Mongabay.co.id

Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Harus Dilakukan Tepat, Seperti Apa?

 

Indonesia mendorong negara-negara di dunia untuk melaksanakan pemanfaatan kawasan konservasi perairan (marine protected area/MPA) sebagai salah satu benteng untuk menghalau dampak perubahan iklim yang sedang terjadi. Untuk memastikan itu berfungsi dengan baik, pengelolaan MPA harus dilakukan dengan efektif sesuai dengan fungsinya.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengatakan, kalau setiap negara bisa memanfaatkan MPA dengan baik dan sesuai fungsi, maka perlindungan terhadap keanekaragaman hayati bisa dilakukan. Kemudian, perlu juga dilakukan pelibatan masyarakat di sekitar MPA dalam melakukan pengawasan dan pengelolaan.

“Melibatkan masyarakat di sekitarnya, khususnya generasi muda,” ucapnya di Jakarta, pekan lalu.

baca : Konservasi Laut Lebih Efektif dengan Keterlibatan Warga Lokal

 

Keindahan Kawasan Konservasi Laut di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Foto: The Nature Conservancy/Mongabay Indonesia

 

Brahmantya mengatakan, pengelolaan yang tepat dan sesuai fungsi pada MPA, dinilainya akan berperan sangat besar di masa mendatang dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Untuk itu, kunci agar fungsi tersebut bisa berjalan, perlu juga keterlibatan banyak pihak seperti Pemerintah dan pelaku bisnis dalam melaksanakan perlindungan terhadap spesies lintas batas.

Salah satu yang ikut berperan mengurangi dampak perubahan iklim, menurut Brahmantya adalah ekosistem terumbu karang. Di dunia, saat ini banyak sekali permasalahan yang berkaitan dengan terumbu karang, mulai dari pemanfaatan yang berlebih seperti untuk perdagangan dan juga terkena pemutihan akibat perubahan dampak iklim.

Selain perubahan iklim, Brahmantya menjelaskan, penyusutan luas terumbu karang hingga saat ini, bisa terjadi karena keterlibatan manusia yang melakukan berbagai aksi tak terpuji. Ulah manusia tersebut, harus dihentikan karena ekosistem terumbu karang menjadi bagian dari benteng pertahanan untuk mengurangi dampak perubahan iklim.

“Dalam beberapa dekade terakhir, dunia telah kehilangan sekitar 50 persen terumbu karang akibat perubahan iklim dan ulah manusia. Padahal, terumbu karang yang menjadi rumah bagi seperempat dari seluruh spesies laut di dunia, hanya ada pada 1 persen dari total area laut dunia,” ungkapnya.

Agar penyusutan tidak terus terjadi, Brahmantya menyebut kalau Indonesia berkomitmen untuk melakukannya sebaik mungkin. Untuk itu, Indonesia mendorong dilakukannya konservasi terumbu karang, baik di tingkat nasional maupun internasional. Komitmen itu sudah ditunjukkan Indonesia saat menginisiasi kerja sama antara enam negara Asia Pasifik untuk melindungi terumbu karang melalui Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF) pada 2009.

Komitmen tersebut kemudian diperkuat lagi setelah Indonesia menyatakan diri sebagai tuan rumah perhelatan internasional Our Ocean Conference 2018 yang berlangsung di Bali. Selain itu, Indonesia juga terlibat dalam kepemimpinan bersama sebagai Ketua International Coral Reef Initiative (CIR) untuk periode 2018-2020.

“Indonesia juga telah meloloskan sejumlah resolusi terkait terumbu karang di tingkat Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Sidang Umum Lingkungan PBB (UNEA),” tuturnya.

baca juga : Inilah Sejumlah Komitmen OOC 2018 untuk Menyelamatkan Lautan

 

Terumbu karang di Olele yang telah dijadikan kawasan konservasi laut daerah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Ikan Karang Hidup

Brahmantya menyebutkan, momen tersebut berlangsung pada 2016 lalu saat sidang UNEA ke-2 digelar, di mana saat itu Indonesia berhasil meloloskan resolusi 2/12 yang di dalamnya berisi tentang arah kebijakan terumbu karang menyongsong 2030 mendatang. Setelah itu, pada sidang UNEA ke-4 pada Maret 2019, Indonesia juga mengajukan rancangan resolusi tata kelola terumbu karang berkelanjutan pada sidang tersebut dan diterima dengan baik.

“Kita akan terus kawal agar penanggulangan isu terumbu karang ini dapat menjadi perhatian global,” tegasnya.

Tentang penyelamatan ekosistem terumbu karang, Brahmantya mengungkapkan, Indonesia memiliki rencana aksi dan langkah strategis untuk menanggulangi perdagangan ikan karang hidup untuk keperluan konsumsi (live reef fish food trade/LRFFT). Aktivitas tersebut, hingga saat ini masih marak terjadi, terutama untuk keperluan konsumsi di wilayah Asia Pasifik.

Brahmantya menyebutkan, di antara negara di kawasan tersebut, tercatat Tiongkok dan Hong Kong menjadi negara yang paling banyak melakukan transaksi perdagangan ikan karang hidup. Bahkan, sekitar 15-20% spesies ikan karang yang diperdagangan ke kedua negara tersebut, diketahui adalah unreported and unregulated.

