- Wallacea merupakan kawasan yang menyimpan keragaman hayati luar biasa. Wilayah ini terdiri ribuan pulau yang berada di antara kawasan Oriental dan Australasia. Pulau-pulau ini masuk tiga kelompok: Sulawesi dan pulau satelitnya, Kepulauan Maluku, serta Kepulauan Nusa Tenggara
- Namun, sebagian hayati di kawasan Wallace masuk daftar terancam punah IUCN, akibat perusakan, pemanfaatan berlebihan, maupun invasi spesies asing
- Di Pulau Buano, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, misalnya, tidak semua masyarakat mengetahui flora-fauna endemis. Mereka hanya tahu keragaman hayati berlandaskan kebudayaan setempat dengan memegang tradisi nenek moyang
- Kerusakan lingkungan terjadi di Buano, akibat kemiskinan, hanya ada dua pilihan pekerjaan masyarakat: petani atau nelayan. Kini, mereka telah menghidupkan aturan kewang atau para penjaga darat maupun laut untuk menjaga alam dan keragaman hayatinya
Baca: Petunjuk Luar Biasa Wallace di Nusantara
“Dong [kalian] ingin buat perahu pasti datang kemari ke negeri katong [desa kami],” ucap warga Desa Induk, Buano, Kepulauan Maluku, Ayub Demison Musapelalan [52], ketika bercerita tempat tinggalnya.
Ayub memang punya kenangan manis. Dulu, dia berjaya. Bisa dibilang Ayub satu dari sekian banyak warga yang handal membuat perahu di Buano.
Buano tersohor. Potensi alam melimpah, termasuk keragaman vegetasi hutan menjadikan kawasan itu penghasil kayu terbaik. Ayub bahkan berani bertaruh. Tidak ada jenis kayu dari pelosok negeri di Maluku sebaik di kampung halamannya.
“Kayu lasi, linggua, sureng, kenari dan sinar. Semua itu paling bagus, kayu kelas satu di sini,” ujarnya kepada Mongabay baru-baru ini.
Cerita manis itu kini hambar, seiring kerusakan hutan akibat pembalakan. Kayu terbaik itu jadi sulit didapat, berimbas pada para pembuat perahu yang tidak bisa lagi bergiat.
Tidak hanya itu, menurut pria paruh baya tersebut, terjadi juga krisis air bersih. Bila kemarau datang, air di kawasan itu berubah payau. Kondisi yang memaksa warga mencari jauh ke hutan, sampai sembilan kilometer.
“Masyarakat susah mencari air untuk masak dan minum,” katanya. Belakangan, air yang ada terlihat keruh, kurang bisa diandalkan.
“Saya tidak tahu bagaimana agar air tetap ada. Sejauh ini tetua adat sudah coba menghidupkan aturan agar tidak tebang pohon sembarang. Itu saja yang dapat dikerjakan,” ungkap Ayub, yang disumpah sebagai Kepala Soa Sinohi, tiga bulan lalu. Diantara peran kepala soa [kepala adat] adalah menerbitkan aturan sejalan aturan adat.
Negeri adat
Pulau Buano memang terkenal sebagai negeri [desa] adat sejak lama. Setidaknya, ada 9 soa yang merupakan warga asli di pulau seluas 13.500 hektar itu. Arti soa ibarat subdivisi dari desa yang terdiri dari klan semacam eksogami.
Secara administratif, pulau dengan populasi penduduk 18.000 jiwa ini berada di Kecamatan Huamual Belakang, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Memiliki dua negeri defenitif, Buano Utara yang membawahi empat dusun dan Buano Selatan sebanyak dua dusun.
Sebagai wilayah adat, Negeri Buano dipimpin Raja. Formasi dalam menjalankan pemerintahan sedikt berbeda. Jabatan Raja sejajar kepala desa yang kemudian membawahi jabatan pendukung seperti perangkat desa, kepala soa, saniri negeri [dewan desa], dan kaur [kepala urusan].
“Di Buano, sedikit ada perbedaan birokrasi. Di sini, pemimpin adat memiliki kuasa atas regulasi yang berlaku,” kata Noni Tuharea, Koordinator Program Lembaga Partisipasi Pembangunan Masyarakat [LPPM] di Maluku, lembaga swadaya yang mendampingi masyarakat Buano tiga tahun terakhir.
Meskipun Buano dikenal sebagai negeri adat, menurut Noni, hampir tiga dekade aturan yang ada tidak berjalan, ada masalah berkepanjangan. Menariknya, Buano merupakan satu dari sekian banyak negeri adat yang mempertahankan kearifan lokalnya.
Jabatan adat, kata Noni, masih eksis. Akan tetapi, fungsinya perlahan memudar akibat perkembangan zaman. Padahal, institusi adat berperan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Biang keladi
Kemiskinan dianggap biang keladi. Degeredasi hutan dan kerusakan laut akibat kondisi itu. Sebab, pekejaan utama di Buano hanya ada dua pilihan: nelayan atau petani. Di sisi lain, dua pekerjaan itu sangat bergantung pada sumber daya alam dan perubahan iklim.
