Mongabay.co.id

Mewaspadai Kematian Badak Jawa di Ujung Kulon

 

 

Manggala, badak jawa [Rhinoceros sondaicus] jantan, ditemukan mati pada Kamis [21/3/2019]. Badak usia 30 tahun itu, didapati tak bernyawa oleh Tim Rhino Health Unit [RHU] Taman Nasional Ujung Kulon [TNUK] di Blok Citadahan, Resort Cibunar, Seksi Pengelolaan Taman Nasional [SPTN] II Pulau Handeulem.

Sebagaimana dijelaskan dalam situs Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bangkainya utuh dan bercula dengan bentuk benjolan atau dinamakan cula batok. Diperkirakan, kematiannya kurang dari 12 jam saat tim RHU tiba.

”Usianya masih muda, cula belum begitu menonjol,” terang Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dia menduga, Manggala mati bukan karena usia.

Wiratno yakin, kematian ini bukan karena perburuan liar. Sistem patroli di TNUK kuat dan aman. “Perlu didalami dan menunggu hasil nekropsi,” katanya. ”Manggala diduga kena serangan badak dewasa,” terang Anggodo, Kepala TN Ujung Kulon sebagaimana penjelasannya kepada Mongabay Indonesia.

 

Manggala, badak jawa jantan yang ditemukan mati pada Kamis [21/3/2019], di Blok Citadahan, Resort Cibunar, Seksi Pengelolaan Taman Nasional [SPTN] II Pulau Handeulem, Ujung Kulon. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

 

Tahun lalu, 23 April 2018, seekor badak jawa bernama Samson ditemukan mati di Pantai Karang Ranjang, bagian selatan Ujung Kulon. Hasil uji patologi menunjukkan, kematian badak jantan dewasa ini akibat torsio usus [usus besar dan usus kecil terpuntir]. Bakteri mikroflora usus melepaskan racun, menyebar ke seluruh tubuh dan merusak organ dalam tubuh.

Populasi badak jawa terakhir diperkirakan sekitar 68 individu: 57 dewasa dan 11 anakan, dengan 37 jantan dan 31 betina. Dengan komposisi populasi seperti ini, sex ratio jadi tidak seimbang. Jika rekomposisi populasi di perluasan habitatnya di Javan Rhino Study Conservation Area [JRSCA] di Gunung Honje, Taman Nasional Ujung Kulon, tidak memperhatikan kekerabatan secara genetik antara jantan dan betina yang masih produktif, yang akan muncul adalah generasi lemah. Dikhawatirkan, angka kematian tinggi. Kepunahan badak jawa dari muka Bumi akan terjadi.

 

Bagian tubuh Manggala. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

 

Kematian di alam

Pertengahan abad ke-19, disebutkan ada sepasang badak jawa yang dipelihara di halaman pendopo Kesultanan Solo [Blyth, 1862]. Namun, tidak ada referensi menyatakan berapa lama satwa langka itu dipelihara. Informasi ditangkap dari daerah mana, maupun berita kematian beserta rangka dan culanya disimpan tidak diketahui.

Pada 1978, ditemukan seekor badak jawa mati di pinggaran Sungai Cidaon, seberang Pulau Peucang, ujung barat Ujung Kulon. Kematian badak bernama “Si Kanyere,” ini dianggap wajar karena usia yang tua [Sadjudin, 1984]. Begitu pula, badak jawa yang didapati mati di Sungai Cikalejetan, wilayah pantai selatan Semenanjung Ujung Kulon pada 1994, disebabkan faktor usia.

Di alam, badak umumnya dapat bertahan hidup hingga umur 35-40 tahun. Namun, untuk yang dipelihara di kebun binatang, badak afrika [Ceratotherium simum] dan badak india [Rhinoceros unicornis] dapat mencapai usia 40-45 tahun. Jika berusia lanjut, kondisi gigi premolar dan gigi molar atau yang disebut geraham akan aus, tergerus sewaktu mengunyah makanan, sehingga sulit memperoleh asupan makanan.

Jenis-jenis tumbuhan pakan biasanya berupa kulit batang pohon, yang mengandung lignin. Fungsinya, memperkuat atau memperkokoh tulang. Apabila geraham sudah tergerus pada usia tua, pada badak jawa maupun badak sumatera, akan menghindari mengunyah jenis pakan tersebut, meski sangat dibutuhkan untuk mempertahankan hidup.

 

Nekropsi yang dilakukan terhadap Manggala, untuk identifikasi lebih detil. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

 

Masih terjadi

Februari 1982, dalam waktu satu bulan, ditemukan lima badak jawa mati di sekitar Cibandawoh, Karangranjang, dan Kalejetan yang merupakan pantai selatan Ujung Kulon. Dua badak jantan, dua betina dan seekor anak itu, mati akibat penyakit “ngorok” atau Septicimia epizoitica.

Sebelum diketahui penyebabnya, para pakar nasional maupun internasional, berspekulasi perihal kematian tersebut. Ada yang memprediksi penyakit zoonosis, seperti anthrax; ada pula disebabkan keracunan pakan, seperti tumbuhan belukar cente [Lantana camara] yang mengandung zat aktif Lantaden A. Zat ini jika dikonsumsi sapi yang satu keluarga dengan banteng [Bos javanicus] akan menyebabkan kulit melepuh, seperti terbakar dan pori-pori mengalami pendarahan.

