Mongabay.co.id

Perlindungan ABK Indonesia di Luar Negeri Masih Lemah

 

Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) di luar negeri atau kapal ikan asing (KIA), hingga saat ini dinilai masih sangat lemah. Meskipun, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan, penyebab masih lemahnya perlindungan terhadap TKP berprofesi ABK, tidak lain karena hingga sekarang regulasi hukum yang mengatur tentang itu juga masih lemah. Itu terutama, karena aturan yang ada masih bersifat parsial dan belum mengatur dari hulu ke hilir tentang proses penempatan ABK asal Indonesia.

“Itu mengakibatkan Pemerintah tidak mempunyai data yang pasti berapa jumlah ABK kapal ikan yang bekerja di luar negeri, sehingga menyulitkan upaya pelindungan yang mesti dilakukan Negara kepada warga negaranya,” jelasnya kepada Mongabay, Rabu (29/5/2019).

baca : Indonesia Berkomitmen Melindungi Hak Asasi Manusia Nelayan. Seperti Apa?

 

4 dari 14 nelayan yang berhasil dipulangkan oleh KKP bersama Kementerian Luar Negeri yang ditangkap pemerintah Australia. Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Agar perlindungan bisa membaik, Abdi Suhufan meminta Pemerintah melakukan sinkronisasi aturan dan menetapkan kementerian mana yang berwenang melakukan pengaturan terkait penempatan ABK kapal ikan di luar negeri. Kata dia, saat ini ada tiga regulasi setingkat undang-undang yang mengirim ABK kapal ikan sesuai dengan kepentingan dan mekanisme masing-masing.

Adapun, ketiga UU yang dimaksud, adalah UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No.17/2008 tentang Pelayaran, dan UU No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Ketiga UU tersebut dan turunannya saat ini masih membuat bingung lembaga yang melaksanakannya. Jika itu tetap dibiarkan, maka itu akan terus menjadi celah untuk melakukan pelanggaran bagi kapal ikan.

“Hal ini menyebabkan ketidaksatuan proses pelayanan dan belum adanya standar dokumen bagi pekerja tersebut,” terangnya.

 

Agen Tenaga Kerja

Salah satu yang sedang berkembang saat ini, menurut Abdi Suhufan, adalah semakin menjamurnya agen tenaga kerja (manning agency) di hampir seluruh wilayah Indonesia. Kemunculan agen tersebut, didasari regulasi UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Selain itu, agen bisa semakin berkembang cepat, karena ada regulasi Peraturan Menteri Perhubungan No.84/2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal.

Setelah kemunculan regulasi di atas, menurut Abdi Suhufan, muncul pula UU No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran, yang sayangnya belum diikuti dengan penerbitan aturan pelaksanaan oleh Pemerintah yang menjadi turunan dari UU tersebut. Situasi tersebut, membuat agen tenaga kerja yang bisa berdiri atas izin dari pemerintah daerah, berpotensi semakin lemah pada aspek pengawasan operasional dan pendataan ABK di luar negeri.

baca juga : Nasib Kru Kapal Nelayan Tradisional dari Langkat Masih Misterius di Malaysia

 

Dokumen penyerahan 4 dari 14 nelayan yang berhasil dipulangkan oleh KKP bersama Kementerian Luar Negeri yang ditangkap pemerintah Australia. Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Agar kondisi tersebut tidak terus terjadi, Abdi Suhufan meminta Pemerintah segera melakukan sinkronisasi regulasi terkait perlindungan ABK kapal ikan di luar negeri. Terlebih, mengacu pada UU 18/2017, perlindungan ABK kapal ikan dengan tegas disebutkan di dalamnya. Untuk itu, seharusnya UU tersebut bisa menjadi acuan Pemerintah dalam membuat aturan pelaksanaan di lapangan.

“Untuk melakukan perlindungan pada ABK kapal ikan diperlukan semacam standar pelindungan meliputi aspek administratif dan teknis. Hal ini penting dan wajib agar keberadaan mereka di luar negeri bisa mendapatkan penghargaan yang setimpal,” pungkasnya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menyebut bahwa Indonesia harus menyusun segera peta jalan (roadmap) untuk perlindungan ABK pada kapal atau perusahaan asing. Peta jalan harus dibuat, karena hingga saat ini masih saja terjadi kasus yang merugikan para ABK yang bekerja untuk kapal asing.

