Mongabay.co.id

Pulau Moyo, Destinasi Wisata Unggulan dengan Berbagai Permasalahan

Walaupun garis pantai mencapai 88 km, nelayan di Pulau Moyo, sangat sedikit. Mereka lebih banyak berladang. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

Perbincangan soal pemilihan presiden masih terdengar di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, April lalu. Saat singgah di warung kopi di Pelabuhan Pantai Jempol, perdebatan seputar hasil quick count dan real count mengisi diskusi para awak buah kapal (ABK) dan pengojek. Pemilik warung sesekali ikut menimpali debat yang tak berkesudahan. Perdebatan berakhir ketika para penumpang perahu yang akan menyeberang ke Pulau Moyo, satu persatu naik perahu.

Seorang ABK yang mangkal di warung itu adalah Sanusi, warga Pulau Moyo. Hari itu, perahunya disewa rombongan yang akan kegiatan sosial di Moyo. Kali pertama saya bertemu Sanusi pada 2015. Saat itu, saya menumpang perahu dari Pantai Goa dan berlayar menuju Moyo. Di tengah perjalanan kami ngobrol dan berakhir dengan ajakan menginap di rumahnya. Kisah itu kembali saya ceritakan, barulah Sanusi mengingat.

“Yang dulu bertemu sama rombongan Jakarta, ya. Sekarang anak saya sudah besar,’’ kata Sanusi. Empat tahun silam, saat saya bertandang ke rumah dia, istrinya sedang hamil besar.

Pagi itu, cuaca cerah. Ombak tenang. Pemandangan savana di Pulau Sumbawa jadi hiburan perjalanan dari Pantai Jempol ke Moyo yang memakan waktu dua jam. Kalau cuara kurang bersahabat, bisa lebih dua jam. Tak ada jadwal rutin perahu dari Sumbawa ke Moyo.

Walaupun destinasi pariwisata unggulan Sumbawa, bahkan provinsi NTB, wisatawan ke Moyo, sangat sedikit. Satu-satunya penginapan di sana, Amanwana, adalah resort eksklusif dengan tarif per malam jutaan rupiah. Tamu sedikit.

Pilihan terbaik untuk bepergian ke Moyo dengan bertanya di pelabuhan Pantai Jempol dan Pantai Goa, kapan perahu dari Moyo akan berangkat.

Setelah berlayar dua jam, kami tiba di Dermaga Desa Labuan Aji. Ada dua desa di Pulau Moyo, Desa Labuan Aji– terletak di bagian selatan dan Desa Sebotok di bagian utara. Air terjun yang akan kami tuju, Air Terjun Mata Jitu terletak di Desa Labuan Aji.

Jarak dari dermaga ke air terjun Mata Jitu sekitar tujuh km. Jalan menanjak, melewati perkebunan dan hutan taman berburu. Saya memutuskan naik ojek, tarif Rp 100.000 untuk perjalanan pergi pulang.

Saat wisatawan bermain di air terjun, pengojek akan menunggu sampai pulang. Harga itu cukup mahal untuk jarak yang pendek. Mengingat kelangkaan bahan bakar di Pulau Moyo, harga itu masih dianggap normal. Apalagi dari dana itu, Rp25.000 masuk kas desa. Dana itu jadi pendapatan desa untuk menggaji staf desa dan para kepala dusun.

 

 

Air Terjun Mata Jitu di Pulau Moyo menjadi ikon pariwisata Kabupaten Sumbawa bahkan jadi ikon pariwisata Nusa Tenggara Barat (NTB). Air terjun ini pernah dikunjungi putri kerajaan Inggris, Putri Diana (Lady Diana). Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Kelas dunia?

Sebagai ikon pariwisata Kabupaten Sumbawa, setiap tahun Dinas Pariwisata Sumbawa menggelar event Festival Moyo. Berbagai atraksi budaya, hiburan, pameran digelar sepanjang dua minggu di daratan Pulau Sumbawa, dan Moyo. Dinas Pariwisata NTB pun jadikan Festival Moyo sebagai kalender tahunan pariwisata.

Sayangnya, nama besar Festival Moyo, tak sebanding fasilitas. Mulai dari akses jalan, dari pusat desa menuju air terjun Mata Jitu melewati jalan dirabat beton. Sepajang tujuh km ruas jalan itu, tak sampai satu km yang layak. Jalan rabat beton hanya mulus di perkampungan. Begitu melewati kampung, jalan rabat itu berubah jadi jalan adu nyali. Jalan putus oleh aliran air saat hujan, dan kondisi saat ini tak jauh berbeda dengan kondisi 2015.

