Mongabay.co.id

Bagaimana Impor Sampah Indonesia Pasca Konvensi Basel?

 

Konvensi Basel PBB di Geneva, Switzerland menyatakan produsen sampah plastik besar harus mendapatkan persetujuan sebelum mengekspor sampah beracun mereka ke negara-negara di Selatan. Apa yang dilakukan Indonesia untuk mengawasi impor sampah ini?

Pada 10 Mei 2019, sebanyak 187 negara mengambil langkah besar untuk mengendalikan krisis perdagangan plastik dengan memasukkan plastik ke dalam Konvensi Basel. Suatu perjanjian yang mengontrol pergerakan sampah dan limbah berbahaya beracun dari satu negara ke negara lain, terutama dari negara maju ke negara berkembang.

Demikian siaran pers yang diterima Mongabay dari Yuyun Ismawati, salah satu aktivis lingkungan yang fokus di isu limbah berbahaya dari hasil pertemuannya di Konvensi Basel.

Perjanjian Basel akan meminta eksportir untuk memperoleh persetujuan dari negara penerima sebelum limbah yang tercemar bercampur. Atau menerima sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang, dikirimkan ke negara tujuan.

baca : Kenapa Rencana Impor Sampah Plastik Harus Dilarang?

 

Sejumlah warga terlihat memulung di tempat pembuangan sampah (TPA) Kaliori, Banyumas, Jateng, yang kembali dibuka pada pekan lalu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Cina melarang importasi hampir semua jenis plastik pada tahun 2018, namun negara-negara berkembang khususnya di Asia Tenggara, menerima kiriman sampah plastik tersebut. Amandemen Konvensi Basel ini dinilai membantu negara-negara berkembang menggunakan hak mereka untuk menolak menerima sampah plastik yang tak diinginkan dan tidak dikelola di negara lain.

Dukungan warga juga dimobilisasi, lebih dari satu juta tandatangan dari seluruh dunia mendukung dua petisi publik lewat platform Avaaz dan SumOfUs. Beberapa negara yang menentang masuknya sampah plastik ke dalam Annex II Konvensi Basel di antaranya Amerika Serikat, negara pengekspor sampah plastik terbesar di dunia, Dewan Kimia Amerika (American Chemistry Council), suatu kelompok pelobi dari industri petrokimia yang berpengaruh, dan Lembaga Industri Daurulang Skrap (Institute of Scrap Recycling Industries), sebuah asosiasi pebisnis perantara (broker) limbah.

“Yang paling terdampak pada putusan ini adalah Amerika Serikat dan broker atau traders. Amerika tidak meratifikasi Konvensi Basel jadi sebetulnya tidak boleh melakukan transaksi dengan negara-negara party Basel,” urai Yuyun saat dikonfirmasi Mongabay.

Keputusan ini menurutnya memaksa semua negara untuk menetapkan standar yang lebih tinggi untuk mengelola sampah plastik dengan baik. Agar plastik yang mengandung bahan berbahaya beracun yang dibuang oleh masyarakat kaya di negara lain tidak akan mencemari dan membebani masyarakat miskin di negara lain.

baca juga : Menagih Peran Para Pihak Tangani Sampah Plastik di Laut

 

Tumpukan sampah di pesisir pantai. Sampah di laut membahayakan bagi biota laut dan juga manusia bila masuk ke rantai makanan. Foto : kkp.go.id

 

Von Hernandez, Global Coordinator Break Free from Plastic menyebut keputusan ini merupakan langkah penting untuk menghentikan memperlakukan negara berkembang sebagai tempat pembuangan sampah plastik dunia, terutama sampah plastik dari negara-negara kaya. “Negara-negara penerima sampah campuran dan sampah plastik yang tidak dipilah dari negara-negara maju sekarang punya hak untuk menolak menerima pengapalan sampah-sampah yang bermasalah,” paparnya.

