Mongabay.co.id

Forum Diskusi Mongabay: TORA dan Daftar Masalah Cagar Alam Tanjung Panjang

 

 

Baca:

Polemik Cagar Alam Tanjung Panjang: Tambak hingga TORA [Bagian 1]

Polemik Cagar Alam Tanjung Panjang: Tambak hingga TORA [Bagian 2]

*** 

 

Sejak kawasan konservasi Cagar Alam Tanjung Panjang di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, dimasukan dalam peta indikatif Tanah Objek Reforma Agraria [TORA], banyak masyarakat bermohon agar lahan yang telah mereka garap itu bisa dilepas melalui skema TORA.

Prinsip TORA adalah menyelesaikan permasalahan dalam kawasan hutan, tanpa dibatasi fungsi apakah hutan lindung maupun hutan konservasi.

Kebijakan TORA ditolak pegiat lingkungan yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Cagar Alam Tanjung Panjang. Cagar Alam Tanjung Panjang [3,174.10 hektar] merupakan kawasan ekosistem mangrove dan pesisir yang secara ekologi memiliki keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan sebagai sumber penghidupan nelayan dan masyarakat sekitar. Terkait kebijakan TORA, aliansi itu telah mengirimkan surat yang ditujukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Mongabay Indonesia, bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen [AJI] Kota Gorontalo dan Perkumpulan Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam [Japesda] menggelar diskusi “Polemik TORA di Cagar Alam Tanjung Panjang” pada Jumat, 24 Mei 2019.

Hadir sebagai pembicara adalah Andi Setiawan, Kepala BPKH [Balai Pemantapan Kawasan Hutan] XV Wilayah Gorontalo, Syamsudin Hadju, Kepala Seksi BKSDA Wilayah II Sulawesi Utara di Gorontalo, Alim Katili perwakilan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Gorontalo, Kusno Katili perwakilan Badan Pertanahan Nasional, serta Rahman Dako dari Aliansi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Cagar Alam Tanjung Panjang.

 

Hutan mangrove yang memberi kebaikan bagi kehidupan manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Andi Setiawan menjelaskan kebijakan TORA dan penerapannya di Gorontalo hingga keluarnya peta indikatif di Cagar Alam Tanjung Panjang. Andi memberikan gambaran regulasi dan mekanisme TORA melalui tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan atau Tim Inver PTKH.

Regulasi itu Perpres 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, Perpres 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, Permenko Perekonomian No 3 Tahun 2018 tanggal 7 Mei 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, Permen LHK No 17 Tahun 2018 tanggal 25 Mei 2018 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan hutan dan Perubatan batas Kawasan Hutan untuk Sumber TORA.

Ada juga SK.8716/MenLHK-PKTL/KUH/PLA.2/12/2018 tanggal 20 Desember 2018 tentang Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber TORA, telah direvisi tiga kali.

Target TORA revisi III di Kabupaten Pohuwato dengan enam kriteria dari tujuh yang ditetapkan. Total luasan 32.750 hektar. Pertama, alokasi 20 persen pelepasan hutan untuk perkebunan, seluas 11.174 hektar. Kedua, hutan produksi yang dapat dikonversi [HPK] berhutan tidak produktif seluas 3.293 hektar. Ketiga, permukiman transmigrasi beserta fasilitas sosial dan fasilitas umumnya yang sudah memperoleh persetujuan prinsip seluas 3.105 hektar.

Keempat, permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum seluas 3.906 hektar. Kelima, lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat seluas 7.303 hektar, termasuk di dalamnya Cagar Alam Tanjung Panjang. Keenam, pertanian lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat 3.968 hektar. Semantara, kriteria ketujuh, program pemerintah untuk pencetakan dan pencadangan sawah baru tidak terdapat di Kabupaten Pohuwato.

 

Keseimbangan ekosistem alam harus dijaga demi keberlangsungan hidup seluruh makhluk hidup. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sementara luasan kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang yang masuk dalam peta indikatif TORA adalah 2.479,85 hektar. Lahan tersebut merupakan garapan masyarakat berupa sawah, tambak ikan bandeng dan udang. Berdasarkan kondisi tutupan lahan Cagar Alam Tanjung Panjang, luas kawasan konservasi ini telah beralih fungsi drastis menjadi tambak seluas 2.513,66 hektar atau sebesar 80,35 persen dari total luas yang ada.

“Kondisinya memang sangat memprihatinkan,” kata Andi.

