Mongabay.co.id

Percepat Perhutanan Sosial, Sumatera Barat Lahirkan Peraturan Gubernur

 

 

Pemerintah Sumatera Barat menyambut baik program perhutanan sosial yang dijalankan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK].

Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat, pada Diseminasi Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Fasilitasi Perhutanan Sosial, berharap perhutanan sosial dapat mendorong pelibatan masyarakat dalam mengelola hutan dengan pemberian akses legal.

“Ketersedian lapangan kerja dan persoalan ekonomi-sosial dapat dipecahkan melalui pemanfaatan sumber daya alam secara maksimal, adil, dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian hutan beserta lingkungan hidup,” terangnya, Selasa [14/5/2019].

Perhutanan sosial juga diharapkan menghidupkan kembali kearifan lokal dan budaya masyarakat Minangkabau dalam mengelola hutan secara baik dan benar. Seperti pola rimbo larangan, hutan simpanan, parak dan sebagainya.

“Sejak 2012 hingga sekarang, pemerintah daerah telah membentuk kelompok kerja sebagai service center, membangun kesepahaman dengan pemerintah pusat, kabupaten/kota, swasta dan NGO, serta menyusun roadmap perhutanan sosial seluas 500.000 hektar. Program ini pun menjadi isu strategis RPJMD 2016-2021 dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup,” ulas Irwan.

Baca: Penetapan Hutan Adat Hanya 1% dari Realisasi Perhutanan Sosial

 

Pohon yang terjaga di Hutan Nagari Simancuang, Solok Selatan, Sumatera Barat. Foto: KKI Warsi

 

Sejak diimplementasikan perhutanan sosial di Sumatera Barat, hingga saat ini terdapat 138 perizinan dengan luas areal 205.773 hektar. Rinciannya 86 izin hutan nagari seluas 170.185 hektar, 46 izin hutan kemasyarakatan seluas 28.418 hektar, 4 izin hutan tanaman rakyat seluas 6.935 hektar, 1 izin kelompok hutan adat seluas 35 hektar, dan 1 izin kelompok kemitraan kehutanan seluas 200 hektar. Disamping itu, tengah difasilitasi pengusulan 60.000 hektar di tingkat tapak ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Gubernur menambahkan, realisasi perhutanan sosial tidak sebatas mendapatkan izin, tetapi perlu pengembangan usaha maju, konkrit, dan inovatif. “Komitmen berbagai pihak harus ditunjukkan melalui Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2018 dengan tiga tujuan utama. Mendukung pengembangan usaha perhutanan sosial, menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan masyarakat di dalam atau sekitar kawasan hutan, dan meningkatan peran serta berbagai pihak mendukung perhutanan sosial,” paparnya.

 

Hutan Nagari Simancuang, Solok Selatan yang berfungsi sebagai penyangga nagari dari ancaman bencana alam dan penyedia air bersih. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Yozawardi, Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat menyebutkan, diseminasi merupakan langkah awal mendukung perhutanan sosial. Ada dua fokus utama yang ditekankan yaitu fasilitasi dan kelembagaan.

“Fasilitasi meliputi penyiapan, penyusunan perencanaan dan pengembangan usaha. Untuk itu perlu dibentuk kelembagaan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial [Pokja PPS] yang anggotanya pemerintah daerah, LSM, perguruan tinggi, dan dunia usaha.”

Berdasakan fakta dan data, umumnya lokasi kelompok perhutanan sosial di hutan lindung, sehingga pemanfaatannya tidak berorientasi kayu tetapi lebih pada hasil hutan bukan kayu seperti rotan, manau, madu, getah, buah, kulit, dan minyak.

Pemanfaatan kawasan, bisa digunakan untuk agroforestry berupa gabungan tanaman pertanian dengan kehutanan, silvopasture yaitu gabungan peternakan dengan kehutanan, silvofishery adalah gabungan perikanan dengan kehutanan, juga pemanfaatan jasa lingkungan. “Diharapkan, seluruh Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan [KPH] berkoordinasi dengan bupati/wali kota setempat untuk menunjukkan lokasi dan rencana kerja,” jelasnya.

