Mongabay.co.id

Cerita Para Penyelamat Kucing Jalanan di Jogja

Kucing liar yang mendapat makanan dalam kegiatan street feeding. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Pintu belakang pasar yang terletak di seberang Kelenteng Poncowinatan Yogyakarta itu sudah terkunci. Mata Adriani menyisir sela-sela tumpukan barang yang ditinggalkan para pedagang yang meluber sampai ke trotoar. Sore itu, dia kembali mencari satwa berbulu yang banyak dicintai sekaligus tak sedikit yang membenci, kucing.

Setelah melihat penampakan beberapa individu, dia pun meracik makanan buat mereka berupa nasi dicampur ikan, makanan kering, serta air minum yang dituang dalam wadah botol plastik bekas. Kucing pertama yang diberi makan berbulu putih hitam. Awalnya, si kucing ragu menerima makanan. Sejurus kemudian makanan itu pun lahap disantap makhluk berbulu itu.

Bergeser beberapa meter Adriani menemukan lagi kucing sedikit kurus berwarna coklat hitam putih. Kembali dia sodorkan makanan buat si kucing. Kali ini dia tidak sendiri. Ada Indah yang bergabung, menyusul kemudian Ando, dan dua rekan lain sesama penyuka kucing. Mereka telah siap pula dengan makanan kucing yang sengaja dibawa untuk para kucing pasar itu.

“Ini sudah disteril. Tanda di telinga, ada guntingan,” kata Adriani, ketika berjumpa kucing ketiga yang berwarna hitam kelam. Saat dipanggil kucing itu tak ragu mendekat. Kucing keempat, berwarna putih abu-abu, terlihat murung. Ada scabies di pinggir telinga dan mukanya.

 

Adriano, beri makan kucing liar dekat pasar. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Pasukan bulu-bulu

Adrian mulai serius memperhatikan nasib satwa berbulu itu ketika kucing liar atau stray cat yang biasa dia beri makan hamil. Padahal, waktu itu dia masih tinggal di hunian vertikal di Jakarta yang melarang penghuni memelihara satwa. Akhirnya, dia memutuskan pindah dan mencari kontrakan agar bisa tinggal bersama hewan kesayangan. Kebiasaan memberi makan kucing membuat rumahnya makin lama didatangi banyak kucing.

“Karena kucing bertambah banyak dan ingin berbagi cerita maka aku bikin akun sendiri di instagram.”

Nama akunnya pasukanbulubulu, yang mulai diaktifkan sejak setahun lalu. Kini, sudah memiliki tiga ribuan pengikut. Ada banyak informasi yang bisa didapat dari akun itu. Mulai dari, hilang dan ditemukan, adobsi, donasi, tips, agenda, sterilisasi, hingga street feeding.

“Banyak yang minta bantuan publikasi, misal, kucing hilang, atau menanyakan obat untuk kucing yang sakit. Aku sampaikan kalau penyakitnya ini obat seperti apa, perawatan, biaya dokter berapa. Yang ingin tahu informasi seperti ini banyak. Sebagian takut membawa kucing kesayangan ke dokter karena dikira mahal.”

Adri pernah punya pengalaman, suatu ketika ada pengikutnya melaporkan kucing pasar yang tertabrak kendaraan. Kaki luka dan berjalan harus ngesot. Si pelapor tidak memiliki cukup uang untuk membawa ke dokter hewan. Keseluruhan biaya operasi sekitar Rp3 juta.

“Aku publikasikan dan berapa jam kemudian sudah mendapat uang Rp500.000. Sehari kemudian dapat Rp1 juta, akhirnya terkumpul Rp3 juta.”

Lewat akun, dia kerap pula mendapat laporan ada anak kucing yang dibuang. Padahal mereka masih membutuhkan susu induknya. Jika tidak sakit, biasa anak-anak kucing itu mati. Dengan akun itu pula, dia mempublikasikan kucing-kucing yang membutuhkan bantuan. Seperti kucing putih abu-abu yang menderita scabies, saat Mongabay menghubungi kembali Adrian, dia mengabarkan berita baik bahwa telah ada klinik yang bersedia menangani.

Acara yang diberi nama Ramadan Bersama Kucing Jalanan pada Sabtu, 11 Mei lalu itu pun dia posting di media sosial. Kegiatan itu sekaligus ajang pertemuan sesama pecinta kucing untuk saling berbagi pengalaman, setelah hanya ngobrol di dunia maya.

