Mongabay.co.id

Banjir dan Longsor Bengkulu, Jalur Hukum Ditempuh Demi Bencana Menjauh

 

 

Baca:

Banjir dan Longsor Bengkulu, Ada yang Salah dengan Pengelolaan Bentang Alam?

Banjir dan Longsor Bengkulu, Perbaikan Lingkungan Prioritas Utama

**

 

Jauh sebelum bencana bajir dan longsor mendera Bengkulu, Sabtu 27 April 2019, Walhi Bengkulu sudah melakukan kajian atas kerusakan ekosistem alam. Khususnya di Daerah Aliran Sungai [DAS] Bengkulu di bentang Bukit Barisan.

Berdasarkan kajian itu, Walhi mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri [PN] Bengkulu, pada Rabu, 29 Agustus 2018 lalu. PLt Gubernur Bengkulu dan beberapa perusahaan tambang batubara adalah pihak yang digugat.

Hasil telaah tersebut menunjukkan, rusaknya hutan dan DAS Bengkulu yang disertai pencemaran akibat produksi batubara. Salah satu contoh kawasan Konservasi Taman Buru Semidang dan Hutan Produksi Semidang Bukit Kabu, Kabupaten Bengkulu Tengah. Kawasan yang kini berubah menjadi tempat operasi perusahaan pertambangan.

“Tahun lalu, kami menggugat perdata pihak-pihak yang berkontribusi atas kerusakan lingkungan di Bengkulu Tengah,” kata Direktur Walhi Bengkulu Beni Ardiansyah, Kamis [23/5/2019].

Mengapa menggugat? Beni menuturkan, Walhi menilai pihak-pihak tersebut tidak ada itikad baik melakukan pengawasan dan penegakan hukum atas kerusakan lingkungan. “Sayang, gugatan tak ada perkembangan signifikan, padahal kerusakan lingkungan bakal mendatangkan banjir saat hujan, atau kekeringan ketika kemarau,” keluhnya.

Kekhawatiran itu terbukti. Banjir disertai longsor terbesar dalam sejarah Bengkulu terjadi. Data Badan Penanggulangan Bencana Nasional [BPBN] per Rabu [1 Mei 2019] mencatat, 30 orang meninggal, 6 hilang. Jumlah korban tertinggi di Bengkulu Tengah [24 orang meninggal], sedangkan Kota Bengkulu dan Kapahiang masing-masing menelan 3 korban jiwa.

Kerusakan fisik tak terelakkan. Sebanyak 184 rumah rusak, 7 fasilitas pendidikan terdampak, dan 40 titik infrastruktur rusak [jalan, jembatan, dan gorong-gorong].

Daerah terdampak, mulai Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Lebong, Kabupaten Seluma, Kabupaten Bengkulu Selatan, hingga Kabupaten Kaur.

“Padahal sudah diperingatkan, kerusakan lingkungan terutama di hutan dan DAS sangat berbahaya,” ujar Beni.

 

Tambang batubara terbuka di hulu Sungai Bengkulu. Foto: Dok. Genesis

 

Terdata 10 DAS rusak

Berdasarkan data Walhi Bengkulu, Bumi Rafflesia ini memiliki 28 DAS yang berhulu di punggung-punggung Bukit Barisan. Namun, 10 di antaranya rusak akibat aktivitas tambang batubara, emas, biji besi, pasir besi, dan perkebunan sawit. DAS yang rusak itu Air Bengkulu, Air Kungka, Sebelat, Ketahuan, Air Pino, Air Manna, Air Nasal, Air Luas, Air Kinal, dan Air Seluma.

Pada DAS Air Bengkulu di Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu misalnya, terdapat 7 perusahaan tambang batubara, 2 pabrik CPO, dan 2 pabrik karet.

“Melihat padatnya aktivitas di hulu DAS, wajar bila di Kabupaten Bengkulu Tengah paling banyak korban. Sungai Bengkulu tidak bisa lagi menampung volume air yang datang,” kata Beni.

Di DAS Air Kungkai, Rejang Lebong dan Kapahiyang, terdapat 1 PLTA, dan 3 perusahaan yang beroperasi di kawasan Hutan Bukit Daun. Begitu juga pada DAS Sebelat di Kabupaten Lebong, terdapat 1 PLTA dan perusahaan tambang emas serta tambang batubara yang berdampingan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS].

Namun anehnya, kata Beni, dua belas hari pasca-banjir, pihak Pengadilan Negeri [PN] Bengkulu melalui majelis hakim yang diketuai Fitrizal Yanto, didampingi Zaenal Mutaqin dan Dwi Purwanti, membacakan putusan bahwa perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan konservasi Taman Buru Semidang dan Hutan Produksi Semidang Bukit Kabu, Kabupaten Bengkulu Tengah, tak mencemari lingkungan.

“Dalam pokok perkara, menolak gugatan untuk seluruhnya,” kata Fitrizal Yanto seperti dilansir Antara, Kamis [09/5/2019].

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyebut alat bukti yang diajukan Walhi Bengkulu tak bisa dibuktikan. Walhi Bengkulu menyatakan banding juga melaporkan ke Komisi Yudisial [KY] dan Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK].

Menurut pengacara Walhi Bengkulu Sugiarto, pihaknya menemukan kejanggalan di persidangan. “Ada pengabaian majelis hakim atas limbah batubara yang membuat DAS Air Bengkulu tercemar,” kata Sugiarto, Jum’at [24/5/2019].