Dengan adanya payung hukum dan sekaligus peta jalan, Susan meyakini, perlindungan bisa dilakukan penuh kepada para ABK dan itu memberi kekuatan secara hukum bagi Indonesia saat sedang menghadapi kasus yang berkaitan dengan ABK. Melalui perlindungan hukum penuh, maka perlindungan yang diberikan Negara juga bisa langsung ke akar persoalan.

Tentang perlunya disusun peta jalan, Susan berpendapat tentang itu, karena sampai dengan hari ini Indonesia belum memiliki aturan khusus yang melindungi seluruh TKI yang bekerja sebagai ABK dan jumlahnya tercatat lebih dari 250 ribu orang. Fakta itu, menjadi sangat miris, karena Indonesia adalah negara kepulauan dan sangat bergantung pada laut.

Jadi, walaupun sudah ada Permen KP No.35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan, Susan menyebutkan bahwa aturan itu hanya ditujukan dan berlaku untuk kapal-kapal perikanan dalam negeri. Sementara, untuk kapal perikanan yang ada di luar negeri, hingga saat ini aturannya tidak ada.

Selain perlu menghadirkan peraturan khusus untuk perlindungan ABK, Susan kemudian mempertanyakan efektifitas UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Menurutnya, UU tersebut hingga saat ini tidak bisa dijadikan dasar untuk melindungi ABK Indonesia yang bekerja di kapal-kapal luar negeri.

perlu dibaca : Indonesia Pulangkan Nelayan Muna yang Ditangkap di Australia

 

4 dari 14 nelayan yang berhasil dipulangkan oleh KKP bersama Kementerian Luar Negeri yang ditangkap pemerintah Australia. Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Penguatan Regulasi

Tanpa ada perlindungan hukum, Susan menilai, koordinasi antar lembaga Pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ABK yang bekerja pada kapal asing, hingga saat ini masih tertatih-tatih dan tidak efektif. Padahal, penanganan kasus ABK harus dilakukan dengan cepat, cermat, dan terintegrasi dengan baik antar lembaga.

“Untuk menangani kasus-kasus ABK di kapal asing, perlu koordinasi lembaga pemerintah dengan kuat,” pungkasnya.

Diketahui, pada Senin (27/5/2019), KKP bersama Kementerian Luar Negeri memfasilitasi pemulangan 14 nelayan Indonesia yang sebelumnya ditangkap oleh Pemerintah Federal Australia di perairan laut mereka atas dugaan melakukan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal. Pemulangan tersebut dilakukan secara bertahap melalui Bandara Internasional Ngurah Rai di Bali.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal PSDKP KKP Agus Suherman menjelaskan, pemulangan nelayan dilakukan dengan membaginya dalam dua kelompok yang terdiri dari enam orang pada 21 sampai 27 Mei, delapan orang pada 28 Mei sampai 1 Juni. Pemulangan mereka, dilakukan dengan melibatkan Konsulat RI di Darwin, Australia.

“Nelayan-nelayan tersebut sebelumnya ditangkap oleh pihak otoritas Australia atas dugaan melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Australia,” ungkapnya.

Menurut Agus Suherman, para nelayan yang dipulangkan, semua adalah ABK kapal KM. Anugerah VI dan mereka berasal dari kota berbeda di pulau Jawa. Selain ada yang berasal dari wilayah pantai utara Jawa seperti Tegal, Pemalang, dan Pekalongan, ada juga yang berasal dari Jawa Barat, tepatnya dari Purwakarta dan Bandung.

Agus menambahkan, pemulangan 14 nelayan tersebut semakin menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia ingin memberikan perlindungan kepada warganya yang terjerat masalah hukum di negara lain. Dengan demikian, diharapkan para nelayan bisa kembali berkumpul dengan keluarganya masing-masing menjelang hari raya Idul Fitri 2018.

Dengan proses pemulangan 14 nelayan dari Australia tersebut, maka selama 2019, KKP nelayan Indonesia yang ditangkap di luar negeri sejumlah 90 nelayan, yang terdiri dari 11 orang dari Malaysia, 18 orang dari Timor Leste, 36 orang dari Myanmar, 11 orang dari Thailand, dan 14 orang dari Australia. Seluruh nelayan tersebut sudah berhasil dipulangkan oleh Pemerintah Indonesia.

“Bila ternyata terdapat nelayan yang tertangkap di negara lain, maka KKP secara proaktif bekerjasama dengan pihak Kementerian Luar Negeri, khususnya perwakilan RI di luar negeri, untuk mengupayakan pemulangannya,” pungkas dia.

 

Exit mobile version