Bahkan, makin rusak. Di beberapa ruas jalan yang dirabat beton, pengendara motor harus hati-hati karena lubang menganga. Di titik lain, bebatuan yang awalnya ditimbun tanah yang terkikis air akhirnya jadi penghalang jalan.

Kondisi jalan ini juga menyulitkan akses transportasi antardusun di Desa Labuan Aji. Dusun-dusun di Desa Labuan Aji, tersebar di sisi barat dan timur Pulau Moyo. Ada dua pilihan menuju dusun-dusun itu, melalui jalur laut yang tentu saja mahal. Melalui jalur darat yang berbahaya dan akhirnya mahal. Untuk jasa ojek dari Labuan Aji ke dusun-dusun lain sekitar Rp200.000–Rp 250.000. Bonus perjalanan, kalau salah memilih jalan bisa-bisa hilang di tengah hutan Pulau Moyo.

“Jalan lebih rusak lagi jika dibandingkan jalan ke air terjun Mata Jitu,’’ kata Samsudin, Kepala Sekolah SDN Stema, Desa Labuan Aji.

Sebagai destinasi kebanggaan Sumbawa dan NTB, fasilitas di Pulau Moyo jauh dari membanggakan. Nama besar kawasan itu yang kerap dikunjungi para pesohor dunian, mulai dari Putri Diana dan beberapa artis, sampai bintang sepak bola tak membuat fasilitas di Pulau Moyo, dibenahi.

Selain kondisi jalan rusak parah, tak ada papan informasi tentang air terjun Mata Jitu. Padahal, bentang alam di air terjung itu unik. Tak seperti air terjun umumnya yang tinggi, jatuh dari ketinggian belasan sampai puluhan meter, Mata Jitu sekitar 10 meter.

Air jatuh dari sungai berair tenang di bagian hulu, menuruni travertin, bebatuan bentukan batuan gamping yang mengendap dan membentuk teras. Air juga mengalir bersama stalagtit. Keunikan inilah yang jadi ciri khas air terjung Mata Jitu.

“Ini salah satu potensi geowisata di Moyo,’’ kata Kusnadi, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) NTB.

 

Walaupun dikenal sebagai destinasi pariwisata kelas dunia dan setiap tahun digelar Festival Moyo, akses jalan di Pulau Moyo sangat buruk. Transportasi ojek juga sangat mahal. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Bagi wisatawan yang berkunjung ke air terjung Mata Jitu, mencari informasi dari para ojek sangat terbatas. Selain cerita turun temurun tentang Putri Diana yang pernah berkunjung ke sana, para pesohor yang menjadi tamu resort mewah Amanwana, mandi di air terjun itu. Selebihnya, fenomena alam di air terjun Mata Jitu harus mencari referensi dari luar.

Pariwisata yang menjual keindahan geowisata, kata Kusnadi, semestinya menyiapkan cerita tentang tempat itu. Cerita-cerita itulah yang akan dikenang wisatawan.

“Dulu kami (IAGI NTB) usulkan agar Pulau Moyo, masuk juga bagian dari Geopark Tambora agar lebih luas dan pengembangan lebih cepat, tidak ada kabar sampai saat ini,’’ katanya.

Di Labuan Aji, pintu masuk wisata Pulau Moyo, informasi juga sangat terbatas.

Tak hanya Mata Jitu, di Moyo, ada juga air terjun Diwu Mbai. Moyo juga dikenal sebagai taman wisata berburu. Ia ditunjuk sebagai kawasan Konservasi Taman Buru dan Taman Wisata Alam Laut melalui SK Menteri Kehutanan No.308/Kpts-II/1986 tertanggal 29 September 1986 seluas 22.250 hektar. Seluas 6000 hektar Taman Wisata Alam Laut.

 

Konflik tenurial dan kerusakan hutan Moyo

Walaupun masuk Sumbawa, masyarakat di Pulau Moyo, sebagian besar dari Suku Mbojo (Bima), Bugis dan Selayar. Sebagian besar penduduk bermatapencharian sebagai petani kebun. Sebagian lagi nelayan. Tak seperti kebanyakan warga Bugis yang tinggal di pulau-pulau kecil lain yang melaut hingga jauh, di Pulau Moyo, mereka nelayan dengan perahu kecil. Mereka menangkap ikan dengan peralatan sederhana. Mencari ikan di sekitar perairan Moyo.

