Mongabay.co.id

Embun Beku Dieng Sudah Mulai Turun, Mungkinkah Skalanya Meluas Saat Puncak Kemarau?

 

Suhu begitu dingin, bahkan menyentuh 00 celcius di dataran tinggi Dieng yang terletak di perbatasan antara Banjarnegara dan Wonosobo, Jateng. Itu terjadi pada Sabtu (18/5) lalu.

Dengan suhu sedingin itu, maka terbentuklah butiran-butiran es yang berasal dari embun. Warga Dieng menyebut bun upas atau embun beku. Meski relatif masih terbatas lokasinya, hanya di kawasan sekitar Candi Arjuna, tetapi cukup membuat heboh bahkan menjadi viral di media sosial.

Sejumlah akun media sosial baik Instagram, Facebook maupun twitter, termasuk twitter dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banjarnegara, ramai-ramai mengunggah sebuah foto termometer dengan yang terletak pada rumput dengan embun beku memutih.

baca : Embun Beku Bisa Terjadi Lagi di Dieng, Petani Kentang Rugi. Kenapa?

 

 

“Memang benar, bun upas telah turun di Dieng, tetapi skalanya tidak luas dan hanya di sekitar kawasan Candi Arjuna,” kata Kepala Pelaksana Harian BPBD Banjarnegara Arif Rahman, Senin (20/5/2019).

Masyarakat di Dieng, katanya, telah memiliki kearifan lokal terkait dengan bun upas. Warga telah memahami dan mengenai tanda-tanda fenomena bun upas turun.

“Kami yakin warga di Dieng sudah sangat memahami dan mengenali tanda-tanda fenomena bun upas, sehingga risiko kerusakan atau kerugian bisa dieliminasi. Dengan turunnya bun upas pada pertengahan Mei, bisa saja itu menjadi sinyal munculnya bun upas pada puncak kemarau seperti yang terjadi pada tahun 2018 lalu,”jelasnya.

Berdasarkan catatan Mongabay, bun upas dengan skala cukup luas sempat muncul beberapa kali pada bulan Agustus 2018, saat puncak musim kemarau, ketika suhu udara di Dieng yang memiliki ketinggian di atas 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu di bawah 00 celcius. Kawasan di sekitar Kompleks Candi Arjuna memutih. Embun yang membeku tersebut kelihatan seperti hamparan salju.

baca juga : Purwaceng “Viagra of Java” Hanya Hidup di Dieng. Benarkah?

 

Bun upas yang menyelimuti daerah pertanian di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara ketika puncak musim kemarau tahun lalu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Tahun 2019, banyak orang menganggap bun upas terlalu dini datangnya. Benarkah demikian?

Salah seorang petani di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Saroji mengatakan berdasarkan pengalamannya hidup di Dieng, datangnya bun upas memang tidak dapat diprediksikan. “Kalau munculnya bun upas pada Mei, sebetulnya bagi kami tidak mengejutkan. Sudah sering terjadi bun upas datang pada bulan seperti ini, yakni ketika pergantian antara musim penghujan ke kemarau,”ungkapnya.

Saroji mengatakan masyarakat di Dieng sudah cukup hafal dengan tanda-tanda kemunculan bun upas. “Warga yang telah puluhan tahun hidup di Dieng sudah sangat hafal dengan tanda-tanda datangnya bun upas. Ada ilmu ‘titen’ atau pengingat. Misalnya, besok akan turun bun upas, sudah ada kabut yang tidak bergerak pada jam 17.30 WIB. Biasanya tidak ada angin. Semakin malam kian dingin. Pada tengah malah, biasanya sudah turun rintik hujan es. Kalau tanda-tanda itu muncul, dapat dipastikan kalau pada pagi harinya bakal turun bun upas,”jelasnya.

Saroji mengatakan dengan munculnya bun upas pada Mei, maka kemungkinan besar pada puncak musim kemarau atau Juli-Agustus mendatang, embun beku dapat kembali muncul. Bahkan, dalam skala yang lebih luas.

Kepala Desa Dieng Kulon Slamet Budiono juga memperkirakan kalau bun upas pada pertengahan Mei bukanlah embun yang datang lebih cepat. “Itu sudah biasa terjadi. Namun, barangkali juga bisa menjadi tanda kalau tahun ini bun upas bakal lebih luas. Kalau berdasarkan ilmu ‘titen’ masyarakat, pada tahun ganjil, biasanya bun upas akan lebih tebal dan luas. Itu berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya. Tetapi untuk kepastiannya saya juga tidak tahu,”ujar Kades.

menarik dibaca : Kemarau Datang, Air Telaga Jadi Andalan

 

Embun beku atau bun upas menyelimuti rerumputan di sekitar kawasan Candi Arjuna, Dieng pada Agustus 2018 lalu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Kepala Stasiun Geofisika Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie mengatakan fenomena bun upas atau disebut dengan “frost” memang acapkali muncul pada saat peralihan musim penghujan ke kemarau. “Setelah itu, ada kemungkinan bakal muncul kembali pada saat puncak musim kemarau. Berdasarkan prakiraan dari BMKG, sebagian wilayah di Jateng telah masuk musim kemarau, salah satunya adalah Banjarnegara,”katanya.

