Mongabay.co.id

Forum Diskusi Mongabay: Masih Banyak Hambatan, Potensi Perhutanan Sosial di NTB Belum Tergarap Optimal

 

Para pegiat lingkungan di Nusa Tenggara Barat (NTB) resah akan nasib sektor kehutanan NTB dalam empat tahun ke depan. Di era kepemimpinan Gubernur NTB 2018-2024  Zulkieflimansyah, sektor kehutanan tampak dianaktirikan. Hal itu bisa terlihat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang baru saja disahkan.

Sejak awal penyusunan RPJMD itu, para pegiat lingkungan sudah mewanti-wanti agar tak menyepelekan persoalan kehutanan. Alasannya, berbagai bencana yang terjadi di NTB dalam lima tahun terakhir, tak lepas dari persoalan sektor ini.

Banjir bandang di Kota Bima dan Kabupaten Bima pada akhir 2016 mengakibatkan kerugian hingga Rp 2 triliun lebih. Belum lagi banjir bandang di Kabupaten Dompu dan Kabupaten Sumbawa yang mengakibatkan kerugian hingga ratusan miliar rupiah. Beranjak ke bencana bajir bandang di Pulau Lombok, lagi-lagi persoalan hutan gundul menjadi penyebabnya.

Tapi sayang, dalam RPJMD termasuk dalam program pemerintah provinsi NTB pada tahun 2019 ini tak ada political will untuk memerhatikan sektor kehutanan.

 

Buah alpukat merupakan salah satu potensi kawasan HKm di Aik Berik Lombok Tengah. Tanaman buah-buahan belum sepenuhnya merata di lokasi perhutanan sosial. Kendala pemasaran HHBK di NTB meliputi beragam faktor. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Keresahan ini diungkapkan  para pegiat lingkungan dalam diskusi yang difasilitasi Mongabay Indonesia di Mataram pada 23 Mei 2019. Hadir Kepala Bidang Pengelolaan Hutan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB Julmansyah, Staf Khusus Gubernur NTB M. Nashib Ikroman, Direktur WWF Nusa Tenggara Ridha Hakim, Direktur Samantha Dwi Sudarsono, Ketua Serikat Tani Nasional (STN) NTB Irfan, dan para pegiat lingkungan lainnya.

“Di dalam RPJMD idealnya dicantumkan tentang perhutanan sosial. Berapa targetannya. Tapi sayangnya tidak menjadi isu strategis,’’ kata Direktur Samantha Dwi Sudarsono. Samantha adalah salah satu LSM yang bertahun-tahun telah melakukan pendampingan masyarakat di lingkar hutan di NTB.

Dwi menyebut, potensi perhutanan sosial di NTB mencapai 400 ribu hektar lebih. Dari potensi ini yang sudah berizin baru sekitar 31 ribu hektar lebih. Selebihnya kondisinya sebagian besar kritis. Illegal logging terjadi secara masif, dan alih fungsi untuk lahan pertanian terus terjadi.

Saat yang sama, masyarakat yang tinggal di perbatasan dengan hutan dijerat kemiskinan. Sehingga tak heran jika kantong-kantong buruh migran, khususnya di Pulau Lombok berasal dari desa-desa di lingkat hutan. Padahal jika dioptimalkan kawasan hutan itu, bukan mustahil masyarakat sejahtera.

“Kita hitung kasar, dalam 1 hektar lahan itu ada 1 KK yang dihidupi. Jadi jika ada 400 ribu hektar lahan potensial, maka ada 400 ribu KK yang bisa makan dari hutan,’’ kata Dwi.

Selain persoalan kemiskinan, kondisi saat ini juga diwarnai banyaknya konflik di lingkar hutan. Konflik antara petani penggarap lahan dengan pemerintah, petani melawan perusahaan yang memegang izin. Bahkan petani dengan petani seperti yang terjadi di Kabupaten Dompu beberapa waktu lalu.

“Ketika bukan menjadi kebijakan strategis, sulit kedepannya Dinas LHK untuk bergerak,’’ katanya.

Direktur WWF Nusa Tenggara Ridha Hakim bilang untuk menata perhutanan sosial maka Dinas LHK Provinsi NTB harus memiliki road map jangka panjang. Tanpa road map yang jelas maka persoalan di lapangan tidak akan pernah selesai.

Dalam hitung-hitungan WWF, dibutuhkan dana tak kurang Rp8 trilyun untuk memulihkan kondisi hutan NTB yang terlanjur rusak. Dengan kemampuan fiskal Provinsi NTB yang terbatas, maka dibutuhkan 10 tahun untuk menyelesaikan ini. Itu pun dengan catatan seluruh APBD NTB habis untuk sektor kehutanan

 

Kawasan hutan di Bangko-Bangko Lombok Barat yang sudah tak berbentuk hutan lagi. Lemahnya penegakan hukum, pertarungan kepentingan bisnis pariwisata membuat kawasan hutan di bawah BKSDA itu dalam kondisi kritis. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Izin Berbelit, Perda Pengelolaan Hutan Masih Umum

Di awal tahun 2019, para pegiat lingkungan agak lega ketika pemerintah provinsi NTB membuat Perda Pengelolaan Hutan. Perda itu sudah disahkan di tingkat DPRD NTB, dan sedang diproses evaluasi di Kemendagri.

