Mongabay.co.id

Hutan Adat Pikul Pengajid, Kemilau Tengkawang yang Menarik Perhatian Peneliti

 

 

Suara satwa meningkahi langkah kaki Damianus Nadu [58] dan dua pendamping desa ketika memasuki hutan. Nadu adalah salah satu penggagas Hutan Adat Pikul Pengajid, di Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.

Nadu dan warga Dusun Melayang, Desa Sahan, berupaya mempertahankan hutan yang diwariskan nenek moyang mereka. Dia saksi hidup, hutan-hutan di sekitar dusunnya hancur. Terutama saat perusahaan kayu berjaya era 80-an. Perjuangan Nadu dan warga dusun berbuah prestasi, pengukuhan hutan adat melalui Surat Keputusan Bupati Bengkayang 2002.

“Terbitnya SK 131 Tahun 2002 yang ditandatangani Bupati Yakobus Luna, mengukuhkan hutan adat ini pada 15 Oktober 2002. Menurut batas dahulu, luasnya sekitar 200 hektar, tetapi yang dijadikan hutan adat sekitar 100 hektar,” ujar Nadu, menghentikan langkahnya.

Hutan adat Pikul Pengajid cukup mudah ditempuh. Letaknya di pinggir jalan, sebuah jalan pengerasan selebar enam meter melintasinya. Nadu bilang, dulu warga gotong royong membuat tapal batas. Patok dibuat dari kayu belian, jenis nomor satu yang terkenal kuat. Nama lainnya ulin. Patok lain menggunakan semen.

“Ini pohon tengkawang. Salah satu potensi hutan adat kami,” tukasnya bangga, menunjukkan kepada saya. Saat ini, masyarakat tengah menginventarisasi tumbuhan di hutan adat.

Nadu menyebutk masyarakat setempat masih bergantung pada hutan. Selain sumber air, tumbuhan di hutan memberikan ragam manfaat. Untuk obat-obatan, ritual adat, serta makanan. “Ada daun juah-juah yang digunakan upacara adat sub Suku Dayak di sini. Ada rotan, resam atau nipah yang dijadikan anyaman warga,” tukasnya.

Untuk keperluan harian, biasanya warga mengambil rebung atau pakis hutan sebagai sayur. Mayoritas, mereka petani: jagung, lada, bengkuang, ubi rambat, ubi kayu, sawi dan buncis. Semula, Dusun Melayang terletak di ujung hutan adat. Kemudian masuk program transmigrasi awal 90-an. Sebagian besar ikut menjadi transmigran lokal. Mereka kini mendiami pusat daerah di Desa Sahan. Tersisa 33 kepala keluarga yang mendiami Dusun Melayang Lama.

Baca: Desa Tae yang Bergiat Setelah Terima Penetapan Hutan Adat

**

 

Hutan Adat Pikul Pengajid seluas 100 hektar berada di Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Angin bertiup, membawa aroma bunga hutan. Jack Wawan Purple, fasilitator dari Institute Riset dan Pengembangan Hasil Hutan [Intan] menunjuk sebuah pohon yang ada anggrek. “Kalau mekar, harumnya tercium ke luar hutan,” jelas pria berperawakan kurus dengan kacamata. Jack baru selesai melakukan pemetaan di Desa Sehan. Pemetaan ini sangat penting untuk memastikan wilayah kelola masyarakat, hutan adat, atau potensi-potensi desa lainnya.

Nadu kembali menjelaskan, dulu pepohonannya lebih besar. Diameternya bisa dipeluk lima lelaki dewasa. Meski begitu, masih tersisa beberapa pohon dengan diameter besar. Jauh ke dalam hutan, kicau burung terdengar merdu. Di sini, tidak boleh sembarangan menjerat. Burung-burung adalah pemangsa alami serangga yang mengganggu tanaman warga. “Di sini ada beragam kayu, meranti dan medang, pasak bumi, juga gaharu,” tukasnya.

Gaharu salah satu komoditi yang diolah masyarakat setempat. Warga memanfaatkan kayu yang sudah roboh. Disuling menjadi pewangi. Dijual dalam bentuk cairan. Harganya cukup tinggi, satu milliliter paling rendah Rp600 ribu. “Kini tengkawang yang kami andalkan,” ujarnya. Di hutan itu, sedikitnya terdapat empat jenis tengkawang: tengkawang tungkul, tengkawang layar, tengkawang pangapeg, dan tengkawang terindak. Pohon ini tumbuh alami.

