Mongabay.co.id

Kala Habitat Tergerus, Harimau Tewaskan Warga Padang Lawas, Satu Luka Parah

Inilah Monang, harimau sumatera yang diselamatkan di Desa Parmonangan, Simalungun yang saat ini di berada BNWS (Barumun Nagari Wildlife Sanctuary). Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Dalam 10 hari, terjadi dua kali konflik manusia dengan satwa diduga harimau Sumatera di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Dalam perisitiwa ini, satu orang tewas meninggal dunia penuh luka, bahkan bagian tubuh hilang. Seorang lagi, luka parah.

Data Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut), konflik pertama serangan harimau kepada warga masyarakat di Padang Lawas terjadi 16 Mei 2019 di Desa Siraisan, Kecamatan Ulu Barumun. Seorang warga desa, Abu Sali Hasibuan, tewas diperkirakan sekitar pukul 01.00, di kebun karet miliknya.

Hotmauli Sianturi, Kepala BBKSDA Sumut, saat memberikan keterangan resmi Senin (27/5/19) Medan mengatakan, 10 hari kemudian, Minggu (26/5/19), kembali terjadi di Kecamatan Sosopan.

Pria penyuluh lapangan Dinas Pertanian Padang Lawas, Faisal Hendri Hasibuan, diserang harimau. Korban luka-luka pada sekujur tubuh, mulai luka robek pada belakang kepala, luka kepala samping kiri, luka cakar pada punggung, dan luka robek pada dada sebelah kiri.

“Korban pertama sudah dikebumikan, korban kedua selamat. Kini, perawatan di RSUD Rantau Parapat, ” katanya.

Setelah mendapatkan laporan warga, Tim BBKSDA Sumut diwakili Bidang Konservasi Wilayah III Padangsidimpuan, segera menuju Desa Siraisan dan berkoordinasi dengan kepala desa, Koramil 08 Sibuhuan, dan Polsek Sibuhuan Barumun. Hasil koordinasi, tim mendapat penjelasan, korban pertama dan kedua diduga diserang harimau Sumatera.

Tim BBKSDA Sumut mengecek lokasi dan menemukan jejak harimau Sumatera. Tim memasang kamera pengintai di lokasi penemuan korban. Bersama-sama dengan masyarakat juga memasang perangkap atau jebakan di sekitar perkebunan, dengan syarat warga diminta tak melukai ataupun membunuh harimau bila masuk perangkap.

Menurut Hotmauli, berturut-turut pada 19- 20 Mei, tim patroli ke desa dengan sasaran perkebunan masyarakat dan sekitar pinggiran sungai Desa Siraisan.

“Tak menemukan jejak harimau dan camera trap juga tak menemukan aktivitas harimau Sumatera di lokasi itu.”

 

 

Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD) Sumatera Barat, muspida Padang Lawas dan camat serta kepala desa berkoordinasi untuk sama- sama mencari dengan membentuk tiga tim. Mereka lalu patroli di tiga titik, yaitu di Desa Siraisan, Desa Hutabargot, dan Desa Pagaran Bira Jae.

Masing-masing tim terdiri dari petugas KSDA, PRHSD, TNI, polri dan masyarakat dilengkapi senjata bius maupun senjata tajam untuk keamanan diri.

“Jadi tim patroli pertama ke Desa Hutabargot, tim dua di Desa Pagaran Bira Jae. Tim tiga, patroli di Desa Siraisan. Ketiga desa ini lokasi kejadian dan penemuan jejak-jejak harimau.”

Untuk memancing harimau keluar, tim pakai umpan kambing. Kalau harimau muncul, akan ditembak bius untuk segera translokasi ke kawasan hutan jauh dari pemukiman.

“Kami mengimbau masyarakat berhati-hati dalam beraktivitas, terutama saat di perladangan maupun perkebunan. Warga jangan beraktivitas sendirian, tetapi berkelompok, ” kata Hotmali.

Dia meminta, warga yang menemukan atau melihat tanda-tanda kehadiran binatang buas maupun harimau Sumatera sesegera mungkin melaporkan kepada petugas.

“Tim kami bersama aparat penegak hukum stand by mengantisipasi hal tak diinginkan. Semog, harimau sudah jauh masuk ke hutan.”

Dalam 2019, sudah ada lima kali konflik antara harimau dan manusia, dari memakan ternak sampai korban manusia tewas dan luka parah. Empat kali konflik terjadi di sekitar Suaka Margasatwa Barumun.

 

Hutan tempat harimau hidup makin menipis, perburuan satwa langka dan dilindungi pun marak dan banyak bagian tubuh atau awetan harimau diperjualbelikan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Hotmauli mengatakan, konflik harimau Sumatera dengan manusia tak bisa terhindarkan karena perubahan fungsi hutan jadi non hutan seperti perkebunan, terus terjadi.

Wilayah jelajah satwa terus berkurang, pakan makin menipis bahkan tak ada lagi. Kondisi ini, katanya, menyebabkan harimau Sumatera initurun ke perkebunan dan kepemukiman warga.

“Kami mengimbau pemda agar tata ruang dikelola sedemikian rupa, mengurangi pemberian izin pengalihan fungsi kawasan hutan.”

Perburuan pakan harimau seperti rusa, kijang, babi hutan dan lain-lain, katanya, juga terus terjadi. Kalau pakan berkurang di hutan, satwa akan turun ke pemukiman dan memakan ternak warga seperti beberapa kali kejadian.

“Ini akan berdampak pada konflik lebih parah, kalau tidak harimau yang mati, akan ada korban jiwa.”

Walhi Sumut mencatat, konflik satwa liar seperti harimau Sumatera dengan manusia karena habitat mereka terus berkurang dan berubah jadi perkebunan sawit.

Beberapa kawasan hutan jadi perkebunan sawit, seperti di Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Utara. Disusul, Simalungun, Mandailing Natal, Labuhan Batu Utara, dan Labuhan Batu Selatan. Lokasi-lokasi ini merupakan habitat harimau Sumatera dan selama ini terjadi konflik berujung kematian.

 

Keterangan foto utama:  Ilustrasi. Monang, harimau sumatera yang diselamatkan di Desa Parmonangan, Simalungun yang saat ini di berada Barumun Nagari Wildlife Sanctuary. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

BBKSDA Sumut memaparkan pemasangan kemera pengintai di lokasi konflik harimau dengan manusia di Padang Lawas. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version