Namun WWF melihat perda masih jauh dari sempurna, sehingga terlihat perda tak lebih dari penjelasan peraturan Kementerian LHK. Padahal yang lebih penting perda seharusnya lebih mengatur dengan detail tentang peran daerah.

Ridha mencontohkan, di dalam perda itu tidak dijelaskan detail pengurusan izin Hutan Kemasyarakatan (HKm). Penyerahan urusan kehutanan dari kabupaten ke provinsi juga menjadi tantangan tersendiri untuk mengoptimalkan perhutanan sosial.

“Siapa petugasnya, siapa penanggung jawab di dinas, bagaimana prosedur, berapa lama pengurusan. Yang terjadi, proses pengurusan izin perhutanan sosial menjadi panjang dan berbelit. Bahkan [HKm] yang diusulkan sejak 2016 sampai sekarang tidak ada kejelasan,” katanya.

Ridha merinci, ada dua proses verifikasi, yaitu administrasi dan verifikasi lapangan. Verifikasi lapangan ini yang menjadi tugas berat di Dinas LHK. Verifikasi membutuhkan tenaga GIS, sementara jumlah tenaga terbatas. Petugas pun harus turun ke masyarakat, lakukan wawancara dan memetakan persoalan lapangan.

“Tidak cukup cuma datang dan langsung sosialisasi, tanpa pendekatan. Bisa-bisa nanti jadi konflik baru dengan masyarakat yang sudah terlanjur menggarap lahan.”

Untuk opsi percepatan perhutanan sosial. Dia mengusulkan agar Dinas LHK melakukan desentralisasi proses dengan memperkuat Pokja, Balai, dan KPH. Di NTB sendiri terdapat 11 KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) yang meliputi Lombok dan Sumbawa.

 

Kawasan hutan RTK 15 Sekaroh, Lombok Timur tampak dari udara. Sebagian besar kawasan hutan beralih menjadi ladang jagung, permukiman, dan pengembalaan. Sekaroh dikenal dengan pantai indahnya dan dikenal sebagai kawasan hutan “paling panas” lantaran konflik berkepanjangan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Sebutnya, Dinas LHK NTB, dapat melakukan rapat koordinasi tiap sebulan sekali bersama para pihak. Koordinasi penting untuk melihat dan memetakan persoalan yang ada. Sehingga izin tidak diberikan ketika lahan sudah terlanjur rusak parah.

“Beberapa kasus, ketika izin sudah diberikan kondisi lahannya sudah rusak. Lalu masyarakat dibiarkan sendiri untuk memperbaiki kawasan itu. Mestinya ada program ke masyarakat.”

Di sisi lain, M Nashib Ikroman Direktur Hamzanwadi Institute menyebut dalam persoalan kehutanan dukungan wakil rakyat di DPRD dirasa minimi. Hal ini karena anggota dewan masih berpikir pragmatis, tentang manfaat elektoral.

“Karena di dalam hutan itu tidak ada pemilihnya.”

Beda misalnya dengan proyek-proyek infrastruktur, anggota dewan dengan mudah menyetujui berapa pun anggaran yang diusulkan. Termasuk jika itu adalah anggaran tahun jamak.

“Seperti tahun 2019 ini, ada ajuan anggaran untuk penanaman bambu untuk rehabilitasi lahan. Anggarannya Rp2 milyar. Itu saja sudah dirasa sangat besar,” jelas pria yang juga Staf Khusus Gubernur NTB ini.

Ikroman setuju jika perhutanan sosial dan kemitraan pengelolaan hutan adalah solusi untuk mencegah perluasan lahan kritis di NTB. Hal ini karena ada pihak di lapangan yang langsung mengelola, mengawasi, dan mengurus lahan kawasan hutan.

“Bikin perjanjian. Jika tidak mampu cabut izinnya, alihkan ke petani yang sanggup. Penegakan hukum juga harus dilaksanakan, tangkap yang melakukan perusakan hutan,’’ katanya.

 

Produk Hasil Hutan yang Belum Optimal 

Kepala Bidang Lingkungan Hidup Dinas LHK Provinsi NTB Julmansyah tak membantah jika sektor kehutanan tidak menjadi isu strategis di RPJMD, termasuk juga tentang anggaran yang terbilang kecil.

Dia menyebut pengelolaan perhutanan sosial yang ada memang belum terlihat kontribusinya. Masih belum optimal.  Masyarakat belum mampu mengelola hutan dengan lestari. “Buktinya sertifikasi hutan lestari belum ada. Termasuk HKm Santong yang sudah lama dan dianggap berhasil.’’

Dia pun melihat masyarakat lingkar hutan pun belum terlihat tangguh. Itu terlihat pasca kejadian gempa bumi yang lalu. Saat akan rehabilitasi rumah yang rusak, masyarakat kesulitan menyediakan kayu.

“Padahal mereka tinggal di desa lingkar hutan. Idealnya masyarakat yang tinggal di lingkar hutan bisa memenuhi kebutuhan sendiri untuk kayu.”

