Mongabay.co.id

Enam Tahun Putusan soal Hutan Adat, Dukungan Pemerintah Malut Minim

Plang di hutan adat Fritu Halmahera Tengah. Foto: AMAN Malut

 

 

 

 

 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK35) soal hutan adat bukan lagi hutan negara, sudah memasuki tahun keenam. Walau masih terbilang sedikit, pemerintah pusat sudah mulai menetapkan hutan adat. Sebagian pemerintah daerah menyambut bola dengan menetapkan peraturan daerah hak masyarakat hukum adat. Kondisi berbeda di Maluku Utara, pemerintah daerah terkesan tak ambil tahu dengan putusan MK35 ini, padahal hak-hak masyarakat adat di lapangan terabaikan.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut menyebutkan, Putusan MK35 seakan bertepuk sebelah tangan di Malut. Hingga kini, belum ada dukungan pemerintah daerah, baik bentuk peraturan daerah maupun surat keputusan bupati yang berhubungan dengan masyarakat adat. AMAN Malut, sudah mengusulkan 18 hutan adat ke pemerintah daerah. Sayangnya, tak satupun terealisasi.

Baca juga: Kementerian Lingkungan Rilis Peta Indikatif Hutan Adat dan Ubah Aturan

Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Malut, mengatakan, MK35 ini ambigu. Satu sisi memberi ruang bagi masyarakat adat memperoleh hak tanah adat dan sumberdaya alam, sisi lain, memberi kewajiban regulasi dari pemerintah daerah dalam bentuk Perda Masyarakat Adat atau SK bupati.

“Satu sisi memberi ruang, sisi lain menyandera masyarakat adat. (Putusan MK35) ini ternyata kurang mendapat dukungan pemerintah daerah,” katanya.

Sejak ada MK35, katanya, AMAN Malut sudah ajukan 18 hutan adat. Namun, tak satupun usulan berhasil karena berhadapan dengan regulasi di daerah.

Usulan calon hutan adat Malut, bersama-sama dengan Papua. Peta sudah ada dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Peta wilayah adat ini, katanya, telah disampaikan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam 31 poligon wilayah adat seluas 1.145,383 hektar.

 

 

Selain itu, 18 hutan adat itu pada Januari 2018, sudah disampaikan kepada Dinas Kehutanan dan Lingkungan Malut dan Halmahera Utara. Usulan itu, antara lain, hutan adat Pagu (Halmahera Utara), Banemo (Halmahera Tengah), dan Fritu (Halmahera Tengah). Lagi-lagi, tak satupun mendapatkan respon.

“Sudah ada pengajuan hutan adat tetapi ketika datang ke KLHK mengecek mengatakan, tak ada dukungan perda atau SK Bupati. Akhirnya pengajuan itu digugurkan,” katanya.

Hutan sudah ditempati masyarakat adat, katanya, jauh sebelum Indonesia ada. Secara konstitusi hak masyarakat adat ini diakui, dalam Pasal 18 b, Pasal 28 dan Pasal 32 UU’45. Sayangnya, kata Munadi, ada UU Kehutanan yang mengebiri hak masyarakat adat, karena hutan jadi milik negara.

Dia contohkan, beberapa kasus konflik masyarakat dengan perusahaan di Malut. Pada 2008, di Kao Malifut, ada tetua adat menggugat perusahaan tambang, PT NHM. Waktu itu mereka menggugat tanah masyarakat adat suku Pagu dan Modole yang jadi wilayah kerja NHM. Warga menggugat ke pengadilan. Sayangnya, pengadilan mementahkan gugatan warga karena dinilai tak kuat terutama membuktikan itu sebagai tanah adat.

Kasus serupa terjadi pada 2015, kala warga Weda, Halmahera Tengah hidup di dalam kawasan hutan yang secara adat adalah wilayah mereka. Namun, polisi kehutanan datang menangkap warga.

Kini, AMAN Malut, menginisiasi satu Perda Masyarakat Adat di Halmahera Tengah. Meski usulan sudah masuk hingga kini masih terkatung –katung. Informasi terakhir, dokumen itu baru diserahkan Pemerintah Halteng ke DPRD untuk pembahasan.