Sebaliknya mendesak negara-negara pengirim untuk memastikan ekspor plastik yang bersih, dan hanya yang dapat didaurulang. Meskipun demikian, daurulang saja tidak cukup karena produksi plastik harus dikurangi secara signifikan untuk menyelesaikan krisis pencemaran plastik ini.

Break Free From Plastic pernah merilis penelitian soal tanggung jawab perusahaan pada limbahnya di Bali jelang Our Ocean Conference pada 2018 lalu dan menawarkan sejumlah solusi.

Martin Bourque, Executive Director, Ecology Center, California dalam siaran pers ini menyatakan daurulang seharusnya merupakan bagian dari solusi, dan peraturan ini akan membantu mencegah sampah yang dapat didaurulang menjadi sumber pencemaran.

“Afrika sangat paham apa yang disebut sebagai tempat pembuangan sampah dari pengalaman kami sebagai tempat pembuangan sampah elektronik negara-negara maju. Keputusan ini akan membantu mencegah benua Afrika menjadi tempat pembuangan sampah plastik setelah negara-negara di Asia menutup semua pintu,” Dr Tadesse Amera, Co-Chair, International Pollutants Elimination Network (IPEN) Ethiopia.

Prigi Arisandi, pendiri Ecoton, Indonesia berharap kesepakatan ini berdampak. Pihaknya akan melanjutkan memantau perdagangan sampah plastik dan mendorong pemerintah untuk mengelola dan mengontrol sampah plastik yang diimpor dengan baik. Ia minta pemerintah Indonesia untuk memperketat pengaturan dan Bea Cukai memperkuat kontrol masuknya sampah plastik.

Tim Grabiel, Senior Lawyer, Environmental Investigation Agency (EIA) menyatakan amandemen Konvensi Basel adalah pilar penting arsitektur global untuk mengatasi pencemaran plastik. Badan-badan internasional lainnya sekarang harus melakukan bagian mereka, termasuk langkah-langkah ambisius di bawah IMO (International Maritime Organisation) dan akhirnya perjanjian PBB baru yang akan mengikat secara hukum.

baca juga : Break Free From Plastic: Paksa Perusahaan Ubah Produksi Sampah

 

Partisipan World Clean Up Day bersama relawan Greenpeace mengumpulkan sampah plastik di Pantai Kuk Cituis, Tangerang Banten pada Jumat (15/9/2018). Foto : Greenpeace Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Kebocoran sampah impor dari industri ke warga

Mongabay Indonesia beberapa kali mempublikasikan kebocoran impor sampah ini ke warga termasuk sampah plastik, tanpa disadari dampak pembakarannya.

Ecoton mencatat sampah kertas dan plastik impor membanjiri Indonesia sejak Tiongkok menghentikan impor sampah dari Inggris Januari 2018. Pemerintah Tiongkok menghentikan impor sampah lantaran menimbulkan masalah bagi kesehatan.

Pada 2017 Inggris mengekspor sampah ke Tiongkok 85.000 ton. Setelah pelarangan, sampah dialihkan ke sejumlah negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia importir terbesar sekitar 70.000 ton dan Indonesia 20.000 ton.

Pada 2018, impor sampah makin meningkat. Di Jawa Timur, terdapat delapan industri kertas yang mengimpor bahan baku dari luar negeri. Pabrik tersebar di Mojokerto, Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Nganjuk dan Malang. Sampah plastik impor ini disembunyikan dalam tumpukan kertas.

Volume sampah plastik mencapai 60% dari dibanding sampah kertas. Dalam sebulan sekitar 9.000-an kontainer sampah impor masuk Jawa Timur. Pabrik daur ulang kertas juga mengimpor plastik ilegal.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengajukan izin rekomendasi impor sampah ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya tertanggal 1 November 2018. Airlangga dalam surat menyebutkan, kebutuhan bahan baku plastik nasional 5,6 juta ton, bahan baku plastik virgin bisa terpenuhi 2,3 juta ton, impor 1,6 juta ton. Jadi, masih perlu sisa (skrap, reja) plastik impor sebagai bahan baku industri plastik.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat itu (2/2/2019) menyatakan memahami industri sangat perlu bahan baku dalam jumlah banyak. Namun, harus memperhatikan masalah lingkungan. Impor skrap pastik bisa dibuka asal tak menimbulkan masalah baru dan jadi sampah di negeri ini.