“Kondisi ini tentu mengancam keberlanjutan ikan karang kita dan secepatnya harus kita hentikan,” tegasnya.

perlu dibaca: Eksploitasi Ikan Karang Ancam Keberlangsungan Ekosistem Terumbu Karang?

 

Ikan dan terumbu karang yang ditemukan di perairan Puru Kambera di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Menurut Brahmantya, agar penanggulangan isu LRFFT bisa terus dilakukan, Indonesia akan terus mengangkat isu tersebut pada forum-forum internasional yang diikuti negara anggota ICRI dan sekaligus juga tentang isu pengelolaan konservasi terumbu karang berkelanjutan. Selain itu, isu tersebut juga akan dibantu oleh hasil kesepakatan para peneliti terumbu karang pada pertemuan World Coral Conservatoire Workshop.

Dari kesepakatan tersebut, para peneliti bersepakat untuk mengembangkan kerangka kegiatan penelitian karang, ruang lingkup, dan lokasinya. Indonesia, dalam hal ini, menjadi salah satu negara yang diusulkan sebagai lokasi proyek yang akan dilaksanakan. Salah satu peneliti dari Centre Scietifique de Monaco (CSM) Didier Zocolla, juga menyatakan bahwa negaranya turut berkomitmen untuk membantu penelitian tentang terumbu karang di beberapa negara.

Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) Sjarief Widjaja menyatakan, berkaitan dengan riset yang dilakukan dunia tentang terumbu karang, Indonesia menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah. Menurut dia, Indonesia memiliki fasilitas yang mumpuni untuk melaksanakan kegiatan riset tersebut.

Sjarief kemudian menyebutkan, saat ini ada dua pusat riset, yakni Pangandaran Integrated Aquarium and Marine Research Institute (PIAMARI) di Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat dan Morotai Integrated Aquarium and Marine Research Institute (MIAMARI) di Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara. Kedua pusat riset tersebut, diklaim sudah memiliki fasilitas yang baik.

“Ini dapat kita gunakan bersama untuk mencapai penelitian bersama. Keduanya bisa dimanfaatkan untuk mempercepat penanggulangan isu-isu kelautan dan perikanan global yang tengah mengancam saat ini,” ungkapnya.

menarik dibaca : Mungkinkah Terumbu Karang Diasuransikan?

 

Kondisi ketertutupan terumbu karang di Kepulauan Spermonde, termasuk di sekitar Pulau Samalona yang berada di Kota Makassar menurun drastic dalam beberapa tahun terakhir. Kini jumlahnya diperkirakan tak lebih dari 19 persen. Salah satu penyebabnya karena perikanan yang merusak (destructive fishing) Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Perikanan Destruktif

Sebelumnya, Pakar terumbu karang dari Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, selain karena faktor perubahan iklim, kerusakan terumbu karang di Indonesia bisa terjadi karena berlangsung aktivitas penangkapan ikan dengan cara merusak (destruktif). Perilaku tersebut, mengakibatkan terumbu karang mengalami kerusakan dengan sangat cepat.

Pakar terumbu karang dari Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI Suharsono, di Jakarta, Rabu (28/11/2018) menjelaskan, kerusakan terumbu karang menjadi ancaman paling serius karena itu akan memengaruhi ekosistem laut secara keseluruhan. Di antara ancaman itu, dampak perubahan iklim menjadi paling dominan karena akan memicu pemutihan karang.

“Pemutihan di Indonesia sudah terjadi empat kali. Dan, paling besar dampaknya terjadi pada 2016 lalu. Dengan kondisi sekarang, dampak perubahan iklim akan berpotensi mempercepat pemutihan pada karang,” ucapnya.

Menurut Suharsono, pemutihan karang menjadi ancaman paling serius, karena itu tidak bisa dicegah oleh manusia dan dampaknya akan terus terjadi sampai kapanpun. Pada kondisi sekarang, pemutihan karang juga terjadi semakin cepat dan itu menyebabkan proses pemulihan karang menjadi terganggu. Apalagi, jika kondisi perairan tempat karang tersebut, kondisinya sudah tidak sehat.

Selain pemutihan karang, Suharsono menyebutkan, kerusakan terumbu karang di Indonesia juga terjadi karena aktivitas penangkapan ikan destruktif melalui penggunaan bahan peledak seperti bom. Dia mencontohkan, melalui uji penelitian di perairan sekitar Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, dari dua kilogram bom ikan yang dipakai, ternyata mampu menghancurkan terumbu karang seluas 19,6 meter persegi.

“Sementara, bom ikan seberat satu kilogram, itu bisa merusak terumbu karang seluas 4,9 meter persegi. Aktivitas seperti itu, hingga saat ini masih terjadi, terutama di perairan sekitar pulau-pulau kecil, yang masih jauh dari jangkauan pengawasan Pemerintah Indonesia,” ungkapnya.

Besarnya dampak yang ditimbulkan dari bom ikan, menurut Suharsono, bisa dibuktikan dengan melihat ikan yang mati terkena dampak aktivitas tersebut. Ikan-ikan yang mati, tulangnya akan hancur, dan itu membuat proses pembusukan menjadi lebih cepat. Selain itu, bom juga akan mematikan telur dan larva.

 

Exit mobile version