SK Bupati yang didapat bukan melalui proses instan. Saat maraknya perusahaan hak pengusahaan hutan [HPH], ada 100 hektar areal perusahaan yang melewati wilayah kampung. Nadu muda adalah sosok berani yang melarang truk-truk bermuatan kayu besar melewati kampungnya. “Mereka tebang bukan di hutan kami. Tapi mereka lewat jalan di kampung kami,” katanya.

Ayah Nadu adalah tokoh desa, dukun besar ternama pula. Demikian pula nenek dan pamannya. Nadu mendapat pesan, hutan harus dijaga dengan jiwa raga. Jika tidak, malapetaka menimpa desa. “Hutan hilang, bisa banjir, air tidak ada, susah,” ujarnya.

Baca juga: Tembawang Tampun Juah, Cerita Perjuangan Warga Peroleh Pengakuan Hutan Adat

**

 

Jalan panjang mewarnai perjuangan penetapan hutan ini, mulai dari penebangan hingga ancaman perusahaan. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Nadu mengajak saya bertandang ke Dusun Melayang lama, dekat Cagar Alam Gunung Nyiut. Desanya tertata rapi. Rumah-rumah berjajar, dilengkapi parit untuk drainase di sisi jalan. Jalan utama kampung masih dari tanah pengerasan.

Rumah dari kayu ulin tua dengan teras cukup lebar adalah tujuan Nadu. Kayu yang harganya mahal, penjualannya harus mengantongi dokumen tertentu. Rumah itu milik Yohanes Bujang [77]. Masuk ke ruang tamu, beberapa foto tanpa figura tertempel di dinding.

Salah satu foto terlihat Nadu dan Bujang berada di istana negara. Mereka mewakili warga Desa Sahan menerima SK Hutan Adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang diserahkan langsung Presiden Joko Widodo, 20 September 2018.

Bujang keluar dari dalam rumah, mengenakan celana pendek biru. Dia salah satu murid ayah Nadu. Bujang juga dukun besar, gelarnya Panglima Burung. Bukan sembarang gelar di Suku Dayak Lara Bekati, sub etnis Dayak mayoritas di Kabupaten Bengkayang. “Ini dia yang melawan perusahaan,” tukas Bujang menunjuk Nadu.

Bujang bertutur, keberadaan Dusun Melayang dikisahkan nenek moyang dari dataran Malaysia. Seperti hanya kebiasaan di Suku Dayak, banyak yang membawa sanak keluarganya mencari wilayah baru untuk didiami. “Mereka sudah ada di kawasan itu jauh sebelum Jepang datang,” katanya.

Mereka menanam padi tahunan serta sayur. Terung adalah salah satu tanamanan khas Suku Dayak. Bunganya, sebagai ornamen yang diabadikan dalam tato. Termasuk tato tribal yang terinspirasi dari tanaman pakis. “Budaya Dayak ini sangat dekat dengan alam,” tukas Bujang.

Baca: Tengkawang, Tanaman Maskot Kalimantan Barat dengan Aneka Manfaat

**

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan SK Penetapan Hutan Adat Pikul Nomor SK 1300/MENLHK-PSKL/PKYHA/PSL.1/3/2018. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Letak hutan Adat Pikul Pengajid sekitar enam jam dari Kota Pontianak, Ibu Kota Kalimantan Barat. Dari pintu gerbang yang tertelak di pinggir jalan raya menuju Kecamatan Seluas, masih 15 kilometer lagi sebelum sampai pusat desa.

Hal yang diingat Bujang saat kecil adalah untuk menebang kayu warga harus minta izin ke pemuka desa. “Sekarang juga sama. Lokasinya di mana, berapa banyak yang diperlukan. Tapi rata-rata hanya untuk perbaikan rumah. Dulu, kami menggunakan kulit pohon kepuak untuk dinding,” lanjut Bujang.

Sepanjang ingatan dia, pemetaan partisipatif dimulai 2014. Jika dulu mereka mengukur menggunakan tali rafia kini ada GPS. Saat itu, Nadu sebagai koordinator pengukuran. Bujang mempersiapkan upacara adat. “Sekitar 82 hewan dijadikan persembahan untuk upacara adat pengukuhan,” kata Bujang. Ada ayam, babi hingga anjing. Warga juga mempersiapkan perlengkapan lain, seperti tempayan, tuak, dan ketan.

