.

Lagi, pada November 2018, ada kesepakatan antara perusahaan dan warga, yakni pemasangan air dari PDAM dan biaya bulanan selama dua tahun. Penanganan dampak debu, fly ash dan battom ash akan ditangani dengan paranet, penyiraman dan penghijauan.

Penggantian biaya pengeboran sumur dangkal di Dusun Winong, berbentuk uang. Juga masalah kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. “Hingga kini, kami masih menghirup asap, debu dan abu batubara,” kata Riyanto.

Kala penimbunan abu terbang dan abu dasar berlangsung menyebabkan intrusi air laut dan sumur–sumur warga mengering yang tak pernah terjadi sebelumya.

Jarak Ash Yard, sangat dekat, berbatas tembok setinggi 3-4 meter. Ketika ada angin bertiup buttom ash dan fly ash bertaburan. Kolam abu ternyata tak dilaporkan kepada Dinas Lingkungan Hiduo Cilacap.

 

Fahmi Bastian dari Walhi menuntut bupati memperhatikan persoalan air bersih, polusi dan limbah B3 dari PLTU yang berdampak kepada warga. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Warga pernah audiensi ke DLH Cilacap, jawaban mereka tak tahu sama sekali soal kolam itu.

“DLH juga tak mengecek dan pengawasan tak maksimal,” kata Riyanto.

Dwi Purwantoro Sasongko, dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro (Undip)–selaku tim investigasi bentukan Bupati Cilacap– mengatakan, rekomendasi dampak penurunan muka air tanah di sumur warga yakni, pemrakarsa (PLTU Cilacap) harus menyediakan air bersih pengganti, bisa menarik sumber dari PDAM dan instalasi ditanggung pemrakarsa.

Biaya pemasangan, katanya, juga ditanggung pemrakarsa sampai proses pemulihan lingkungan selesai. Pemrakarsa bisa membuatkan sumur khusus atau sumur artesis bagi penduduk, serahkan, dikelola penduduk. Pemrakarsa menanggung biaya pengeboran, biaya instalasi pipa sampai ke masyarakat.

“Sumber air lain seperti water toren didiskusikan ke masyarakat. Prinsipnya, pencemar harus bertanggung jawab terhadap pencemaran,” kata Dwi.

Adjar Mugiono, Kepala DLH Cilacap mengatakan, soal debu dan air akan dicari solusi. Dua opsi rekomendasi, yakni air PDAM dan air tanah masih perlu pembahasan dengan masyarakat. “Bagaimana caranya. Opsi pertama akan lebih mudah dan cepat, tinggal menyalurkan yakni PDAM.”

Bupati, katanya, mengajak PLTU membayar pemasangan instalasi air bersih PDAM ke Winong. Selama belum terpasang, masyarakat gunakan air toren lebih dulu.

Mengenai pencemaran udara, katanya, solusi menutup dengan terpal untuk mencegah debu atas (fly ash) dan debu bawah (bottom ash).

“Ternyata debu itu diambil Holcim. Sekarang, Holcim tidak lagi mengambil karena kualitas batubara turun,” kata Adjar.

Riyanto dan warga belum puas dengan hasil pertemuan lalu. Warga tak mau kalau pemasangan istalasi PDAM oleh PLTU. Warga menuntut air bersih. Kini, warga hanya menikmati air toren, berjumlah 11.

“Apalagi akan ekspansi lagi 1.000 megawatt, tentu dampak polusi debu dan air bersih makin besar dan meluas,” kata Rianto.

Fahmi Bastian dari Walhi mengatakan, aktivitas penimbunan dan pembuangan limbah B3 ini jelas menimbulkan dampak perburukan kualitas lingkungan dan melanggar peraturan perundang-undangan karena tak berizin.

Kajiannya memperlihatkan, S2P tak memiliki izin pengelolaan limbah B3 untuk penimbunan.

Chusnul Faridh, Kepala Seksi Pengaduan Kehutanan Dirjen Penegakan Hukum KLHK berjanji, menindaklanjuti sesuai prosedur Permen LHK 22/2017.

Sebelumnya, supervisor LK3 S2P, Zam Zam Nurjaman mengatakan, beberapa tuntutan warga sudah disepakati. Penggantian dengan uang hanya sumur bor.

“Untuk persoalan kesehatan ke depan kita Insya Allah siap. Pengobatan berkala dan apabila memang sakit karena dampak PLTU akan kita dampingi dan dibiayai.”

Sedangkan pemasangan PDAM, mereka sedang survei. Berdasarkan data survei, katanya, berapapun biaya harus dikeluarkan. “Kami akan pengelolaan dan pemantauan sesui dokumen amdal.”

Fahmi Bastian, dari Walhi Jawa Tengah kepada Mongabay mengatakan, aktivitas penimbunan dan pembuangan limbah B3 ini jelas menimbulkan perburukan kualitas lingkungan. Ia juga melanggar peraturan perundang-undangan karena tak memiliki izin. KLHK, katanya, harus segera menindak tegas.

Berdasarkan temuan Walhi, S2P tak memiliki izin pengelolaan limbah B3 untuk penimbunan limbah B3. Pembuangan limbah B3 ke tanah terbuka tanpa memiliki izin jelas pelanggaran. Dia mendesak, Direktorat Penegakan Hukum KLHK menginvestigasi kasus ini.

Komisi Nasional HAM, katanya, juga diminta menindaklanjuti laporan warga dan lakukan investigasi serta keluarkan rekomendasi.

Serupa dikatakan Bagus Ginanjar M, dari Jaringan Peduli Lingkungan Cilacap (JPLC). Dia meminta, KLHK menindak pelanggaran PLTU Cilacap setelah temuan penimbunan limbah B3.

 

Keterangan foto utama:  Warga harus bertani bersampingan dengan PLTU Cilacap. Ancaman debu dan sumber air sulit mengancam warga. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version