Direktur Genesis, Uli Arta Siagian mengatakan, sekitar 46 persen DAS Bengkulu dikapling konsesi perusahaan tambang. Luasnya 51,951 hektar, sedangkan izin konsesi tambang sekitar 21,694 hektar.

Selain itu, ada 33 lubang batubara belum direklamasi. Paling banyak di Kabupaten Bengkulu Tengah [23 lubang]. “Sudah jelas, banjir di Bengkulu karena DAS yang rusak. Evaluasi harus dilakukan pemerintah, seluruh lubang harus direklamasi,” kata Uli.

 

Lubang tambang batubara di wilayah DAS Air Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Foto: Dok. Genesis

 

Pulihkan fungsi DAS

Dosen Ilmu Tanah Universitas Bengkulu, Faiz Barchia, meminta pemerintah memulihkan fungsi DAS Bengkulu. Hal ini penting mengingat perannya sebagai penjaga lingkungan, dari kualitas air, hingga mencegah banjir dan kekeringan.

“Pengelolaan yang bijak memperhatikan konsep konservasi, daya dukung, dan daya tampung lingkungan,” katanya.

Faiz menambahkan, dalam suatu kawasan ada jasa ekosistem yang dapat dimanfaatkan, tapi juga dibatasi dengan fungsinya. Menurutnya, prinsip pertama yang harus dilakukan adalah perusahaan tambang wajib mereklamasi lubang bekas tambang. “Kalau dilanggar, kembalikan ke prosedur hukum.”

Bila perusahaan tetap abai, dan kapasitas daya tampung kritis, pemerintah dapat mengambil kebijakan moratorium. “Apabila penilaian lingkungan menunjukkan di ambang batas, pemerintah dapat mencabut izin operasinya.”

Sederhananya, kata Faiz, DAS berfungsi maksimal bila ekosistem alaminya terjaga. “Tutupan wilayah bagus, airnya jernih, masyarakat dapat mengambil manfaat.”

Dalam wilayah DAS, ada masyarakat dengan pranata sosial yang arif. “Kearifan lokal, harus digali dan diperankan kembali,” tuturnya.

 

Kolam tambang batubara yang tidak direklamasi meninggalkan sejumlah masalah lingkungan. Foto: Dok. Genesis

 

Komitmen Pemerintah Bengkulu

Pemerintah Bengkulu melaksanakan Rapat Evaluasi Bersama pada Senin, 27 Mei 2019, sebagai bentuk penanganan bencana. Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bengkulu, Sorjum Ahyan, mengatakan, rapat dipimpin langsung oleh Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah. “Tujuannya, menghasilkan rumusan dan kajian lingkungan dalam penataan DAS di Bengkulu,” jelasnya Senin, sembari menunjukkan tautan berita di Media Center Provinsi Bengkulu, Senin [27/5/2019].

Dalam berita tersebut dijelaskan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah akan membuat Sekretariat Khusus Forum DAS Terpadu. Tujuannya, sebagai upaya perbaikan empat DAS utama: Ketahun, Bengkulu, Manna, dan Padang Guci.

“Bentuk yang disepakati seperti gerakan menanam pohon, pembangunan bendungan, termasuk pelapis tebing,” jelasnya.

Ada beberapa usulan strategis yang disampaikan dalam rapat tersebut. Relokasi jalan nasional di Padang Bakung Kapupaten Seluma, relokasi Desa Genting di Kabupaten Benteng, dan pengelolaan PLTA Musi. Ketersediaan air bersih Spam Regional Kobema dan pembuatan jalur evakuasi alternatif jalan nasional yang menghubungkan Bengkulu Tengah dengan Kapahiang ke arah Karang Tinggi sampai Ujan Mas juga dimunculkan.

 

Warga berjalan di lumpur di Desa Genting, Kecamatan Bang Haji, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu, akibat banjir hebat yang melanda 27 April 2019. Foto: Dedek Hendry/Mongabay Indonesia

 

Rapat tersebut merupakan tindak lanjut dari gerak cepat yang dilakukan Pemerintah Provinsi Bengkulu bersama kabupaten dan kota, pasca-banjir, Kamis [02/4/2019]. Pertama, evaluasi kinerja lingkungan dilakukan, terutama pada sejumlah perusahaan yang berada di hulu sungai. “Ini terkait perizinan, termasuk reklamasi pasca-tambang,” jelas Rohidin.

Kedua, pada daerah aliran sungai atau badan sungai tidak terjadi penyempitan. Penataan ruang akan dilakukan baik yang melewati permukiman maupun wilayah hilir, terutama Sungai Bangkahulu, Kota Bengkulu yang banjir.

Ketiga, pola penataan ruang dilakukan juga pada daerah aliran sungai terdampak banjir seperti di Kabupaten Seluma, Bengkulu Selatan, Kaur, Bengkulu Utara, Kepahiang dan Rejang Lebong. Untuk hal ini, daerah resapan air harus diperhatikan berikut alokasi ruang terbuka hijau [RTH].

Rohidin meminta wali kota dan bupati di Provinsi Bengkulu memperhatikan izin pengembang perumahan yang harus sesuai tata ruang. “Terkait PLTA Musi di Kabupaten Kepahiang, harus dipastikan tanggul dan kolam penampungan berfungsi baik. Volume debit air dipastikan tidak membahayakan wilayah hilir,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version