Mongabay.co.id

Nasib Masyarakat Pesisir di Mata Negara

 

 

Proyek Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) yang digagas Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan berlangsung saat ini, dinilai hanya akan menjadi program yang mengganggu kenyamanan warga di kawasan pesisir. Hal itu, karena proyek tersebut dinilai hanya akan menggusur masyarakat pesisir di Nusantara.

Penilaian tersebut diungkapkan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pekan lalu di Jakarta. Keberadaan proyek tersebut, saat ini secara nyata sudah mengancam penggusuran masyarakat pesisir dan itu dilakukan dengan sistematis oleh Negara. Ancaman itu semakin nyata dirasakan warga pesisir, karena target proyek adalah permukiman yang dinilai kotor dan kumuh.

“Itu yang terjadi di Semarang. KOTAKU menggusur permukiman warga pesisir di Tambakrejo,” ungkap Sekjen KIARA, Susan Herawati.

Dalam melaksanakan proyek tersebut, menurut Susan, Kementerian PUPR menyasar pembangunan kota tanpa permukiman kumuh di atas lahan seluas 23.656 hektare yang tersebar di seluruh provinsi. Dengan rincian, KOTAKU akan dibangun di 269 kabupaten/kota dan di 11.067 desa/kelurahan yang semuanya dibiayai oleh pinjaman luar negeri dari lembaga donor.

baca : Negara Tidak Hadir di Tengah Masyarakat Pesisir?

 

Sebuah kapal nelayan melintas di perairan Teluk Jakarta, Muara Angke, Jakarta Utara. Teluk Jakarta mengalami tekanan lingkungan yang tinggi, salah satunya karena proyek reklamasi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Adapun, Susan menyebutkan, lembaga donor yang sudah siap untuk membiayai proyek KOTAKU adalah Bank Dunia dengan pinjaman sebesar USD433 juta, Bank Pembangunan Islam dengan pinjaman sebesar USD329,76 juta, dan Asian Infrastructure Bank dengan pinjaman sebesar USD74,4 juta. Semua rincian besaran pinjaman tersebut, dipublikasikan secara resmi pada situs Kementerian PUPR.

Susan mengungkapkan, dari data yang dimiliki KIARA, proyek KOTAKU sejak awal mengincar kawasan permukiman yang dianggap kumuh, khususnya permukiman yang berada di kawasan pesisir dan bantaran sungai. Kedua kawasan tersebut, di Indonesia selama ini dikenal sebagai kawasan pusat permukiman orang dengan kemampuan ekonomi rendah, termasuk nelayan di dalamnya.

“Padahal, yang benar adalah penggusuran bukan penataan,” katanya.

 

Kampung Nelayan

Contoh nyata dari proyek tersebut, menurut Susan, bisa dilihat di kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Di sana, sebanyak 97 kepala keluarga (KK) harus menghadapi kenyataan digusur oleh satuan polisi pamong praja (Satpol PP) setempat atas perintah Wali Kota Semarang.

“Kasus penggusuran di kampung nelayan, Tambakrejo baru-baru ini, mengingatkan kita bahwa proyek Kotaku sebenarnya adalah penggusuran bukan penataan kawasan kumuh,” katanya.

Selain Semarang, Susan kemudian menyebut kawasan Tallo di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan sebagai contoh lain dari proyek KOTAKU. Dari catatan yang dimiliki Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulsel, pada 2016 proyek KOTAKU di Kota Makassar sudah mengancam penggusuran tempat tinggal dan tanah yang ditempati 17.114 KK miskin. Angka itu setara dengan 68.456 orang miskin di Kota Makassar yang kehilangan rumah dan tanah.

Kemudian kata Susan, di DKI Jakarta, khususnya Jakarta Utara, proyek KOTAKU juga siap menggusur kawasan permukiman yang ada di Marunda, Kamal Muara, Cilincing, dan Penjaringan dan di dalamnya terdapat kampung nelayan Muara Angke yang ternyata masuk dalam program KOTAKU. Kampung-kampung di kawasan tersebut, siap digusur karena dinilai kotor dan kumuh oleh Negara.

“Bagi rumah tangga perikanan yang sangat tergantung kepada sumber daya kelautan dan perikanan, proyek KOTAKU adalah sebuah ancaman serius karena akan menggusur kawasan tinggal mereka,” tandas dia.

baca : Masyarakat Pesisir Jawa Tengah Khawatir Kehilangan Ruang Hidup

 

Ayah dan anak yang melalui petambak di pesisir Jawa Tengah. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Diketahui, KOTAKU atau Kota Tanpa Kumuh adalah nama lain dari kota dengan tanpa permukiman kumuh. Proyek tersebut menyasar permukiman kotor dan kumur di seluruh Indonesia dan memaksa para penghuninya untuk mengikuti program relokasi ke kawasan baru yang dinilai lebih baik. Program tersebut, diprediksi akan mengakibatkan sebanyak 9,7 juta jiwa penghuni kawasan kumuh akan mengalami dampak sosial, dengan 4,85 juta jiwa di dalamnya adalah perempuan.