perlu dibaca : Ketika Sampah Impor Banjiri Jawa Timur

 

Aksi aktivis Ecoton dan Posko Ijo di depan patung Gubernur Soerjo, di seberang gedung Negara Grahadi terkait Jawa Timur darurat limbah bahan berbahaya beracun. Foto: Petrus Riski

 

The Jakarta Post menulis, impor sampah Indonesia disebut meningkat dari 10,000 ton per bulan pada akhir 2017 menjadi 35,000 ton per bulan pada 2018.

Menurut data Greenpeace eksportir sampah terbanyak ke Indonesia adalah Inggris dengan sekitar 67,807 ton pada Januari-November 2018, diikuti Jerman 59,668 ton, Australia 42,130 ton. Berikutnya Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Belgia, Prancis, Spanyol, dan Hongkong.

Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) merilis beberapa negara ASEAN telah merespon perubahan perdagangan sampah plastik global ini dengan pembatasan impor. Pada Juli 2018, pemerintah Malaysia mencabut izin impor 114 perusahaan dan telah menargetkan pelarangan impor pada 2021. Thailand juga menargetkan pelarangan impor sampah plastik akibat kenaikan drastis impor sampah plastik mereka dari Amerika sebesar 2.000% (91.505 ton) pada 2018. Vietnam pun sudah tidak lagi mengeluarkan izin baru untuk impor sampah dan reja plastik, kertas, serta logam.

Kebijakan pengetatan impor Cina dimulai dengan berlakunya Operation Green Fence yang berjalan pada tahun 2013 selama 8 bulan, dan dilanjutkan dengan notifikasi ke World Trade Organization pada November 2017, hingga secara resmi berlaku dengan nama yang dikenal dengan National Sword pada Maret 2018 lalu.

Indonesia terdampak dengan peningkatan impor sampah dari 124.433 ton impor pada 2013 menjadi 283.152 ton pada 2018. Merupakan titik tertinggi impor Indonesia selama 10 tahun terakhir berdasarkan data BPS dan UN Comtrade.

Pada tahun 2018, data BPS menunjukkan peningkatan impor Indonesia sebesar 141% (283.152 ton) namun dengan angka ekspor yang menurun 48% (98.450 ton). Angka ini menandakan ada 184.702 ton sampah yang masih ada di Indonesia, di luar beban pengelolaan sampah domestik di negara sendiri.

Transaksi ekspor dan impor di Indonesia beroperasi dari entitas industri ke industri, namun di lapangan ditemukan praktik beberapa perusahaan yang kembali menjual atau memberikan sampah dan reja plastik mereka kepada pelapak luar di luar sistem industri mereka.

 

Limbah non-B3 skrap plastik dari Amerika dan Inggris mendominasi sampah impor di Indonesia. Volume sampah impor ini meningakt setelah operasi national sword oleh Cina untuk menghentikan sumber pencemaran lingkungan dari sektor daur ulang. Foto : Yuyun Ismawati/BaliFokus/Nexus3

 

Rekomendasi AZWI untuk pemerintah adalah meninjau kembali kebijakan dan regulasi mengenai importasi sampah dan skrap, khususnya plastik dan kertas. Membatasi bahan tercampur/kontaminan pada sampah dan skrap plastik/kertas yang diimpor hingga kurang dari 0.5%.

Mengembangkan sistem yang memampukan dan insentif untuk tingkatkan prosentase daurulang dari sampah di dalam negeri. Melarang penggunaan bahan-bahan B3 sebagai aditif plastik dan saat mendaurulang plastik. Mengevaluasi kembali perusahaan yang memiliki ijin impor plastik dan paper scrap apakah sesuai perijinan dan tidak mencemari lingkungan.

 

 

Exit mobile version