Selain itu, lanjut Setyoajie, fenomena bun upas memang sering terjadi pada daerah dataran tinggi, di mana kondisi topografis lokal juga mempengaruhi. “Apalagi Dieng termasuk dataran dengan ketinggian 2.000 mdpl, diindikasikan berpeluang mengalami kondisi udara permukaan yang dingin, bahkan di bawah titik beku yakni 00 Celcius. Sebab, molekul udara di daerah pegunungan lebih renggang jika dibandingkan dengan di dataran rendah sehingga sangat cepat mengalami pendinginan. Apalagi kalau cuacanya cerah, tidak tertutup awan,”lanjutnya.

Dampaknya adalah uap air di udara bakal mengalami kondensasi pada malam hari, kemudian mengembun dan menempel jatuh ke tanah, rumput dan dedaunan. Fenomena inilah yang kemudian dinamakan “frost” atau bun upas. “Upas sebetulnya bahasa daerah dari racun. Kenapa demikian, karena bun upas seperti racun yang mematikan tanaman apabila terkena,”ungkapnya.

Yang perlu diwaspadai, lanjutnya, adalah pada puncak musim kemarau, karena potensi suhu dingin lebih tinggi jika dibandingkan saat ini. “Potensi munculnya bun upas dengan skala lebih luas harus diantisipasi dari sekarang, terutama bagi petani yang mempunyai lahan kentang,”katanya.

baca juga : Kopi Ini Sukses Satukan Ekonomi, Konservasi dan Mitigasi

 

Fenomena bun upas yang menutupi tanaman pertanian di Dieng yang terjadi tahun lalu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Upaya Antisipasi

Dengan kemungkinan munculnya kembali bun pas pada puncak musim kemarau, Setyoajie menambahkan kalau petani dan dinas terkait akan lebih tahu langkah-langkah yang dapat dilakukan. “Kami dari Stasiun Geofisika memberikan prediksi kalau sangat potensial bun upas bakal turun lagi pada saat puncak kemarau. Kami mengimbau kepada petani dan dinas terkait untuk melakukan upaya supaya lahan kentang yang berada di sekitar kawasan Dieng tidak terlalu terkenda dampaknya kalau bun upas muncul,”katanya.

Petani di Dieng Kulon, Saroji, mengatakan kalau petani tidak memiliki upaya khusus dalam menghadapi bun upas yang turun. Biasanya, petani hanya mempercepat penanaman kentang, supaya kalau memasuki bulan Agustus, tanaman kentang sudah berumur lebih dari 70 hari sehingga kuat jika bun upas muncul.

“Kalau usia (tanaman) masih terlalu muda, maka dipastikan tanaman kentang bakal puso. Daun mengering seperti terbakar jika terkena bun upas,”katanya.

Menurutnya, petani sudah hafal dengan datangnya bun upas yang skalanya besar, biasanya ketika puncak musim kemarau pada Agustus. “Karena itu tentu diupayakan supaya tanaman kentang pada puncak musim kemarau sudah masuk usia panen. Sebab, jika terkena bun upas, maka kerugian cukup besar akan diderita petani. Setiap hektare, petani bisa mengalami kerugian antara Rp30-40 juta. Tetapi kalau terkena pun, petani pasrah. Karena biasanya setelah bun upas muncul, maka tanaman pada musim tanam berikutnya akan lebih subur,”katanya.

Kades Dieng Kulon Slamet Budiono menambahkan sebetulnya ada upaya untuk menutup tanaman dengan jaring paranet. Itu dilakukan untuk tanaman kentang yang umurnya belum terlalu dewasa. “Namun, kalau masih tetap terkena, maka petani pasrah saja. Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, habis terkena bun upas biasanya tanaman kentang akan lebih subur,”ujarnya.

 

Bun upas atau frost menjadi salah satu fenomena yang menarik bagi wisatawan di Dieng, Jateng, seperti yang terjadi pada tahun lalu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sementara Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Banjarnegara Totok Setya Winarno mengakui kalau berdasarkan penuturan para petani, biasanya setelah muncul bun upas, maka tanaman lebih subur pada musim tanam berikutnya. “Dalam konteks berbeda, barangkali mirip dengan kejadian gunung meletus di mana abunya membuat tanah lebih subur. Namun demikian, secara ilmiah memang belum ada penelitian khusus yang mengaitkan antara bun upas dengan kesuburan tanah,”katanya.

Salah satu upaya yang paling efektif adalah dengan menyesuaikan pola tanam, sehingga ketika puncak musim kemarau, tanaman kentang sudah kuat atau bahkan panen. “Tetapi, petani di Dieng telah memiliki kearifan lokal dengan fenomena embun beku tersebut,”katanya.

Bagi warga di Dieng, bun upas yang muncul memang kerap menjadi penyebab matinya tanaman kentang, tetapi di sisi lain embun beku menjadi fenomena menarik bagi wisatawan. Sebab, adanya bun upas menjadi pemandangan menarik terutama bagi warga luar Dieng.

 

Exit mobile version