Selain itu, sumber daya hutan memegang peranan penting bagi masyarakat Desa Labuhan Aji dan Desa Sebotok di Pulau Moyo. Hutan menghasilkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti madu, jasa wisata, dan air. Saat ini, kawasan hutan berubah jadi areal pertanian oleh penduduk Desa Sebotok (tiga dusun) dan Desa Labuhan Aji (dua Dusun).

“Inilah yang menjadi masalah di Pulau Moyo, perambahan hutan masif,’’ kata Markum, peneliti kehutanan dari Universitas Mataram.

Dalam riset yang pernah Markum lakukan, kawasan hutan terambah sekitar 1.500 hektar. Ia berubah jadi lahan pertanian. Masyarakat berkelompok masuk hutan, membersihkan jadi ladang, kemudian membagi jadi beberapa petak.

“Keberanian ini karena pengawasan dan pengamanan kawasan hutan longgar dipicu ada konflik yang mengemuka antara masyarakat dengan BKSDA,’’ kata Markum.

Dia bilang, kondisi hutan setali tiga uang dengan perairan. Kawasan perairan juga menuai beberapa masalah dampak pemanfaatan sumber daya laut, yang banyak berdampak terumbu karang. Praktik penangkapan ikan tak ramah lingkungan masih terjadi. Saat ini, katanya, makin wisata, menyebabkan makin banyak aktivitas perahu dan kapal di sekitar pantai. Kondisi ini, katanya, bisa berdampak pada perlindungan terumbu karang.

Persoalan ini, katanya, sudah berlangsung lama. Sengketa tata batas kawasan hutan, menurut versi masyarakat, karena pemetaan BKSDA, pada 1980, 1990, dan 1993.

Markum bilang, pemetaan tata batas pada 1980 ditandai dengan pal batas berupa batu. Pada 1990, ditandai pal kayu, dan 1993, ditandai dengan beton.

Persoalan muncul karena pemetaan ketiga. Menurut masyarakat sudah bergeser memasuki lahan milik masyarakat. Informasi masyarakat, pemetaan ketiga untuk pembuatan jalan lingkar, hingga beberapa dari mereka merelakan lahan untuk diukur, dengan maksud meningkatkan nilai jual lahan.

Ternyata lokasi yang diukur sebagai batas kawasan hutan. Tuntutan masyarakat, agar tata batas kembali ke batas semula.

“Jika ingin memajukan Moyo sebagai kawasan wisata, konflik tenurial ini harus diselesaikan,’’ katanya.

Untuk menyelesaikan kasus di Pulau Moyo, Markum merekomendasikan, pertama, upaya penyelesaian konflik tata batas kawasan hutan (BKSDA dengan masyarakat). Pembiaran kasus ini berlarut-larut, katanya, dapat mengancam perambahan hutan dan menciptakan hubungan disharmoni para pihak terutama masyarakat dengan BKSDA.

Kedua, perlu ada penguatan kapasitas kepada masyarakat tentang tata kelola lahan yang baik dan pemanfaatan kawasan pesisir berkelanjutan, melalui kegiatan pelatihan maupun pendampingan. Selama ini, katanya, masyarakat mengelola lahan dari pengalaman sendiri yang belum tentu mengikuti prinsip-prinsip pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan.

Ketiga, perlu fasilitasi pengembangan kelembagaan masyarakat petani, nelayan, dan pemanfaatan jasa wisata, agar ada media saling belajar. Juga komunikasi lebih intensif antara anggota masyarakat. Ke depan dengan makin berkurangnya sumber daya alam, persaingan akan makin tinggi, sikap-sikap ekspansif masyarakat terhadap penguasaan lahan, bisa dikurangi dengan mengelola lebih intensif.

Keempat, perlu pengaturan zona perlindungan dan pemanfaatan sumber daya pesisir untuk masyarakat, misal, dengan penetapan penangkapan ikan. Penutupan akses pada satu hal, harus dibarengi pemberian akses lain, sebagai kompensasi agar sumber-sumber penghasilan masyarakat tetap terpenuhi.

“Semua stakeholder harus duduk bersama, persoalan Pulau Moyo ini begitu kompleks.”

 

Keterangan foto utama: Walaupun garis pantai mencapai 88 km, nelayan di Pulau Moyo, sangat sedikit. Mereka lebih banyak berladang. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Hutan di Pulau Moyo berstatus Taman Buru, tetapi masih sering terjadi perburuan rusa secara ilegal. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version