Terkait peristiwa penggusuran yang menimpa warga di Tambakrejo, Susan menyebut kalau itu semakin menegaskan bahwa keberadaan nelayan tidak pernah dilibatkan sebagai aktor utama untuk setiap program yang dilaksanakan oleh Negara. Akibatnya, nelayan menjadi objek pasif yang harus menerima dampak buruk dari program tersebut.

“Sudah saatnya nelayan ditempatkan sebagai subjek penting dalam pembangunan,” tegasnya.

Program KOTAKU yang mengancam permukiman kawasan pesisir, menurut Susan, selaras dengan peraturan daerah tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang dibuat di setiap provinsi. Keberadan peraturan tersebut, juga menjadi batu sandungan bagi masyarakat pesisir, karena akan merugikan mereka yang hidupnya sangat bergantung pada sumber daya alam di laut.

Menurut KIARA, desakan Pemerintah Pusat untuk menerbitkan Perda RZWP3K di semua provinsi, menjadi desakan yang salah kaprah. Mengingat, dengan adanya kebijakan tersebut, masyarakat justru akan terpasung segala kebebasannya dalam pemanfaatan sumber daya alam di kawasan pesisir.

baca juga : Masyarakat Pesisir Semakin Tersisih karena Tata Ruang Laut Nasional?

 

Sampah yang menumpuk di perkampungan nelayan Wuring, kelurahan Wolomarang, kabupaten Sikka, NTT, yang merupakan salah satu destinasi wisata. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Kekayaan Pesisir

Susan Herawati mengatakan, sebagai negara bahari, Indonesia diberikan kelimpahan sumber daya kelautan dan perikanan yang luar biasa dan bisa ditemukan di semua kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, dan kawasan perairan dalam. Semua potensi itu, ditunjang dengan potensi perikanan tangkap yang juga tidak kalah besarnya.

“Indonesia juga memiliki sumber daya pesisir dan kelautan lain yang juga melimpah. Ini sudah ada sejak lama,” ungkapnya.

Susan memaparkan, Indonesia memiliki potensi dari hutan bakau seluas 2,6 juta hektare, hutan tropis di pulau-pulau kecil seluas 4,1 juta ha, potensi budidaya rumput laut seluas 1.110.900 ha, dan tambak garam yang luasnya mencapai lebih dari 25 ribu ha. Semua potensi itu, bisa ditemukan di kawasan pesisir dengan mudah dan bisa dirasakan manfaatkan oleh masyarakat.

Mengingat ada manfaat yang bisa didapat oleh masyarakat, Susan menyebut, seharusnya hal positif tersebut harus tetap bisa dinikmati setelah Perda RZWP3K diterbitkan dan diterapkan di masing-masing provinsi. Tetapi, pada kenyataanya, seluruh manfaat itu tidak bisa dinikmati meski Perda RZWP3K belum disahkan dan diterapkan.

“Seharusnya (Perda RZWP3K) memang memberi dampak positif. Dengan kekayaan sumber daya yang ada juga, masyarakat pesisir seharusnya menjadi aktor utama dalam pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” jelasnya menyinggung peran masyarakat pesisir yang mencakup di dalamnya adalah nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem, dan masyarakat adat pesisir.

perlu dibaca : Nelayan dan Masyarakat Pesisir Terdampak Perubahan Iklim?

 

Seorang nelayan sedang menjemur ikan di Muara Angke, Jakarta Utara. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Hingga hari ini, KIARA menemukan fakta ada lebih dari 7,87 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan atau mencakup 25,14 persen dari total penduduk miskin di Indonesia yang ada saat ini. Seluruh warga miskin tersebut, selama ini memanfaatkan wilayah perairan dan pesisir untuk dijadikan mata pencaharian.

Bagi Susan, fakta tersebut sangat ironis karena masyarakat pesisir masih sangat bergantung namun masih banyak yang belum sejahtera. Kondisi tersebut masih terus berlangsung hingga sekarang, karena pengaturan ruang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil masih belum memberikan ruang yang adil bagi masyarakat pesisir.

Sementara, di saat yang sama, penataan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil memberikan ruang yang leluasa kepada investor untuk melakukan kepemilikan dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Fakta tersebut, semakin menegaskan bahwa politik penataan ruang tidak diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, namun untuk sebesar-besar kemakmuran segelintir orang.

“Masyarakat bukan menjadi subjek pembangunan, tetapi hanya menjadi objek pembangunan,” tegasnya.

Menurut Susan, ketimpangan dalam penataan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil itu, pada kenyataannya justru mendapat dukungan dan dilegalkan oleh Negara melalui Perda RZWP3K di setiap provinsi. Hingga saat ini, tercatat sudah ada 18 provinsi yang mengesahkan perda tersebut dan sisanya atau 16 provinsi diketahui masih melakukan pembahasan draf naskah.

 

Exit mobile version