Hutan mangrove sekunder tersisa sekitar 440,31 hektar. Semak belukar rawa hanya 67,65 hektar. Seperti diketahui, luas terakhir Cagar Alam Tanjung Panjang berdasarkan penetapan melalui SK Menteri LHK No. 9612 MENLHK-PKTL/KUH/2015 tentang Penetapan Kawasan Hutan Cagar Alam Tanjung Panjang adalah 3,174.10 hektar.

Terkait penolakan TORA dalam Cagar Alam Tanjung Panjang, pihaknya mengaku masih menunggu arahan pusat. Dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Menurut saya ada dua kemungkin, melalui resettlement [dikeluarkan dari kawasan] atau TORA tetap dijalankan. Penyelesaian resettlement dilakukan pemerintah daerah,” ungkap Andi.

Kelas Penutupan Lahan Luas (Ha) %
Hutan mangrove sekunder 440,31 14,08
Pertanian lahan kering campur semak 42,93 1,37
Semak/ belukar 0,26 0,01
Semak belukar rawa 67,65 2,16
Tambak 2.513,66 80,35
Tubuh air 63,41 2,03
TOTAL 3.128,22 100,00

Kondisi tutupan lahan Cagar Alam Tanjung Panjang. Sumber: BPKH XV Gorontalo [2017]

 

Penegakan hukum

Rahman Dako dari Aliansi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Cagar Alam Tanjung Panjang menjelaskan, penolakan terhadap peta indikatif TORA di kawasan konservasi karena pihaknya telah bekerja sama dengan pihak-pihak terkait dalam hal advokasi penegakan hukum.

Ia sendiri melihat kebijakan TORA di Cagar Alam Tanjung Panjang adalah bentuk kompromi antara ekonomi dan konservasi.

“Ekonomi sudah terlanjur dikuasai pemain besar, untuk orang kecil tidak terlaksana. Bacaan kami di Cagar Alam Tanjung Panjang berbeda jauh dengan semangat TORA. Bila dilihat dari kepemilikan lahan, bahkan ada satu individu yang mempunyai lahan 300 hektar. Di sini, saya lihat BPKH maupun KLHK lalai dan tidak melakukan penelitian sosial mendalam,” ujarnya.

Rahman menilai, sosialisasi tidak utuh dan menyeluruh ke level bawah karena kepala desa dan camat menganggap itu sebagai pembagian sertifikat tanah. Sebab, sebelumnya sosialisasi hanya dilakukan di kantor bupati. Sementara, ada staf dari BPKH dan honorer BKSDA yang terlibat pengukuran tanah. Hal ini seolah meyakinkan masyarakat bahwa lahan memang akan disertifikatkan.

“Penelitian sosial seperti ini penting sekali bagi Tim Inver PTKH. Hal penting yang harus dilakukan di Cagar Alam itu adalah penegakan hukum,” tegasnya.

 

Mangrove tidak hanya mencegah abrasi tetapi juga memberi kehidupan untuk semua makhluk hidup, tak terkecuali manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Alim Katili, perwakilan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Gorontalo ketika menanggapi penolakan, hanya menjawab pihaknya menunggu arahan kementerian. Hal senada juga diungkapkan Kusno Katili dari Badan Pertanahan Nasional [BPN] Provinsi Gorontalo.

“Tugas BPN menunggu hasil dari Tim Inver PTKH. Kalau dikeluarkan dari kawasan hutan maka ranahnya BPN memberikan sertifikat tanah. Kalau tidak, BPN tidak bisa menindaklanjuti,” jelas Kusno.

Ia sendiri menilai, kondisi Cagar Alam Tanjung Panjang sejak dulu bermasalah. Regulasi tidak sejalan dengan tata ruang, penataan kawasan, dan kenyataan di lapangan. Hal ini menyebakan sulitnya melakukan penertiban. Sehingga, adanya Perpres Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, diharapkan memberi solusi.

“Jika memang ingin mengeluarkan dari peta indikatif TORA, kita carikan format penyelesaiannya. Jangan sampai ada orang tertentu yang memanfaatkan situasi.”

Syamsudin Hadju, Kepala Seksi BKSDA Wilayah II Sulawesi Utara di Gorontalo, menjelaskan terkait penolakan TORA yang sudah diketahui oleh Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem. Menurutnya, seperti yang disampaikan BPKH, ada dua kemungkinan: jika dikeluarkan dari peta indikatif berarti harus dihentikan pelaksanaannya. Jika pemulihan, pendekatan ekosistem harus dilakukan yaitu suksesi alami, restorasi ekosistem, dan rehabilitasi.

