Mongabay.co.id

Mencari Cara Atasi Krisis Air Bersih Pulau-pulau Kecil di Lombok

Saat air surut, warga Gili Beleq dan Gili Re, yang memesan air lewat mobil tangki harus mengambil air di Dermaga Telong-Elong. Dari mobil tangki air dimasukkan ke tandon, setelah sampai ke pulau barulah disedot kembali. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Intan dan Halik, mulai menyimpan air sejak awal April. Dia harus berhemat. Pada Ramadan, Mei ini, dia sudah memperkirakan hujan tak akan turun. Kalau angkut air pada bulan puasa terasa cukup berat. Apalagi rumah di tengah pulau.

Untuk mencuci, Intan pakai air sumur yang bercampur dengan air beli dari daratan Lombok. Tak terlalu payau, tetapi tak bisa untuk memasak. Hanya mencuci pakaian dan perabot rumah tangga. Untuk piring dan gelas yang akan dipakai pun harus dibilas dengan air tawar. Untuk mandi, pasangan suami istri ini cukup mandi ke laut, sedikit berbilas dengan air tawar.

“Sudah dua bulan tidak mengalir air PDAM,’’ kata Intan saat Mongabay temui April lalu.

Mereka tinggal di Pulau Maringkik. seluas 25 hektar itu dihuni sekitar 3.000 jiwa. Ia pemekaran dari Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Saat ini, Maringkik jadi desa.

Dari Pelabuhan Tanjung Luar, perjalanan menggunakan perahu ditempuh sekitar 30 menit. Kini, Maringkik jadi pulau terluar di Lombok Timur yang berpenghuni. Dulu, rekor dipegang Gili Sunut, pada 2013 seluruh penduduk Gili Sunut direlokasi ke daratan Lombok.

Air PDAM dialirkan dari Pulau Lombok. Pipa bawah laut dialirkan melalui Telong-Elong, Desa Jerowaru, Kecamatan Jerowaru. Daerah itu merupakan daratan terdekat. Pipa air itu juga melewati Gili Beleq dan Gili Re. Gili Beleq dan Gili Re, hanya berjarak 15 menit perahu dari Telong-Elong. Gili Beleq dihuni 400 jiwa. Gili Re, pulau karang seluas 1,9 hektar dihuni sekitar 200 jiwa. Tiga pulau ini memiliki masalah sama, krisis air bersih.

Seluruh rumah warga di Maringkik, Beleq, dan Re, memiliki talang air yang terhubung dengan bak. Bak penampungan air itu disimpan di bawah kolong rumah mereka– bagi yang masih rumah panggung. Ada juga yang membangun bak besar di kamar mandi. Saat musim hujan, sumur di Pulau Maringkik juga tak terlalu payau.

“Kalau hanya sebentar hujan dan lama panas, habis air dalam bak,’’ kata Intan.

 

Halik, warga Pulau Maringkik menunjukkan bak air yang kosong. Selama dua bulan air PDAM tak mengalir ke pulau itu. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Selama musim hujan, kebutuhan air bersih warga terpenuhi. Kala kemarau, terpaksa mereka mencari air ke Lombok. Air PDAM yang dialirkan dari daratan Lombok ke tiga pulau itu lebih sering macet dibandingkan mengalir. Kalau mengalir, terbatas. Debit air kecil dan harus dibagi ke seluruh penduduk. Kadang terpaksa dijatah masing-masing rumah maksimal dua ember besar, atau 100 liter. Pilihan lain, membeli air.

Bagi warga yang hanya memiliki perahu kecil, mereka mengambil air pakai jeriken 30 liter. Mereka mengambil di rumah warga di Telong-Telong. Warga berangkat ke pasar ikan Tanjung Luar juga selalu pulang membawa oleh-oleh air bersih. Air bersih diambil di Telong-Elong tidak gratis. Air tawar dari sumur Rp1.000 per jeriken, air PDAM Rp 2.000. Untuk satu tandon air Rp80.000.

Mengangkut air dengan tandon hanya nelayan yang memiliki armada perahu cukup besar dan bermesin penyedot air.

Setelah jeriken dan tandon terisi air, mereka kembali ke pulau. Kalau angin kencang dan ombak ganas, mereka harus berhati-hati. Salah sedikit, perahu bisa terbalik. Sudah sering terjadi perahu yang membawa air terbalik saat pelayaran pulang. Setelah kapal sandar di dermaga pulau, air itu disedot dan mengalir ke bak-bak penampungan.

“Banyak habis (uang) karena kami juga harus beli minyak untuk bawa perahu ambil air,’’ kata Farida, juga warga Maringkik.

 

Perahu untuk mengangkut air di Pulau (Gili) Maringkik. Nelayan harus berlayar 30 menit ke daratan Lombok tempat mengambil air bersih dan membayar ke penduduk setempat. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Jadi ladang bisnis dan politik

Krisis air bersih di tiga pulau ini, termasuk di selatan Lombok Timur memunculkan bisnis baru: pengakutan air bersih. Beberapa operator mobil tangki mengambil air di sumur di Tutuk, Desa Jerowaru. Mobil tangki itu membawa air ke daratan terdekat ke Gili Beleq dan Gili Re. Dari daratan itu perahu nelayan menepi dan mengambil air.

