Mongabay.co.id

Polemik Cagar Alam Tanjung Panjang: Tambak hingga TORA [Bagian 2]

 

 

Baca: Polemik Cagar Alam Tanjung Panjang: Tambak hingga TORA [Bagian 1]

 

“Kenapa Cagar Alam Tanjung Panjang masuk peta indikatif, karena aturan. Prinsipnya, TORA ini program menyelesaikan masalah dalam kawasan hutan, tidak dibatasi fungsi kawasannya baik hutan lindung maupun konservasi.”

Pernyataan tersebut diucapkan Andi Setiawan, Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan [BPKH] XV Wilayah Gorontalo, kepada Mongabay Indonesia, Selasa, 14 Mei 2019. BPKH mengaku dituding sebagai institusi yang memasukan TORA dalam kawasan konservasi.

Menurut Andi, semua yang sudah terindikasi dikuasai masyarakat, masuk peta indikatif dan yang membuat pusat. Pusat yang dimaksud adalah Direktorat Jenderal Planalogi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK.

Andi bercerita, dalam surat keputusan itu dimungkinkan perubahan perenam bulan. Sekarang revisinya sudah tiga kali. Ketika pusat merevisi, selalu disampaikan ke BPKH apakah ada usulan atau update. Setelah itu, pihaknya berkoordinasi dengan pemerintah daerah.

“Gambaran revisi 3 lebih luas peta indikatif TORA-nya karena ada usulan kabupaten.”

 

Mangrove tidak hanya mencegah abrasi tetapi juga memberi kehidupan untuk makhluk hidup, tak terkecuali manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Salah satu fungsi peta indikatif adalah penelaahan kondisi tutupan lahan dalam kawasan hutan dan identifikasi tutupan lahan dengan citra satelit. Hasilnya, di cagar alam yang terindikasi dikuasai masyarakat; ada lahan garapan dan permukiman, maka dimasukkan TORA.

“Bukan kami yang usulkan, tapi dari pusat berdasarkan citra satelit. Kami hanya memfasilitasi parapihak untuk verifikasi, klarifikasi, dan cermati bersama,” katanya.

Khusus Cagar Alam Tanjung Panjang, jelas Andi, pihaknya telah menyampaikan konteks persoalan, sudah ada proses hukum di dalamnya. Ia juga khawatir ada tumpang tindih penyelesaian. Sebab di satu sisi proses hukum melalui BKSDA dan Gakum, sisi lain ada mekanisme penyelesaian TORA.

“Dengan kondisi seperti ini apa perlu dimasukan peta indikatif? Jawaban pusat waktu itu: ‘ya udah, masukkan aja’. Prinsipnya, Menteri KLHK tidak mau ada penyelesaian dengan kegaduhan. Konflik diselesaikan dengan elegan, termasuk memberi akses masyarakat memperbaiki ekonomi,” jelas Andi.

Menurutnya, TORA dibawah langsung Menteri Koordinator Perekonomian, yang mengkoordinir beberapa kementerian terkait. Harapannya, penyelesaian lebih komprehensif, TORA diawali sosialiasi di tingkat kabupaten.

Setelah itu, permasalahan diselesaikan dengan dua syarat; masuk dalam peta indikatif TORA dan mengajukan permohonan. Jika salah satunya tidak terpenuhi, tidak bisa diproses.

“Prinsipnya, permohonan diajukan masyarakat yang menggarap kawasan hutan. Masyarakat mengisi blanko dan mengajukan ke kepala desa, lalu kepala desa membuat permohonan kolektif. Permohonan desa harus diketahui camat, lalu disampaikan ke bupati. Kemudian bupati menyampaikan ke Tim Inver PTKH Provinsi. Kami hanya memfasilitasi, karena ini kerja tim,” ungkapnya.

 

Menjaga keseimbangan alam berarti menjaga seluruh kehidupan makhluk hidup di muka Bumi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

TORA bukan Bagi-bagi tanah

Ketika mendengar TORA, pemahaman masyarakat adalah bagi-bagi sertifikat tanah dalam kawasan hutan. Andi membantah. Menurutnya, ada empat rekomendasi penyelesaian pertama; disertifikat kalau memenuhi syarat, kedua; diarahkan mekanisme perhutanan sosial, ketiga; resettlement atau direlokasi/dipindahkan, keempat; tukar kawasan.

“Saya sudah sampaikan ke kepala desa, agar diluruskan soal bagi-bagi sertifikat tanah dalam kawasan. Tidak seperti itu. Tidak serta merta masyarakat bermohon langsung terbit sertifikat.”

Untuk Kabupaten Pohuwato, terdapat 62 desa yang masuk peta indikatif, baru 9 desa yang mengajukan permohonan. Khusus Cagar Alam Tanjung Panjang, pihaknya sudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah melalui Bappeda Pohuwato, belum ada yang bermohon.