“Mudah-mudahan kita segera mendapat titik terang dari pimpinan pusat,” ungkapnya.

 

Tambak di Desa Siduwonge, Kecamatan Randangan ini berada dalam kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Petambak pendatang

Andi Setiawan, Kepala BPKH Gorontalo kembali menjelaskan, ketika turun lapangan dan mendokumentasikan semua kegiatan, ia bertemu para petambak. Mereka berasal dari luar Gorontalo, terutama Sulawesi Selatan.

“Bahkan saya melihat langsung papan plang yang bertuliskan kawasan cagar alam, tapi di sekitarnya malah tambak,” ungkap Andi.

Basri Amin, dosen sosiologi budaya pada Fakultas Ilmu Pendidikan dan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo [UNG], dalam buku Konflik Ruang di Tanjung Panjang [2018], menjelaskan pola penguasaan ruang oleh petani tambak pendatang. Para petambak di Kabupaten Pohuwato lebih khusus lagi di Kecamatan Randangan yaitu di Desa Siduwonge, Palambane, Patuhu dan Imbodu umumnya pendatang dari Sulawesi Selatan.

Menurutnya, pendatang ini bisa dibagi dua: pemilik dan pengontrak. Para petambak ini mendapat lokasi, dibeli dan menjadi milik sendiri maupunberstatus kontrak dari penduduk lokal di masing-masing desa. Lokasi yang kini dijadikan area tambak, sebagian besar termasuk dalam kawasan hutan magrove Cagar Alam Tanjung Panjang.

Awalnya, penduduk lokal melakukan survei dan perintisan kawasan yang akan dijadikan lokasi, dipimpin seorang ketua kelompok. Perintisan dilakukan terkait pengkaplingan.

Proses penjualan lahan berbeda, ada yang tahap perintisan berupa penentuan lokasi dan batas. Ada pula yang sampai siap pakai. Hal ini berpengaruh pada besaran harga.

“Harga setiap hektar Rp3-5 juta, tergantung kesepakatan,” ungkap Basri dalam tulisannya.

Para petambak yang sebagian besar adalah pendatang [etnis Bugis] kemudian intens membeli lahan. Mereka bahkan saling berbagi kabar tentang peluang ini di kampungnya. Dalam praktiknya, petambak pendatang “Selatan” ini lebih banyak mengunakan “jasa penghubung” lokal, yakni orang setempat yang tingkat pengaruhnya terbilang bagus di Kecamatan Randangan.

“Peran para penghubung sangat penting karena menentukan proses jual beli.”

 

Diskusi “Polemik TORA di Cagar Alam Tanjung Panjang” pada Jumat, 24 Mei 2019, di Gorontalo. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Dari hasil jual beli lahan, penghubung mendapat “uang ucapan terima kasih” dari kelompok dan pembeli lahan. Tetapi, besarannya tidak ditentukan mutlak, bergantung kesepakatan dan keikhlasan antara anggota kelompok, juga pembeli dan luasan lahan yang diperjual-belikan.

“Biasanya penghubung mendapat Rp2,5 sampai Rp5 juta,” tulis Basri.

Bagi penghubung, harus berkemampuan “meyakinkan” kelompok penjual dan pembeli. Terutama bagi pembeli, harus benar-benar diyakinkan atau dipastikan terkait status lahan yang dijual, bebas masalah alias aman.

Pada 2011, DPRD Provinsi Gorontalo, membentuk Panitia Khusus [Pansus Mangrove] penyelesaian kasus Cagar Alam Tanjung Panjang. Pansus melakukan studi dan konsultasi berbagai pihak termasuk dengan petambak, BKSDA, dan Departemen Kehutanan.

Hasilnya, pada 28 Juni 2011, Pansus Mangrove merekomendasikan penegakan hukum terhadap pelaku perusakan, petambak yang menguasai Cagar Alam Tanjung Panjang agar segera keluar dari kawasan, meminta pemerintah memproses keterlibatan aparat dan yang terlibat dalam proses pembuatan sertifikat tanah. Juga, pemetaan tata batas kawasan dilakukan instansi berwenang, dan Peraturan Daerah tentang pengelolaan ekositem mangrove di Provinsi Gorontalo segera dibuat.

 

 

Exit mobile version