Untuk satu tangki air bersih Rp150.000-Rp 200.000, tergantung sumber air bersih. Kalau di sumur mata air di Tutuk, lebih murah. Kalau air dari PDAM lebih mahal. Makin panjang musim kemarau, makin mahal harga air. Kebutuhan makin banyak, armada pengangkutan air terbatas.

Pemerintah melalui Dinas Sosial dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terbatas dalam menyuplai air bersih. Bukan hanya di tiga pulau itu, mereka juga ke belasan desa di Kecamatan Jerowaru dan Kecamatan Keruak, yang langganan krisis air bersih saat kemarau.

Dengan armada terbatas, jarak tempuh cukup jauh, ditambah akses jalan rusak, satu mobil tangki maksimal bisa dua kali mengangkut.

Krisis air bersih berkepanjangan ini juga jadi komoditas politik. Setiap kontestasi pemilihan kepala desa, pemilihan legislatif, dan pemilihan kepala daerah, droping air bersih berlimpah. Saat itulah, warga di tiga pulau dan daerah selatan Lombok Timur merasakan nikmatnya air bersih gratis. Air dikirim melalui mobil tangki, hingga tandon air dalam perahu. Semua gratis. Tentu saja dengan embel-embel tertentu.

“Kalau musim kampanye banyak ngasi air..hehehehehe,’’ kata Inaq Pendi, warga Gili Beleq.

Saya mengamati, sepanjang masa kampanye pemilu serentak 2019, banyak pemasokan air bersih ke daerah selatan Lombok Timur dan ke tiga pulau itu. Di tangki mobil pembawa air dipasang bendera partai, termasuk juga bendera pasangan calon presiden. Ini juga bisa dilihat pada banyaknya bendera partai dipasang di perahu nelayan. Warga sudah paham, ketika droping air gratis berarti ada hajatan politik sedang berlangsung.

 

Lembah di Tereng Wilis inilah yang akan dibendung dan jadi sumber air bersih. Para pegiat wisata mengusulkan sebaiknya pemerintah memanfaatkan air di bendungan Pandan Dure. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

***

Pemerintah Lombok Timur, bukan tak memiliki rencana mengatasi krisis air bersih di wilayah selatan. Sayangnya, rencana itu gagal, justru berujung kerusuhan. Pada 2010, pemerintah berencana mengalirkan air dari mata air Tereng Wilis, Kecamatan Montong Gading. Desa itu berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) dan sumber mata air.

M Zainul Asror, mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam tesisnya Kontestasi Pemerintah dan Masyarakat dalam Arena Pembangunan Jaringan Air Baku Treng Wilis menyatakan, penolakan masyarakat di hulu karena ruang dialog minim. Selain itu, terjadi ketimpangan pembangunan. Saat itu, akses jalan dan fasilitas lain masih minim di hulu.

Walaupun sumber air, akses air bersih ke rumah-rumah warga masih seadanya. Saat sama, pemerintah melalui PDAM membangun jaringan air bersih yang akan dialirkan ke bagian selatan. Bagi masyarakat di Tereng Wilis, rencana pemerintah itu bukan murni membantu saudara mereka di bagian selatan, tetapi bentuk privatisasi air.

Masyarakat belajar dari kasus di desa tetangga mereka, ketika air dikuasai PDAM, masyarakat di hulu justru kesulitan air bersih.

Tahun 2019, Bupati Lombok Timur HM Sukiman Azmy kembali mewacanakan mengambil air dari Tereng Wilis. Pada 2010, mantan Dandim 162/WB Lombok Timur ini adalah bupati aktif. Tak terpilih pada kontestasi 2013, terpilih kembali 2018.

“Mestinya belajar dari pengalaman kami di Tetebatu, ketika air dibisniskan PDAM, masyarakat justru sering kesulitan air,’’ kata Salam Hafiz, pegiat pariwisata di Desa Tetebatu.

Desa Tetebatu, salah satu sumber mata air, lebih awal disedot PDAM. Di desa ini, akses air bersih ke rumah warga hanya pakai pipa paralon dan selang. Pipa besar yang dibangun PDAM untuk masyarakat di perkotaan. Kondisi inilah yang membuat masyarakat di hulu kecewa. Mereka sebagai penjaga mata air, tetapi tak mendapat akses air bersih.

“Kalau pendekatan bupati sama seperti dulu, bisa ramai lagi di Tereng Wilis,’’ kata Salman, pegiat lingkungan di Lombok.

Dia menilai, PDAM hanya ingin mencari untung, bukan mencari alternatif. Andai, mau bisa memanfaatkan air Bendungan Pandan Dure. Bendungan seluas 400 hektar itu lebih dekat jaraknya ke Kecamatan Keruak dan Kecamatan Jerowaru. Selain itu, air bendungan Pandan Dure itu dari sungai-sungai di bagian utara seperti Tereng Wilis, Tetebatu, Perian, dan Kembang Kuning. Apalagi, desa-desa di bagian utara yang air akan disedot itu mengandalkan air itu untuk pertanian dan pariwisata.

“Dengan memanfaakan Pandan Dure Ini setidaknya bisa mengurangi konflik di bagian hulu. Cuma itu, apakah pemerintah mau repot mengolah air bendungan Pandan Dure?”

 

Keterangan foto utama: Saat air surut, warga Gili Beleq dan Gili Re, yang memesan air lewat mobil tangki harus mengambil air di Dermaga Telong-Elong. Dari mobil tangki air dimasukkan ke tandon, setelah sampai ke pulau barulah disedot kembali. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version