Jafar Hitimala [56], petani kayu putih mulai merasakan dampak perubahan itu. Dia kesulitan mendapatkan kayu bakar dan sumber air untuk keperluan penyulingan ketel. Tiap panen 500 kilogram daun kayu putih, dia butuh kayu bakar minimal enam kubik.
Jafar mengatakan, setelah disuling minyak kayu putih yang dihasilkan sekitar 2,5 – 3,5 liter. Tiap satu liter dijual Rp200.000. Dia merasa penghasilanya terasa lebih besar pasak ketimbang hasil yang didapat.
Padahal sejak lama, kayu putih menjadi komoditas unggulan Buano. Terdapat 300 ketel yang masih bertahan hingga saat ini.
Kondisi kurang beruntung juga dirasakan Sitri Hitimala [30], buruh tani pemetik daun kayu putih. Dia hanya dibayar Rp500 tiap kilogram. Saat panen tiba, dia harus berjalan kaki sejauh 10 kilometer melawati bantuan karst menuju kebun dari rumahnya di Desa Induk.
Perlahan sadar
Permasalahan lingkungan di Buano telah didiagnosis. Sepengetahuan Noni, wilayah Buano masuk kawasan keanekaragaman hayati Wallacea. Wilayah peralihan ekosistem yang menghubungkan bentang Asiatik dan Australia, yang mencakup wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan termasuk Timor Leste.
Tahun 2013, Burung Indonesia, Wildlife Conservation Society, BirdLife International, Samdhana Institute dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut Institut Pertanian Bogor melakukan kajian. Kegiatan ini masuk skema Program The Critical Ecosystem Partnership Fund [CEPF] atau Dana Kemitraan Ekosistem untuk penyusunan profil ekosisten kritis dan rentan di Wallacea.
Wallacea dipilih karena keragaman hayati endemisnya paling tinggi. Namun, sebagian hayati di kawasannya masuk daftar terancam punah IUCN, akibat perusakan, pemanfaatan berlebihan, maupun invasi spesies asing.
Berdasarkan catatan Mongabay Indonesia [14 Juni 2013], hasil kajian ekosistem diharapkan mampu memberikan informasi menyangkut kawasan paling rentan terhadap kerusakan, sehingga ada rujukan ikhwal langkah pemulihan. CEPF mengucurkan dana hibah senilai USD5 juta untuk membiayai program berdurasi lima tahun itu. Tahun ini, menjadi batas akhir kajian.
Project Team Leader CEPF-Wallacea Pete Wood, kepada Mongabay-Indonesia, ketika itu menyebut bahwa pembangunan ekonomi berkelanjutan jadi jalan tengah melindungi kehati. Demi mewujudkannya, CEPF berpatokan pada prinsip konservasi hanya akan bisa berjalan di tingkat lokal jika direncanakan dan dilaksanakan atas dasar keterlibatan masyarakat.
Noni pun berprinsip sama. Dia berpandangan, potensi biodiversity di daerah memang melimpah. Sebagai contoh, berdasarkan survei Coral Triangle Center, keanekaragaman jenis ikan dan terumbu karang di Pulau Buano menempati posisi 3 terbanyak, di Provinsi Maluku.
“Pikiran kami sederhana, jika fungsi adat direvitalisasi maka secara otonom masyarakat Buano bisa melestarikan sumber daya alamnya. Mereka memiliki potensi hutan maupun laut,” ujarnya.
Selama tiga tahun mendampingi, kabar baiknya adalah delapan dari sembilan soa, rutin membahas perlindungan wilayah adat. Salah satunya, menghidupkan aturan kewang atau para penjaga darat maupun laut.
“Mereka dipilih dan mengabdi tanpa bayaran. Padahal tugasnya berat, menjaga kawasan sesuai aturan adat,” papar Noni. Setelah ada kewang, tidak ada lagi yang berani melanggar. Pelanggar akan dikenai sanksi adat. Kini, kondisi Buano perlahan lebih baik.
Pada 2017, Pemerintah Provinsi Maluku melalui Dinas Kelautan dan Perikanan menyusun Rancangan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil [RZWP3K]. Perairan Pulau Buano diusulkan menjadi Kawasan Konservasi Perairan [KKP] dengan luas mencapai 30.454,357 hektar. Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan SK.854/Menhut-II/2014 yang menetapkan hutan di Buano sebagai Kawasan Hutan Lindung.
Meski begitu, Noni sedikit gusar. Dia menyinggung peran serta pemerintah daerah yang seolah masih setengah hati menjalankan progam konservasi. Dukungan terhadap masyarakat adat yang terbilang minim. Apalagi Buano, ungkap Noni, sedang mengahadapi persoalan dilematis. Laju pertumbuhan sangat cepat. “Dampaknya besar sekali. Sumber air terbatas, kepadatan dan pencemaran akan meningkat. Ini bisa jadi bom waktu,” keluh Noni.
Di tepian pantai, seseorangan lelaki tua berwajah kusut baru saja menepikan perahu. “Itu Bapak Sudin Mahelatu, salah satu Kewang Laut di sini. Biasanya, dia akan patroli sepulang mencari ikan,” jelas Noni. Sudin hanya tersenyum, bergegas pulang sembari mengangkat ikan di keranjang, meninggalkan matahari terbenam di negeri adat itu.