Semua bersemangat. Mereka ingin negara segera mengakui hutan adat ini. Semangat yang kian membara setelah warga merasakan manfaat lebih hasil hutan bukan kayu.

Bujang memperlihatkan punggung gunung di belakang desa. Di sana, warga desa Pikul lama bergantung hidup. Berburu babi hutan, rusa, atau menangkap ikan dari bubu dekat riam. Ke depannya, Bujang berharap perekonomian masyarakat terdongkrak dengan potensi ekowisata. Ada konsep sewa hunian untuk pendatang yang akan menikmati kehidupan desa bersahaja, atau keindahan alamnya.

Setelah pemetaan dibuat, jalan menuju pengukuhan hutan adat terbuka lebar. Lembaga Intan Kalimantan yang tergerak membantu warga mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan. “Pemberian SK ini sangat penting, mengingat kawasan tersebut banyak konflik dengan perusahaan HPH dan perkebunan kelapa sawit,” kata Deman Huri, Direktur Intan Kalimantan, terpisah.

**

 

Penetapan hutan adat ini merupakan awal perjuangan masyarakat menjaga hutan yang merupakan amanah negara dan nenek moyang mereka. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Hutan Adat Pikul Pengajid adalah satu dari 11 SK Hutan Adat yang diberikan Bupati pada 2002. Asal mula penamaan disesuaikan dokumen negara. Masyarakat menamakan hutan itu Pengajid. Namun, menurut peta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kawasan tersebut statusnya area peruntukan lain (APL), dinamai Bentang Alam Sungai Pikul. “Untuk memudahkan administrasi diberi nama Hutan Adat Pikul, karena di kawasan tersebut ada Sungai Pikul,” jelas Deman.

Hutan ini memiliki keistimewaan. Guru besar Universitas Tanjungpura bersama peneliti mancanegara, guru besar dari Universitas Toulouse Francis, Zephirin Mouloungul, mendatangi hutan ini untuk meneliti tengkawang.

 

Buah tengkawang. Sumber: Wikimedia Commons/Wibowo Djatmiko/Karya Sendiri/ GNU Free Documentation License

 

Tanaman yang kini langka ini merupakan jenis unggul. Hanya tumbuh di dataran Hutan Adat Pikul dan sekitar. “Pohon ini tumbuh alami, dulu kayunya ditebang untuk kebutuhan pabrik. Tapi kini masyarakat paham akan manfaatnya,” kata Deman lagi. Tak sedikit yang meneliti tengkawang, suku meranti-merantian.

Tengkawang masuk Famili Dipterocarpaceae. “Pohon ini mampu menjaga sistem hidrologi Desa Sahan, sehingga sumber airnya sangat bersih,” imbuhnya.

Deman mengatakan, proses pendampingan yang dilakukan mudah dan cepat, sekitar empat bulan. Pasalnya, desa telah memiliki kelompok masyarakat adat, mengantongi SK Bupati dan memiliki peta adat. “Tim Intan memperkuat kelompok masyarakat adat, memperbaiki peta yang diperiksa Pemkab Kabupaten Bengkayang. Setelah itu kementerian memverifikasi kelompok masyarakat adat dan pemetaannya,” tambahnya.

 

Pohon tengkawang yang berbunga di Hutan Adat Pikul Pengajid. Foto: Institute Riset dan Pengembangan Hasil Hutan [Intan]

 

Setelah diangap lengkap, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan SK Penetapan Hutan Adat Pikul Nomor SK 1300/MENLHK-PSKL/PKYHA/PSL.1/3/2018. SK ini, kata Deman bukan tujuan, tetapi awal perjuangan. Kini masyarakat harus menjaga amanah yang diberikan negara dan nenek moyang.

Mereka membentuk kelompok Masyarakat Peduli Hutan Adat, patroli di kawasan hutan. Pohon-pohon roboh boleh diambil siapa saja. Tetapi tidak boleh menebang. Jika tertangkap, akan dikenakan sanksi adat. Hingga kini belum ada warga yang disanksi karena melanggar adat.

Matahari yang mulai temaram menuntaskan pembicaraan kami. Suara binatang malam makin jelas terdengar. Nadu memacu sepeda motornya. Sebuah pohon tengkawang besar terlihat di tepi jalan, dan dia menunjuk bangga. “Siapa yang berani mencaplok hutan ini, langkahi dulu saya,” tandasnya.

 

 

 

Exit mobile version