Untuk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) juga terkendala pemasaran dan produksi. Sampai saat ini belum ada yang fokus mengurus inkubator usaha. Meski sebenarnya Dinas dan LSM telah banyak melakukan pendampingan selama ini. Produk HHBK pun belum jadi ikonik NTB.

“Barangkali baru madu Sumbawa. Itu pun masih curah.’’

Julmansyah bilang memang dalam RPJMD tidak  ada spesifik yang menyebut tentang perhutanan sosial dan HHBK, tapi dalam visi-misi gubernur, disebut arah pembangunan ekonomi ke depan NTB adalah industrialisasi.

“Di sini HHBK bisa masuk. Bagaimana produk-produk itu masuk dalam skala industri,’’ katanya.

Potensi lain yang sedang dibidik adalah jasa jasa lingkungan alam, yaitu air bersih seperti yang sekarang sedang digagas di Sumbawa. Di Lombok Tengah katanya, dulu program jasa lingkungan ini pernah diinisiasi. Belakangan program ini macet.

Kelembagaan yang belum kuat, konflik di daerah hulu, peralihan kewenangan kehutanan dari kabupaten ke provinsi sebutnya membuat gagasan itu kandas. Padahal di Lombok Tengah sudah ada Perda Jasa Lingkungan.

Sektor lainnya adalah pariwisata. Tahun 2019 ini Pemerintah Provinsi NTB telah menetapkan 99 desa wisata, diantaranya  ada di kawasan hutan. Sebagian sudah menjalankan aktivitas pariwisata meski masih skala kecil.

Pariwisata inilah yang sedang digodok oleh Dinas LHK bersama Dinas Pariwisata. Programnya termasuk penyediaan infrastruktur, peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat, dan promosi. Pemerintah jelasnya berkomitmen, bahwa konsep desa wisata lingkar hutan ini dilakukan oleh masyarakat.

“Dikelola oleh komunitas, bukan mass tourism seperti di Senggigi.’’

 

Sisa bangunan milik PT ESL di kawasan hutan Sekaroh yang dirusak massa. Perusahaan yang mendapat izin untuk jasa pariwisata ini belum bisa berbuat banyak lantaran konflik yang belum tuntas. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Skema Penyelesaian Konflik yang Perlu Dipertegas

Ketua Serikat Tani Nasional (STN) NTB Irfan menaruh perhatian pada konflik di dalam kawasan hutan,  termasuk kawasan perhutanan sosial. Dia mencontohkan kasus di Sambelia, Lombok Timur.

Di sana, konflik berkepanjangan antara petani melawan perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri berlangsung bertahun-tahun.

“Sejak awal memang sudah sarat masalah. Izin diberikan ke perusahaan, sementara masyarakat sudah menggarap lahan di kawasan itu. Saat yang sama, ketika masyarakat mengusulkan perhutanan sosial di kawasan itu, prosesnya sangat panjang.”

Sebut Irfan, mestinya sebelum mengeluarkan izin, pemerintah harus melihat kondisi lapangan. Jangan sampai terjadi tumpang tindih di dalam kawasan.

Dia pun menyebut meski STN NTB adalah salah satu anggota Pokja Penyelesaian Konflik Tenurial, namun rapat koordinasi yang melibatkan antar instansi dan lembag jarang digelar. Irfan pun meminta agar Dinas LHK lebih pro aktif dalam menjalin koordinasi.

Lain lagi cerita Wahidjan, legal person dari PT Eco Solution Lombok (ESL), sebuah perusahaan yang mendapat konsesi izin lahan di Hutan Sekaroh, Kabupaten Lombok Timur.

Di lapangan pihaknya harus berhadapan dengan petani penggarap, akibatnya terjadilah konflik. Selain itu, mereka juga harus berhadapan dengan mafia tanah.  Sebagian lahan di kawasan hutan itu katanya sudah bersertifikat. Pemilik sertifikat tak sedikit yang merupakan para pejabat.

“Yang kami temukan sendiri ada 31 sertifikat,’’ sebut Wahidjan.

Selain itu, di kawasan Sekaroh ada dua kelompok petani hutan kemasyarakatan (HKm). Kelompok HKm Sekaroh Jaya dan HKm Sekaroh Maju. Dia curiga, dua kelompok ini sebenarnya orang yang sama, hanya berbeda pengurus saja.

Walhasil, tiga tahun memegang izin, hingga kini perusahaan tak bisa optimal untuk melaksanakan pekerjaan mereka karena konflik lahan. Dia menyebut sebenarnya perusahaan terbuka untuk bermitra dengan warga di Sekaroh. Meski praktiknya hal itu cukup pelik.

“Dulu izin kami dicabut oleh bupati Lombok Timur, tapi kemudian dibatalkan. Kami butuh kepastian hukum.’’

Sebutnya, konflik telah berlangsung selama bertahun-tahun, hingga kini belum pasti kapan masalah itu berakhir. Ini sebutnya indikasi bahwa tata kelola kehutanan di NTB masih jauh dari ideal.

 

 

Exit mobile version