Ini sudah terjadi pada badak afrika, yang mengkonsumsi jenis tumbuhan cente, mengalami hal serupa sapi. Cente diketahui para peneliti di Ujung Kulon, juga merupakan salah satu tumbuhan yang dikonsumsi badak jawa. Namun hingga saat ini belum ada yang meriset. Sadjudin [1986] menemukan tujuh kali badak jawa memakan cente di hutan selatan Ujung Kulon.

Badak jawa merupakan mamalia besar terlangka di dunia. International Union for Conservation of Nature [IUCN] menetapkan statusnya Critically Endangered/CR atau Kritis, berarti satu langkah menuju kepunahan di alam liar. Badak jawa yang berada di Vietnam, punah pada 2011. Di Indonesia, badak jawa dilindungi PermenLHK No 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

 

Induk badak bernama Puri bersama anaknya yang terpantau kamera jebak. Foto: Dok. Balai Taman Nasional Ujung Kulon

 

Usia tua

Sejauh ini, badak jawa yang mati alami sejak 1975 hingga 2019 diketahui ada 9 individu. Populasinya di Ujung Kulon, diperkirakan lebih dari 50 persen berumur di atas 35 tahun. Batas usia diambang kematian karena terlalu tua.

Kondisi ini harus diwaspadai, mengingat kecenderungan menuju kepunahan semakin besar. Tindakan darurat harus segera dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

  1. Identifikasi badak jantan dan betina produktif di bawah umur 35 tahun
  2. Lakukan pengecekan kekerabatan jantan dan betina produktif tersebut
  3. Fungsikan JRSCA sebagai Conservation Breeding Area [CBA] dengan membangun Javan Rhino Sanctuary [JRS], seperti Sumatran Rhino Sanctuary [SRS] di Taman Nasional Way Kambas untuk badak sumatera
  4. Bangun koridor alami antara Cibandawoh-Karangranjang-Kalejetan di selatan, dan Cigenter-Cihandeuleum-Cikokosan-Cilintang di utara. Koridor ini menghubungkan konsentrasi populasi badak jawa di Semenanjung Ujung Kulon dengan JRSCA di dataran rendah Gunung Honje
  5. Perluasan habitat di wilayah JRSCA dengan membangun koridor badak jawa dari Cilintang-Cimahi-Cibiuk, untuk menghubungkan wilayah JRSCA bagian utara. Sehingga luas JRSCA yang 5.000 hektar menjadi 10.000 hektar sebagai habitat baru badak jawa di Ujung Kulon. Selama ini, populasi badak jawa hanya menempati 50 persen dari luas 12.000 hektar habitatnya di Semenanjung Ujung Kulon
  6. Pengendalian langkap [Arenga obtusifolia] harus dipercepat dan diperluas, baik di Semenanjung Ujung Kulon maupun wilayah JRSCA di dataran rendah Gunung Honje
  7. Kajian mendalam mengenai biomassa tumbuhan cente yang dapat membahayakan keberlangsungan hidup badak jawa
  8. Meski perburuan ditengarai tidak terjadi lagi sejak 1974, patroli intensif tetap dilakukan dan ditingkatkan, sebagaimana Rhino Protection Unit [RPU]
  9. Keberhasilan CBA (JRS) dan perluasan JRSCA akan sangat menentukan pemindahan sebagaian populasi badak produktif dan kekerabatan genetiknya ke “rumah kedua” [second habitat] bagi badak jawa di luar kawasan Taman Nasional Ujung Kulon

 

Semua rencana tersebut harus dituangkan dalam rencana aksi darurat, Emergency Action Plan [EAP] yang merupakan bagian terpenting dari Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Badak Indonesia 2019-2024, khususnya badak jawa di TNUK. Hal ini, sebagaimana Rencana Aksi Darurat Penyelamatan Populasi dan Habitat Badak Sumatera yang telah ditetapkan Dirjen KSDAE pada 6 Desember 2018, Nomor: SK. 421/KSDAE/SET/KSA.2/12/2018.

 

Referensi:

Blyth, E. A memoir on living Asiatic species of Rhinoceros. J. Asiatic Soc. 31: 151-175, Bengal, 1862.

Hoogerwerf. A. Udjung Kulon the Land of the Last Javan Rhinoceros. E.J. Brill, Leiden, 1970.

Sadjudin, H.R. Studi Perilaku dan Populasi Badak Jawa [Rhinoceros Sondaicus Desmarest, 1822] di Ujung Kulon. Fak. Biologi. Univ. Nasional, Jakarta, 1986 [Skripsi Sarjana Penuh Biologi].

Sadjudin, H.R. Terancam Punah, Haruskah Badak Jawa Bertahan di jung Kulon? Mongabay.co.id., 27 December 2018.

Schenkel, R. and Schenkel, L.H. The javan rhinoceros [Rh. sondaicus Desm] in Udjung Kulon Nature Reserve. Its ecology and behaviour, Field Study 1967-1968. Acta Trop. 26: 97, 1969.

Schenkel, R., Shenkel, L.H. and Ramono, W.S. Area Management for the javan rhinoceros [Rhinoceros sondaicus Desm] a pilot study, The Malayan Nat. J. 31: 253-275, 1978.

Talbot, L.M. A look at the threatened species. Oryx 1: 153, 1960.

 

*Haerudin R. Sadjudin, Peneliti badak senior, lebih 40 tahun terlibat program konservasi badak di Indonesia

 

 

Exit mobile version