 

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan Hutan Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut/Mongabay Indonesia

 

Apresiasi

Rudy Syaf, Direktur Eksekutif Komunitas Konservasi Indonesia [KKI] Warsi mengapresiasi peraturan gubernur ini. Adanya aturan mendorong organisasi perangkat daerah [OPD] di luar dinas kehutanan untuk ikut mendukung perhutanan sosial. “Secara umum, tantangan perwujudan perhutan sosial di Sumatera adalah menemukan stakeholder swasta yang bisa bekerja sama dengan selain OPD tadi,” ujarnya.

WARSI melihat, skema hutan sosial mampu menjadi resolusi konflik pengelolaan sumber daya alam dalam mencegah kerusakan hutan. Sebagai contoh, di Jambi, di kawasan Bujang Raba, Bukit Panjang Rantau Bayur, ada lima hutan desa di satu hamparan. Izinnya diberikan pada 2013.

“Analisa kami, dari 2000 hingga 2013, laju deforestasi sekitar 2 persen per tahun, padahal itu hutan lindung. Saat diberikan izin hutan desa, kerusakan tutupan hutannya pada 2018 adalah 0 persen. Dapat dikatakan, hutan sosial mencegah kerusakan,” sebutnya.

Bujang Raba juga sudah masuk skema komoditi karbon [commodity carbon market]. Transaksi dilakukan langsung pengelola hutan desa/nagari dengan kelompok bisnis, 1 ton karbon senilai 6 Dollar.

“Pembelinya perusahaan penerbangan di Swedia bernama TUI. Satu hektar kawasan hutan, kandungan karbonnya rata-rata 250-360 ton,” ulasnya.

 

Sungai yang mengalir dari Hutan Nagari Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Kemudahan izin

Rudy mengatakan, secara nasional sekarang antar-kementerian mendukung perhutanan sosial. Sebut saja ada Permendes Nomor 16 Tahun 2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2019. “Ini perlu terus didiskusikan supaya tidak ada lagi pemikiran sektoral.”

Menurut Rudy, realisasi perhutanan sosial di seluruh Indonesia telah mencapai 3,1 juta hektar dengan perizinan lebih mudah dan cepat. “Februari lalu 2,6 juta hektar, sekarang 3,1 juta hektar. Peningkatan ini sudah termasuk dari Sumatera Barat sejumlah 500.000 hektar. Jumlah ini akan terus bertambah karena masih ada 400 ribu hektar lagi yang belum keluar izinnya.”

Perkembangan perhutanan sosial di Sumatera Barat harusnya menjadi contoh di wilayah lain. “Sumatera Barat sudah membuat kelompok kerja, memiliki peta PIAPS, dan lebih dulu membuat peraturan gubernur tentang percepatan perhutanan sosial,” ungkapnya.

 

Statistik Perhutanan Sosial 2017-2019. Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

 

Terkait kendala, yang masih dihadapi adalah kelompok kerja percepatan hutan adat yang hanya di level nasional, sementara di daerah belum ada. Rencana perhutanan sosial juga belum tersampaikan dengan baik ke kabupaten, semangat kewirausahaan kelompok/lembaga perhutanan sosial pun belum memadai.

“Harapan kami, skema ini masuk RPJMD dan RPJMDes, RPHJP dan RPJM Nasional 2019-2024. Harmonisasi rencana pengelolaan hutan di tingkat tapak dalam PIAPS [Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial] melalui Pergub 52 harus terlihat semangatnya,” pungkasnya.

Perhutanan Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya. Pemerintah, periode 2015-2019 mengalokasikan 12,7 juta hektar untuk perhutanan sosial, melalui skema hutan desa [HD], hutan kemasyarakatan [HKm], hutan tanaman rakyat [HTR], hutan adat [HA], dan kemitraan kehutanan [KK].

 

 

Exit mobile version