Indah mengetahui acara itu dari postingan di instagram bercerita setiap hari hampir selalu membawa makanan kucing.

“Kalau ke kampus aku bawa makanan kucing juga. Kalau ada kucing ya aku kasih makan. Satu kotak kecil makanan kering, kadang juga makanan basah. Untuk kucing liar mereka tidak terlalu suka makanan kering, mungkin karena bau kurang menyengat,” kata mahasiswi magister hukum kenotariatan UGM ini.

Aktivitas memberi makan kucing liar itu dilakukan sendirian, atau bersama komunitas Peduli Kucing Pasar Jogja, yang jadi bagian Animal Friends Jogja (AFJ). Biasa, saat sore atau malam hari.

“Aku menyukai kucing karena lucu. Awalnya, pertengahan 2015 ada kucing liar datang, lalu dikasih makan. Eh, malah kembali datang dan tinggal di rumah. Akhirnya, aku pelihara. Kalau sakit aku bawa ke dokter. Sekarang jadi nggak tega kalau ada kucing luka.”

 

Kucing liar banyak yang menderita sakit di antaranya scabies. Setelah diposting di media sosial kucing ini mendapat perawatan sebuah klinik. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Peduli kucing pasar

Nasib buruk yang menimpa banyak kucing di pasar menimbulkan keprihatinan Nana dan kawan-kawan. Nana adalah salah satu pendiri Animal Friends Jogja, organisasi nirlaba yang berkomitmen meningkatkan kesejahteraan satwa melalui pendidikan, penelitian, dan upaya penyelamatan. Selanjutnya, dia dengan beberapa rekan mendirikan Peduli Kucing Pasar, pada 2015.

“Alasan pembentukan, kontrol populasi, karena banyak kucing di pasar telantar, tidak sehat, bahkan disakiti. Soalnya pasar itu kan tempat berbagai macam orang dengan berbagai sifat. Street feeding karena kucing kalau tidak kita kasih makan maka pendekatannya susah.”

Dalam setahun, sepasang kucing bisa menghasilkan anak 12. Kalau tidak dikontrol akan terjadi ledakan populasi kucing di suatu wilayah. Sterilisasi menjadi solusi efektif untuk mengerem laju pertumbuhan satwa ini.

“Sambil melakukan itu kita bisa mengawasi kesehatan, dan mengedukasi orang-orang pasar supaya mereka turut peduli kepada satwa ini karena mereka yang sehari-harinya ada di sana.”

Menurut Nana, rata-rata sterilisasi kepada 110-120 kucing per bulan. Separuh adalah kucing liar seperti kucing dari pasar. Jumlah itu masih dirasa kurang karena pertumbuhan populasi kucing.

Setidaknya ada 30 pasar di Yogyakarta yang menjadi pantauan komunitas Peduli Kucing Pasar Jogja ini. Masing-masing pasar memiliki koordinator, dibantu para relawan. Sekitar ada 500 kucing harus mereka beri makan per hari. Dua kali dalam sebulan mereka sterilisasi. Para relawan itu menangkap kucing untuk disteril, setelah sembuh dilepas kembali atau diadopsi.

Menurut Nana, langkah terbaik membiarkan kucing-kucing itu tetap berada di lingkungannya. Tempat terbaik adalah lingkungan tempat kucing awal hidup. Kalau dipindah-pindah, si kucing harus menyesuaikan diri mencari tempat makan atau tempat istirahat baru.

Nana berharap, komunitasnya bisa bekerja sama dengan lebih banyak kelompok untuk melakukan sterilisasi guna mengontrol populasi, termasuk pemerintah. Dia bahkan, kesulitan pasang poster di pasar.

“Ada beberapa pasar kalau kita pasang poster harus bayar, atau tidak dapat izin juga. Bayar Rp200.000 jika mau pasang. Pikir kami lebih baik uang untuk pakan kucing atau biaya sterilisasi. Atau jikapun sudah ada izin, ternyata staf di bawah menolak.“

Pedihnya, masih saja ada orang yang menangkapi kucing pasar untuk tujuan tidak jelas.

Dia pun kerap mewanti-wanti kepada relawan untuk tak mempublikasikan lokasi pasar tempat street feeding di media sosial. Tujuannya, mengurangi risiko lokasi itu jadi target pembuangan atau jadi tempat pengambilan kucing oleh orang-orang jahat.

 

Keterangan foto utama: Kucing liar yang mendapat makanan dalam kegiatan street feeding. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version