“Ini menggambarkan, masyarakat adat harus kembali berjuang di daerah agar diakui oleh pemerintah daerah. Refleksi ini sebenarnya untuk kembali mengingatkan pemerintah daerah, mereka memiliki tugas penting melaksanakan putusan itu.”

 

Penyerahan peta wilayah adat Fritu oleh AMAN Maluku Utara ke Pemerintah Halmahera Tengah. Foto: AMAN Malut

 

Di Malut, Munadi merasa aneh karena ada anggapan kalau MK35 tak bisa berlaku, dan hanya bisa di daerah lain seperti Papua, Kalimantan dan Sumatera. Padahal, putusan MK35 ini berlaku di seluruh Indonesia. “Itulah kekeliruan pemerintah daerah.”

Hendra Kasim, akademisi Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara mengatakan, ada satu persoalan MK35 tak bisa berjalan maksimal, karena bersifat deklaratorial atau non eksekutorial . Ia tak bersifat mengikat dan memaksa. “Jika pemerintah daerah tak melaksanakan putusan itu, tidak berkonsekwensi hukum karena non ekskutorial.”

Padahal, katanya, MK35 ini tak hanya sarana penyelesaian problem agraria dan sumberdaya alam. Ia jadi falsafah konstitusi dalam pengakuan hak-hak masyarakat adat.

Herman Oesman, Sosiolog Malut mengatakan, problem MK35 sulit jalan karena ada perebutan sumberdaya alam terutama hutan dan tambang.

Sejarah panjang perebutan sumberdaya ini, katanya, ada sejak zaman kolonial. Bahkan pasca kolonial muncul yang namanya penguasaan hak atas lahan dan sumberdaya lain. Lahan hutan dikuasai,  lalu dipakailah konsep-konsep yang coba direduksi agar orang tak tahu kalau ini sebenarnya dikuasai.

Kasus macam ini, katanya, tak hanya terjadi di Indonesia tetapi di berbagai negara, seperti di Afrika. Di sana nasib masyarakat adat juga seperti di Indonesia.

Kala sudah ada putusan MK35 tetapi jalan di tempat, katanya, hal harus dilakukan terutama berhubungan dengan pembelaan hak-hak masyarakat adat. Bagi Herman, tak semua kepala daerah di Malut akan jalankan 35. “Ini karena hampir semua kepala daerah ikut bermain mata dengan korporasi atau pemilik modal.”

Untuk merebut hak-hak masyarakat adat ini, katanya, perlu diskusi panjang semua pihak, baik AMAN maupun komunitas konsern dengan masyarakat adat.

Saat ini, katanya, banyak perusahaan masuk menggusur hutan adat, perizinan tambang merusak lingkungan dan menghiangkan hak-hak masyarakat adat, berujung menghilangkan sumberdaya dan berbagai kearifan lokal.

Untuk menjawab persoalan itu , katanya, semua pihak harus memberikan pengetahuan dan pembelajaran lebih demokratis kepada warga adat. Tujuannya, mereka bisa berdaya dan bergerak mandiri melawan ketidakadilan.

“Lebih baik membela dan memberikan pengetahuan prinsip agar mereka bisa mandiri berjuang dan melawan. Tujuannya, mereka memiliki kesadaran prinsipil. Kesadaran itu lahir dari mereka sendiri tidak hanya dari luar.”

Begitu juga penguatan institusi masyarakat adat. Tujuannya, ketika ada korporasi ikut campur dengan hak-hak mereka, bisa berteriak dan melawan ketidakadilan. Kemudian, katanya, pegiat masyarakat adat   jangan sampai tersusupi korporasi atau pemilik modal. Kalau sampai terjadi, katanya, yang korban lagi adalah masyarakat adat.

 

 

Keterangan foto utama:  Plang di hutan adat Fritu Halmahera Tengah. Komunitas adat ini menanti pengakuan dan penetapan wilayah adat dari pemerintah. Foto: AMAN Malut

 

Masyarakat adat Pagu dan Modole di Halmahera Utara hidup di hutandengan berkebun dan bertani, antara lain, berladang padi. Foto: AMAN Malut

 

Exit mobile version