Mongabay.co.id

Kala Penegakan Hukum Hanya Sentuh Sopir Pengangkut Kayu, Bos Bebas?

Idil Fitri berharap bosnya hadir untuk meringankan hukuman, tetapi tak pernah muncul sampai vonis hakim. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Hakim Pengadilan Negeri Bangkinang, Riau, Melfiharyani dan Nurafriani Putri menghukum Idil Fitri, sopir truk pengangkut kayu tanpa dokumen sah, penjara 1,6 tahun, denda Rp500 juta atau enam bulan kurungan.

Idil terbukti melanggar Pasal 83 ayat (1) huruf b jo Pasal 12 huruf a UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Hakim Cecep Mustafa, berbeda pendapat. Idil mestinya bebas dengan mempertimbangkan faktor ekonomi yang memaksa dia mencari pekerjaan tambahan selain buruh tani. Dissenting opinion itu tetap tak mengubah keputusan majelis hakim untuk menghukum Idil.

Hukuman itu lebih sedikit dari tuntutan jaksa, dua tahun. Baik dalam tuntutan maupun amar putusan, penuntut umum dan majelis hakim tak menegaskan, pemilik kayu dan pemilik kendaraanlah yang patut diminta pertanggungjawaban.

Padahal, dalam dakwaan nama pemilik kayu dan kendaraan tercatat beberapa kali dan diakui Idil. Juga diulang beberapa kali oleh majelis hakim saat membaca amar putusan. Idil pun pasrah menerima hukuman itu ketika diminta tanggapan oleh majelis hakim.

 

Salah satu tempat biasa Idil membawa kayu angkutannya. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia

 

 

Bagaimana Idil ditangkap?

Subuh, 6 Januari 2019, Ad menjemput Idil—kala itu masih tidur. Mereka berangkat dengan mobil bermuatan kayu bulat. Barang itu semalaman depan rumah Ad, Desa Sungai Pagar, Kecamatan Kampar Kiri Hilir, Kabupaten Kampar, Riau.

Sehari sebelumnya, kayu-kayu itu dimuat dari dermaga belakang rumah Ek, pemilik kayu dan kendaraan. Idil sopir truk dan Ad yang menawari pekerjaan. Rencana, kayu itu diantar ke sawmill di Desa Teratak Buluh, Kecamatan Siak Hulu, sekitar 26 km atau 42 menit jarak tempuh.

Belum keluar dari Sungai Pagar, tak jauh dari Polsek Kampar Kiri Hilir, Ad minta berhenti lalu pindah ke mobil belakang yang dikemudikan Er. Setelah itu, Idil mengemudi sendiri dibuntuti Ad dan Er dari belakang. Sampai di Desa Pantai Raja, Kecamatan Perhentian Raja, Idil masih melihat mobil yang mengawalnya itu.

Nasib nahas menimpa ketika melaju di sekitar Desa Lubuk Sakat, setelah lebih kurang 18 km perjalanan, dua mobil Polhut Balai Pengamanan dan Penegakkn Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) Wilayah Sumatera Seksi II Pekanbaru dan Korem 031 Wirabima, mengepit dari kiri dan kanan.

Idil diminta berhenti. Rupanya, dia sudah diintai sejak dini hari ketika keluar dari simpang Desa Mentulik bawa kayu dari rumah Ek ke rumah Ad sebelum berangkat paginya.

Dalam situasi genting itu, Idil dan Ad masih sempat telponan dan meminta terus jalan. Idil tak melihat mobil bosnya lagi di belakang. Idil pun tak hiraukan perintah tim Polhut.

Tak lama, mobil Polhut menyalip dari kiri. Idil berhenti mendadak, lalu keluar dan melarikan diri. Terjadi aksi kejar-kejaran. Tepat depan rumah seorang warga, dalam keadaan panik Idil berhenti dan menoleh ke belakang. Kiranya dipanggil Ad, rupanya anggota Polhut dengan sejumlah Intel Korem tadi.

Idil pun dapat pukulan beberapa kali di bagian perut dan muka sampai berdarah. Setengah sadar, dia dimasukkan dalam mobil lalu dibawa ke markas Polhut, Jalan HR Subrantas berikut mobil bermuatan 47 tual atau sekitar 18,5 kubik kayu bulat campuran. Kayu itu dari hutan adat Desa Mentulik yang ditebang anak-kemenakan.

Di markas Polhut, Idil kembali dapat pukulan di bagian muka. Katanya, orang yang memukul itu geram karena dia melarikan diri.

“Bukan dipukul, ditendang sedikit saja,” kata Sugeng, anggota Polhut ketika dihubungi lewat telepon seluler.

Hari ketiga ditahan, Idil dibawa berobat ke Rumah Sakit Jiwa Tampan. “Seperti ada dendam ke Ek yang dilampiaskan pada saya,” kata Idil, ketika masih di Rumah Tahanan Sialang Bungkuk, Pekanbaru.

Sebelum menjalani sidang di Pengadilan Negeri Bangkinang, Idil sempat ‘diinapkan’ di Rutan Sialang Bungkuk Pekanbaru sejak 9 Januari sampai 9 Maret 2019.

 

Kala pasang surut, kayu-kayu yang dihanyutkan hanya bisa sampai pada dermaga ujung jalan Desa Mentulik. Kalau banjir, ia langsung dihanyutkan sampai di belakang rumah Ek. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Setelah Idil vonis

Ek adalah pemilik kayu dan kendaraan, tinggal di Desa Mentulik. Penyidik sempat melayangkan surat panggilan pada Ek dan Ad, tetapi tak pernah menunjukkan batang hidung.