Menurutnya, tim dari BPKH sedang turun lapangan. Ada yang menunggu permohonan, ada yang menjemput pemberkasan, dan ada yang masih proses mengukur lahan. Misalkan dari pengumpulan hanya 20 desa, tetap akan diidentifikasi lewat peta indikatif, serta verifikasi lagi lalu disampaikan ke bupati.

“Kami terakhir koordinasi dengan Bappeda, Kamis [9 Mei 2019], belum ada yang bermohon,” kata Andi.

Irvan Saleh, Kepala Bappeda Kabupaten Pohuwato, ketika dikonfirmasi, membenarkan informasi yang disampaikan Andi Setiawan. Yang masuk saat ini semuanya atas nama institusi, 9 desa. Ada Desa Patuhu [Kecamatan Randangan], Makarti Jaya [Kecamatan Taluditi], Tirto Asri [Kecamatan Taluditi], Desa Kalimas [Kecamatan Taluditi], Puncak Jaya [Kecamatan Taluditi], Panca Karsa Satu [Kecamatan Taluditi], Wonggarasi Timur [Kecamatan Wanggarasi], Manawa [Kecamatan Patilanggio], dan Desa Suka Damai [Kecamatan Lemito].

“Dari data ini, usulan TORA dalam kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang belum muncul,” kata Irvan.

Posisi Bappeda Pohuwato seperti dalam surat keputusan Gubernur, masuk Tim Inver PTKH. Tugasnya, mengumpulkan usulan TORA secara institusi maupun perorangan, kemudian dikumpulkan dan disampaikan ke pemerintah provinsi melalui BPKH.

Terkait protes pegiat lingkungan, Bappeda Pohuwato, kata Irvan Saleh, berkiblat pada sikap bupati yang sejak awal menyatakan Cagar Alam Tanjung Panjang statusnya harus dipertahankan.

“Sekalipun sudah masuk peta indikatif TORA, belum tentu langsung diterima. Apalagi dengan adanya surat dari pegiat lingkungan, semakin memperkuat penolakan. Protes tersebut kami anggap sebagai bentuk komitmen dan dukungan keberadaan Cagar Alam Tanjung Panjang,” jelasnya.

 

Tampak mangrove yang ditebang untuk dialihfungsikan menjadi tambak di kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Cagar Alam Bisa Dipertahankan

Andi Setiawan, mengatakan, peta indikatif TORA hanya menunjukan kawasan hutan itu sudah terindikasi dikuasai masyarakat, untuk diselesaikan. Untuk cagar alam, Andi menganalogikan posisi mereka seperti wasit, di tengah. Secara pribadi, ia sebagai orang berlatar kehutanan, menginginkan cagar alam dihutankan kembali.

“Tapi harus adil juga. TORA ada tujuh kriteria. Salah satunya, jika masyarakat sudah menggarap lahan 20 tahun, kita lepas. Bila belum, diarahkan ke perhutanan sosial. Itu kami buktikan dengan citra satelit dan turun lapangan,” ujarnya.

Untuk Cagar Alam Tanjung Panjang, pendekatannya lain. Dilihat jika warga sudah membuka hutan mangrove, sebelum atau sesudah areal itu ditunjuk jadi kawasan. Patokannya, peta TGHK [Tata Guna Hutan Kesepakatan] di 1984. Dalam TGHK, Tanjung Panjang belum ditunjuk cagar alam, tapi sebagai KSA/KPA [Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam].

“Ketika ada tambak; apakah sudah dibuka sebelum 1984 atau sesudahnya? Jika masyarakat klaim, apa buktinya? Kalau mereka membuka sebelum TGHK kita hormati dan lepaskan, asal buktinya ada,” ucap Andi.

Menurutnya, BPKH merujuk peta citra satelit 1997, dan bisa dilihat kawasannya masih berhutan atau tidak. Jika berhutan, berarti tahun sebelumnya areal tersebut tutupannya masih bagus. Belum ada pembukaan. Dengan begitu, bisa dipastikan cagar alam lebih dulu ada dibandingkan masyarakat yang membuka tambak.

Jika demikian, rekomendasinya adalah masyarakat harus di resettlement atau dipindahkan bertahap. Artinya, pemerintah harus hati-hati merelokasi warga.

Terkait surat protes penolakan peta indikatif TORA dalam cagar alam, Andi mengaku sedang menunggu tanggapan Kementerian LHK. Berdasarkan temuan lapangan dan wawancara masyarakat, ia yakin Cagar Alam Tanjung Panjang bisa dipertahankan.

“Saya mengapresiasi teman-teman. Artinya, mereka konsisten menjaga dan mempertahankan kawasan konservasi,” tegasnya. [Selesai]

 

 

Exit mobile version