Mongabay.co.id

Ketika Pemelihara Satwa Dilindungi Minim Terjerat Hukum

Anak orangutan Sumatera dipelihara seorang pejabat Aceh Barat Daya, OIC membantu BKSDA Aceh mengevakuasi dan tak ada proses hukum. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kalau mau mencari rumah yang memelihara satwa langka dan dilindungi di Indonesia, bukan perkara susah alias masih banyak orang memelihara walau secara aturan dilarang. Hingga kini, penegakan hukum bagi para pemelihara satwa minim sekali. Padahal, pemelihara merupakan rantai terakhir bagi perburuan dan perdagangan satwa dilindungi.

Dwi Nugroho Adiasto, Regional Wildlife Trade Specialist, Wildlife Conservation Unit (WCU) kepada Mongabay, ketika berada di Medan, Sumatera Utara, mengatakan, hukuman bagi penampung, pemburu dan penyelundup satwa dilindungi di Indonesia lebih besar ketimbang para pemelihara satwa ilegal.

“Penegakan hukum hampir tidak ada, hanya satu kasus baru proses hukum, selebihnya sebatas penyerahan sukarela. Ini harus jadi terobosan bagaimana pemelihara satwa kena pidana,” katanya.

Padahal, katanya, pemelihara satwa itu rantai ujung dari perdagangan satwa. Kalau ada penegakan hukum tegas, kata Dwi, bisa jadi efek jera bagi pelaku.

 

 

Dia bilang, kalau hanya penyerahan sukarela satwa peliharaan ilegal tak ada guna karena begitu banyak kasus. Sebagian pemelihara, menyerahkan satwa karena sudah tak sanggup.

Ujung-ujungnya, pemerintah juga kena getah karena harus merawat satwa. Satwa yang tak bisa lepas liar lagi, katanya, hanya akan memenuhi pusat rehabilitasi dan karantina.   Beban dan tanggung jawab pemerintah, katanya, juga makin besar hanya dari penyitaan.

Andai ada penegakan hukum tegas bagi pemelihara, katanya. pemburu dan pedagang juga bisa ditekan.

“Intinya, jika pemelihara diproses hukum dan dipenjara, akan positif bagi upaya menekan perdagangan dan perburuan satwa liar di alam, ” kata Dwi.

Giyanto, Senior Wildlife Crime Specialist, Wildlife Conservation Society (WCS) Program Indonesia dalam pertemuan dengan para ahli forensik dan dokter hewan di Medan mengatakan, ada beberapa kajian mereka terkait konsumen atau pembeli satwa liar dilindungi ini, mulai membeli dalam kondisi hidup maupun mati untuk pemanfaatan makanan berkelas, hingga pengobatan. Contoh, katanya, trenggiling masih terus diburu dan diambil semua bagian tubuhnya.

Gigi, sapaan akrabnya menyatakan, ada beberapa modus kejahatan satwa liar dilindungi, seperti, memburu lalu dipelihara, buru lalu bunuh dan jadi sovenir. Ada juga, pemburu menjual pada pembeli dan dipelihara kemudian diperdagangkan ilegal melalui perdagangan online di media sosial.

“Yang kami temukan, ada ratusan di media sosial melakukan itu. Kita banyak membongkar kasus ini membantu polisi, tetapi tetap saja masih ada, ” kata Gigi, sapaan akrabnya.

 

Dua beruang madu ini disita dari Kebun Binatang mini Aeros di Deli Serdang, tak ada proses hukum. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Mereka yang memelihara satwa dilindungi ilegal, katanya, saat petugas tahu, baru menyerahkan secara sukarela dengan alasan tak mengerti aturan.

Modus ini, katanya, jadi celah bagi jaringan perdagangan satwa dilindungi beraksi. “Ketika ada satwa diperoleh dari pemburu, ditempatkan dalam satu lokasi. Jika ada yang berminat dijual. Kalau petugas tahu, akan diserahkan sukarela.”

Modus pedagang satwa pura-pura memelihara ini, katanya, bercirikan, jumlah satwa banyak atau berbeda jenis dan langka. Ketika ada yang mau, katanya, mereka jual.

“Saat petugas tahu, pura-pura gak ngerti Undang-undang. Ini modus. Mereka tahu kalau pemelihara gak akan diproses. Itu sebabnya, pemelihara harus dipenjara kalau tidak mengantongi izin karena bisa jadi modus bagi kejahatan satwa liar.”

Ada juga modus kepemilikan untuk koleksi. Dalam kasus ini, kebanyakan satwa liar dilindungi dalam keadaan mati dan awetan buat pajangan di rumah.

Modus itu, memperdagangkan satwa baik masih hidup maupun mati pakai berbagai modifikasi tempat atau wadah pengiriman.

Tim mereka pernah menemukan ada pengiriman satwa hidup ke luar negeri pakai tas modifikasi sedimikan rupa. Ada juga disembunyikan dengan memodifikasi keranjang, lalu sembunyikan dalam tas, dengan harapan bisa menyamarkan dari petugas. Ada juga memodifikasi koper.

 

 

Kukang Sumatera dipelihara warga Medan selama enam bulan. BBKSDA Sumut menerima dari pemilik tanpa ada proses hukum. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Mereka pernah menemukan penyelundupan anak orangutan dalam koper modifikasi. “Ada juga harimau utuh dalam koper modifikasi.” Ada juga yang memodifikasi pakaian si pembawa barang. “Itu berhasil dibongkar.”

Kemudian modus lain, katanya, menyembunyikan satwa dalam pipa PVC atau air minum kemasan. Ada juga pengiriman satwa dengan atribut aparat penegak hukum.

“Si pengirim menyebutkan penerima barang seorang perwira tinggi baik TNI maupun Polri.”

Ada pula modus penyembunyian di fasilitas dengan akses terbatas seperti sarana militer atau apartemen. Sebagian, menyembunyikan satwa di gudang kemudian diperdagangkan dalam jumlah besar.

“Ada juga modus peredaran kebun binatang sebagai pemasok satwa. Jadi banyak modus yang berhasil kami bongkar. Semua dimulai dari perburuan, perdagangan, lalu dikirim ke pembeli dengan berbagai modus.”

Aksi lain, satwa mati diklaim sebagai hama. Contoh, katanya, gajah mati dibunuh karena dianggap hama dan merusak kebun, tetapi gading hilang. “Begitu juga saat harimau mati, bagian tubuh juga hilang. Ini modus jaringan perdagangan satwa juga,” katanya, seraya bilang, pelaku beraksi dengan beragam cara.

 

Keterangan foto utama:  Anak orangutan Sumatera dipelihara seorang pejabat Aceh Barat Daya, OIC membantu BKSDA Aceh mengevakuasi dan tak ada proses hukum. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version