Sedangkan Ad, tinggal dekat Kantor Camat Kampar Kiri Hilir. Polsek Kampar Kiri Hilir, persis di belakang kantor camat itu.

Plt Camat Kampar Kiri Hilir dan Sekretaris Desa Mentulik memberitahu penyidik lewat surat bahwa, Ad dan Ek, telah meninggalkan desa sejak Idil ditangkap.

Sebaliknya, kata Zulkarnain keponakan Ad, om-nya masih sering pulang ke rumah paling tidak dua hari sekali. Ad, katanya, kerja sebagai sopir bawa barang-barang ekspedisi. “Biasa pulang subuh dan pagi berangkat lagi.”

Penjelasan yang sama juga disampaikan adik ipar perempuan Ad ketika Mongabay kembali mendatangi rumahnya, dua hari sebelum Idil vonis.

“Dia kerja bawa mobil angkut kayu dengan bosnya. Biasa pulang sebentar dan pergi lagi.”

Begitu juga Ek. Dia masih sering pulang ke rumah. Sehari sebelum ke rumah Ad, saya mendatangi rumahnya. Pemilik rumah tak kunjung keluar setelah beberapa kali diberi salam lewat pintu samping yang terbuka.

Seorang pemuda tengah meracun rumput muncul dari belakang rumah. Dia bilang, Ek sedang tidur. “Sore saja ke sini.”

Ketika datang lagi, dia mengatakan, Ek tak ada di rumah. Mobil merah yang parkir di halaman rumah sedari pagi masih ada. Ketika ditanya pemilik mobil, pemuda yang masih memegang penyemprot rumput itu balik bertanya tentang keperluan saya

Kata pemilik warung depan rumah, Ek selalu ada di rumah. Tengah malam setelah saya datang ke rumahnya, Ek membeli rokok di warung itu.

Zulbahri, Koordinator Penyidik BPPHLHK Seksi II Pekanbaru, mengatakan, sejak surat daftar pencarian orang (DPO) atas Ek terbit, tim ada dua kali mencari tetapi tak pernah ketemu.

Pencarian itu terkesan tidak diutamakan. Penetapan seakan DPO hanya melengkapi berkas perkara Idil Fitri di kejaksaan.

Zulbahri menyebut, mereka kekurangan sumberdaya manusia, ditambah lagi banyak laporan masuk harus mereka kerjakan. Dia juga mewanti-wanti keselamatan tim karena punya pengalaman disandra dan kendaraan dirusak.

“Setelah Lebaran kami coba gerak lagi,” katanya.

 

Hampir di kiri-kanan jalan simpang Desa Teratak Buluh, terdapat sawmill. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Idil meninggalkan sementara seorang istri dengan tiga anak, dengan anak paling kecil usia enam bukan kala sang ayah tertangkap. Istri Idil baru tahu suami tertangkap, siang setelah kejadian.

Saat itu, dia di rumah saudara perempuan Idil. Tiba-tiba adik ipar saudara laki-laki Idil datang dan memberitahu. Malamnya, Ad datang dan menceritakan langsung kejadian itu.

Istri Idil kecewa Ad pindah dari mobil karena alasan tempat duduk basah. Ad pun berjanji bertanggungjawab mengurus Idil dan membiayai istri serta anak Idil selama dalam tahanan.

Sejak Idil mendekam di Rutan Sialang Bungkuk dan menjalani proses persidangan, bosnya tak sekalipun menjenguk. Di pengadilan, Idil tanpa didampingi penasihat hukum. Dia sempat ingin mendatangkan Ad dan Ek di persidangan untuk meringankan hukuman.

Ad hanya satu bulan membiayai istri dan anak Idil. Tiap Kamis, lewat perantara orang lain, Ad menitipkan Rp200.000 untuk biaya hidup mereka. Selain itu, istri Idil kerja setrika baju dari rumah ke rumah. Istri Idil dan tiga anaknya tinggal di rumah petak di lahan sawit milik koperasi.

Idil, sebenarnya sopir pengangkut sawit koperasi. Baru satu bulan dia nyambi bawa kayu. Kala tertangkap, kali keempat kalinya dia bawa kayu.

Hukuman yang telah ditimpakan pada Idil tampaknya tak meredam penebangan hutan di Desa Mentulik. Suara chainsaw meraung-raung ketika saya tengah bicara dengan Abu Hanifah atau Datuk Sanjayo petinggi adat Desa Mentulik.

Dia mengakui, tak dapat meredam anak kemenakan yang terus menerus menebang pohon larangan, seperti merbau, kruing atau keluang dan rengas. Pohon-pohon ini rumah bagi madu sialang. Menebang pohon itu berarti menghilangkan tradisi dan budaya mengambil madu masyarakat di sana.

“Sanksi adat tak mempan. Ninik mamak di sini tak dihiraukan sama mereka,” kata Abu Hanifah, usia 86 tahun.

Apa yang dikatakan Abu Hanifah, benar adanya. Dermaga tempat memuat kayu tak jauh dari rumahnya. Kendaraan yang mengangkut kayu itu juga lalu-lalang pada malam hari depan rumah.

Bila musim banjir, kayu-kayu dirakit dan dihanyutkan langsung sampai ke dermaga belakang rumah Ek. Bila dilihat dari depan rumah, dermaga itu tak kelihatan karena tertutup dinding seng dari samping rumah.

 

Keterangan foto utama:  Idil Fitri berharap bosnya hadir untuk meringankan hukuman, tetapi tak pernah muncul sampai vonis hakim. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version